SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Sewaktu membaca kalimat Jean P. Baudrillard dalam bukunya Consumption Society bahwa inti iklan bukanlah perihal betapa mudahnya mengelabui publik, melainkan betapa publik memang suka dibohongi – saat itulah saya tahu betul bahwa saya termasuk di dalamnya.

Yang luar biasa, pembohongan itu kini bukan lagi bagian terpisah dari hidup saya, sesuatu yang tampak artifisial sehingga saya menyadarinya. Sebaliknya, yang terjadi sekarang ini, saya justru tidak menyadari (atau mungkin tidak peduli?) kalau saya dibohongi, kecuali dengan catatan saya benar-benar memikirkannya seperti sekarang.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Jadi, sewaktu TV tabung bergeser menjadi smart TV dan mata saya menatap lebih banyak dan lebih sering pada layar smartphone, saya kesulitan membedakan mana informasi dan mana yang iklan, mana yang substanstial dan mana yang artifisial.

Kenapa saya memikirkan ini?

Semua itu diawali ketika saya sedang mengolah data-data tentang industri kopi yang kini melesat, baik itu dalam skala lokal – berupa kedai-kedai kopi yang menjamur di nyaris seluruh negeri – maupun dalam skala global, berupa penjualan kopi ke sejumlah negara atau ekspor.

Dua-duanya wangi dan kondisi tersebut tentu saja positif bagi perekonomian dalam negeri mengingat Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar ke-3 di dunia yang pada 2022/2023 telah menghasilkan 11,85 juta kantong kopi – per kantongnya berisi 60 kg kopi.

Storynomics. Istilah ini saya temukan pada pernyataan beberapa legislator di Senayan serta Menteri Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno tentang pentingnya sentuhan cerita atau narasi terkait kopi Nusantara (yang beragam) beserta racikannya dalam bisnis kedai kopi. Cerita-cerita di baliknya – di balik kopi Aceh, Lombok, Banyuwangi, Bali, dan Simalungun, misalnya, akan membuat wisatawan atau pengunjung kedai kopi tidak hanya menikmati kenikmatan olahan biji kopi, namun juga berbagai cerita asal-mula kopi tersebut.

Bisnis Kopi Butuh Sepotong Narasi, begitu akhirnya saya memberi judul pada artikel itu dan saya pikir strategi pemasaran tersebut sangatlah logis. Menjual imaji pengalaman, menciptakan imaji peristiwa, menyusun persuasi yang memikat, semuanya memang terasa benar, namun entah bagaimana, sebagai pengkaji teks budaya (yang tak konsisten juga), saya merasa pada akhirnya ada yang tidak tepat karena saya bukanlah bagian dari industri itu.

Jadi, saat saya berada di posisi berseberangan dengan industri itu, saat sayalah yang justru menjadi objek narasi itu, barulah saya menyadari bahwa mantra storynomics memang punya daya membius yang dahsyat, sesederhana itulah alasan pembelian saya. Bukan kopinya, namun imaji dan narasinya.

Kesadaran ini membuka kesadaran lain pada diri saya bahwa bukan hanya dalam pembelian kopi, namun hampir dalam 90% pengalaman konsumsi saya adalah pembiusan fatal dari narasi-narasi permukaan dan bahkan menyesatkan.

Saya memang bukan pecandu kopi, hanya penikmat yang tidak konsisten: kadang ingin, kadang tidak, namun saya adalah penikmat kedai kopi dan segala produknya. Storynomics dengan narasi – saya kesal karena diksi ini kembali terparkir lama di kepala saya.

Logika saya mulai bertanya-tanya tentang sejumlah narasi yang sudah saya beli selama ini. Jadi, tanya saya pada diri saya sendiri, narasi kopi itu sebenarnya narasi milik siapa? Narasi pebisnis? Narasi pemerintah? Narasi keduanya? Narasi petani kopi? Ataukah narasi pihak lain yang belum saya pikirkan?

Lantas, apa yang dijual dalam bisnis kopi – olahan kopi ataukah narasinya? Apakah saya memang membeli keduanya? Ataukah saya ternyata hanya membeli imajinya, asal-usul produknya, atau sekadar produknya?

Kedai kopi memang selalu wangi, dingin, dan nyaman, begitulah perjalanan konsumsi selama ini mengajari saya. Kedai kopi nyaman sekali untuk tempat menyendiri, bekerja, atau berbincang-bincang dengan sahabat maupun orang-orang yang paling saya sayangi.

Namun, di sisi lain, ternyata ada narasi lain yang kerap saya abaikan dan baru benar-benar saya perhatikan tatkala menulis esai ini. Narasi itu adalah narasi kehidupan petani kopi, mereka yang menghasilkan kopi, yang situasinya sungguh berbanding terbalik dengan para penikmat kopi.

Serikat Petani Indonesia (SPI) seringkali menyebut ada banyak permasalahan yang dihadapi petani kopi Indonesia: mulai dari permasalahan lahan minim (hak atas tanah yang tak terjamin), lokasi geografis ekstrem, perlakuan pada tanaman yang semakin harus teliti, pengelolaan buah kopi yang sangat cermat untuk mempertahankan mutu, hingga penghargaan nilai jual yang sangat tidak adil.

Begitulah. Pembacaan saya atas narasi alternatif ini pada akhirnya membuat saya mulai mengenali diri saya sendiri. Kesimpulannya, selama ini saya tak ubahnya si rakus pengalaman dan cerita permukaan, pemburu hal remeh-temeh tanpa siginifikansi. Sebaliknya, saya sungguh fakir dalam kemampuan memahami realitas dunia.

Baca Juga: Ruang Publik Masjid

Kenapa saya begini? Kalau saya ingat-ingat lagi, kondisi yang demikian ini terjadi kemungkinan karena ada kerusakan di salah satu komponen saraf saya lantaran begitu seringnya memperlakukan konten Gaza sampai makan pizza di media sosial dalam sekali duduk tanpa perasaan apa-apa kecuali scrolling hingga hati saya pun menjadi sekebas jempol saya.

Itu belum termasuk saya yang hanya bisa menatap kosong berita bunuh diri satu keluarga dari apartemen, para selebritas yang gagal maju senayan, kutipan Socrates dengan musik pengiring Bethoven, influencer yang hobinya joget, sampai iklan Shopee atau Lazada yang tiba-tiba muncul, lalu saya pun berpindah menuju lokapasar dalam satu ketukan.

Rutinitas ini membuat saya kesulitan membedakan mana informasi yang penting dan mana yang tidak. Semua menjadi sama saja.

Segala konsumsi berbasis penglihatan sejak lama telah saya reduksi menjadi sebatas informasi sehingga saya benar-benar kesulitan berhenti sejenak dan berpikir dalam-dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia saya.

Yang ingin saya katakan pada Anda adalah kopi, seperti juga tas, sepatu, pakaian, motor, hingga mobil, hanyalah benda dengan bayangannya yang paling asli, seperti juga manusia dan bayangan hitam yang mengikutinya di tanah. Namun, yang membuat saya frustasi adalah kenapa bayangan benda-benda itu kini bisa menjadi begitu berbeda ketika saya ‘membacanya’ dalam kehidupan yang serbacepat atau yang dikatakan modern sekarang ini?

Mobil kini bukan lagi tentang benda kotak yang bisa berjalan melainkan imaji tentang kenyamaman, kemewahan, kelas sosial, dan kemapanan. Pakaian dan sepatu pun menghasilkan bayangan tentang penampilan sempurna dari tubuh yang sempurna.



Jadi, seperti yang Baudrillard katakan, semua ini telah menjelma menjadi narsisme massal yang begitu mengerikan. Orang-orang yang rakus narasi, orang-orang yang rakus pengalaman, rakus peristiwa, namun miskin realitas dan miskin makna. Tidakkah kita semua kelelahan dengan segala tipuan ini? Tidakkah kita merindukan kebutuhan riil kita, bayangan yang masih kita miliki di dunia? Di mana bayangan itu kini berada?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Maret 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya