SOLOPOS.COM - Achmad Mahbuby (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Menteri  Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim beberapa waktu lalu mengintroduksi perekrutan guru melalui platform marketplace guru di forum rapat kerja dengan Komisi X DPR.

Konsep marketplace guru ini akan diterapkan pada tahun mendatang dan diharapkan  menanggulangi berbagai masalah kekurangan guru di banyak sekolah serta banyaknya guru honorer akibat perekrutan guru yang dilakukan secara terpusat dan tidak realtime.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Berbagai tanggapan mencuat di kalangan masyarakat yang mengkritik frasa “marketplace guru” yang seolah-olah mendistorsi guru layaknya barang dagangan. Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Imam Zanatul Haeri khawatir penggunaan kata marketplace mendegradasi guru menjadi sekadar barang jualan dan akan berakibat kedudukan guru dipandang tidak terhormat.

Dalam bahasa Indonesia marketplace memiliki padanan kata lokapasar yang berasal dari kata ”loka” yang artinya dunia atau tempat dan ”pasar” yang berarti tempat orang berjual beli sehingga sangat tak lazim diksi marketplace disandingkan dengan perekrutan guru yang konotasinya adalah orang yang memiliki peran besar dalam mendidik anak bangsa.

Menteri Nadiem Makarim menyebut terdapat dua kategori guru yang dapat masuk dalam bursa marketplace. Pertama, guru honorer yang telah mengikuti seleksi guru berstatus aparatur sipil negara yang dinyatakan lulus passing grade sehingga dapat masuk database.

Kedua, lulusan pendidikan profesi guru pra-jabatan yang langsung dapat mendaftarkan diri ke basis data marketplace. Hal tersebut tentu akan sangat menguntungkan bagi 26.000 guru golongan P1 atau yang mendapatkan nilai ambang batas pada tes calon guru berstatus aparatur sipil negara yang masih belum mendapat penempatan dalam formasi aparatur sipil negara di banyak daerah.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata pernah mengatakan ada pengakuan dari pegawai yang menyatakan kasus nepotisme dalam penerimaan aparatur sipil negara pada 2021.

Pernyataan tersebut tervalidasi oleh data hasil survei penilaian integritas (SPI) KPK tahun 2019 yang mengukur tingkat integritas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang menemukan banyak tindakan suap pada proses naik jabatan dalam instansi pemerintahan.

Kasus tersebut dapat dijadikan gambaran betapa lemahnya pengawasan sistem perekrutan aparatur sipil negara di Indonesia sehingga masih banyak kasus nepotisme dan suap menyuap. Lantas bagaimana dengan kebijakan marketplace guru tersebut ?

Sistem perekrutan yang langsung dilakukan oleh sekolah, yaitu kepala sekolah, dapat memunculkan praktik ”titip kursi” dan suap menyuap di tiap instansi sekolah. Apabila hal tersebut terjadi, akan marak praktik nepotisme dan penyuapan di lingkungan pendidikan di Indonesia.

Apakah Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dapat menjamin sistem pengawasan ketat dalam proses perekrutan guru melalui marketplace sehingga dapat meminimalkan praktik-praktik serupa?

Seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, mengungkapkan kegelisahan mengenai marketplace guru yang dia nilai rawan terjadi kasus ”titip nama”. Lingkungan pendidikan seharusnya bersih dari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme agar tercipta lingkungan pendidikan yang berkualitas.

Tidak dimungkiri bahwa marketplace guru merupakan terobosan baru dalam usaha mengatasi berbagai masalah pendidikan di Indonesia, namun tidaklah mudah mengelola guru se-Indonesia layaknya mengelola sumber daya manusia dalam aplikasi Go-Jek.

Ada etika keguruan yang harus dijaga ketat dalam rangka penghormatan pada jasa guru yang begitu besar dalam membangun kecerdasan anak-anak penerus bangsa. Evaluasi sangat diperlukan ketika kebijakan marketplace guru benar-benar diterapkan pada 2024.

Seyogianya Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi memanfaatkan seluruh dinas pendidikan di setiap daerah untuk melakukan survei mengenai kondisi lingkungan sekolah agar diketahui kebutuhan primer tiap sekolah di Indonesia.

Kebijakan yang diturunkan harus benar-benar merupakan hasil dari penghimpunnan problem riil. Otoritas kepegawaian daerah dapat didayagunakan untuk redistribusi guru di sekolah yang krisis guru dengan alasan tertentu.

Tinjauan dari berbagai aspek sangat dibutuhkan demi menjaga stabilitas pendidikan di Indonesia, terlebih praktik-praktik seperti korupsi, kolusi, nepotisme jangan sampai tumbuh subur di lingkungan pendidikan di Indonesia.

Praktik semacam itu akan sangat memengaruhi kualitas pendidikan. Kata yang digunakan sebaiknya ditinjau ulang karena marketplace sangatlah tidak cocok apabila dikonotasikan dengan guru.

Paradigma masyarakat mengenai marketplace adalah tempat jual beli barang dagangan. Guru sangat tidak layak disamakan dengan barang dagangan mengingat jasa yang sangat besar dalam membangun peradaban bangsa. Mungkin bisa menggunakan diksi ”pahlawan bangsa”, ”guru merdeka”, atau lebih aman adalah ”database guru”.

 (Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Juni 2023. Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya