SOLOPOS.COM - Eko Sulistyo (JIBI/SOLOPOS/dok)

Eko Sulistyo (JIBI/SOLOPOS/dok)

Rencana Pemprov Jateng membangun mal (baca: Mal Ramayana) di bekas Pabrik Es Saripetojo, Purwosari, Solo, menimbulkan protes banyak pihak. Banyak kalangan yang peduli cagar budaya menyayangkan rencana itu karena bakal merusak situs cagar budaya bekas pabrik es pertama di Kota Solo.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Bagi kalangan peduli cagar budaya, rencana pembangunan Mal Ramayana itu dianggap melanggar UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya. Dalam UU ini bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya harus dipelihara, dilindungi dan diselamatkan keberadaannya. Dalam UU Cagar Budaya, pemerintah (baik pemerintah kabupaten/kota, provinsi, maupun pemerintah pusat) memiliki tanggung jawab besar melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sulit dimengerti jika Pemprov Jateng tidak memahami atau sengaja mengabaikan UU Cagar Budaya tersebut.

Kalau Pemprov Jateng menganggap Pabrik Es Saripetojo tidak masuk kategori BCB sebagaimana diatur SK Walikota No 646/116/I/1997 tentang Daftar Bangunan Kuno dan Kawasan Bersejarah di Kota Surakarta yang Dilindungi UU No 5/1995 tentang Benda Cagar Budaya (BCB), jelas kurang tepat. SK Walikota itu sifatnya hanya mengatur 70 objek BCB yang dilindungi. Padahal masih banyak situs cagar budaya di Kota Solo yang tidak masuk dalam SK Walikota tapi tercatat atau teregister sebagai BCB oleh pemerintah pusat.

Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang sama mengenai BCB dan segala aspek yang melingkupinya. Solo memiliki banyak warisan budaya baik yang bersifat tangible (bendawi) maupun intangible (nonbendawi) yang menjadi bagian dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat Solo. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempertajam pro-kontra tentang rencana pembangunan Mal Ramayana yang kini ramai dibicarakan, melainkan memberikan perspektif tentang BCB serta bagaimana BCB didayagunakan untuk kepentingan bersama.

Penetapan BCB
Dalam UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya diberikan kriteria Cagar Budaya. Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria : [a] 50 (lima puluh) tahun atau lebih; [b] mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; [c] memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan [d] memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Jadi berdasar kriteria ini, tidak semua tinggalan situs dapat dikategorikan sebagai cagar budaya meski telah berusia lebih dari 50 tahun. Misalnya rumah orang tua saya, diukur dari umur pendirian, lebih 50 tahun. Tapi rumah orang tua saya ini tidak pernah memiliki peran sejarah penting yang bisa dicatat kecuali hanya sebagai rumah tinggal sampai sekarang. Dari kriteria cagar budaya, rumah orang tua saya tidak masuk kriteria cagar budaya yang bisa diusulkan.

Hal ini berbeda dengan rumah penduduk di suatu desa yang jauh dari kota, tapi karena pada zaman revolusi rumah ini pernah digunakan sebagai markas Tentara Pelajar Kota Solo dan di rumah itulah dibikin strategi penyerbuan terhadap tentara Belanda di Kota Solo, jelas rumah ini memiliki catatan sejarah yang penting yang bisa dimasukkan kriteria cagar budaya, meski dari dari sudut arsitektural rumah tersebut tampak sebagai bangunan rumah penduduk desa biasa.

Lalu, bagaimana setelah benda, bangunan, atau struktur tinggalan situs itu kita ketahui telah memenuhi kriteria cagar budaya, apakah langsung bisa dikategorikan sebagai BCB yang dilindungi oleh pemerintah? Dalam UU No 11/2010 dinyatakan untuk bisa disebut BCB maka tinggalan situs yang telah memenuhi kriteria BCB perlu didaftarkan, dikaji oleh tim ahli cagar budaya untuk kemudian ditetapkan oleh pemerintah daerah, serta dilaporkan kepada pemerintah pusat untuk dicatat dalam Register Nasional Cagar Budaya yang tanggung jawabnya berada di tangan Menteri.

Jadi sebelum dilakukan kajian oleh tim ahli cagar budaya, meski suatu tinggalan situs itu telah memenuhi kriteria cagar budaya, belum bisa disebut sebagai BCB, melainkan “diduga” sebagai BCB. Pembentukan tim ahli cagar budaya penting untuk segera dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk Pemkot Solo. Untuk mendaftarkan sekian banyak tinggalan situs yang tersebar yang diduga sebagai BCB di daerah, UU No 11/2011 memberi ruang pemerintah daerah bekerja sama dengan setiap orang atau kelompok masyarakat. Setiap orang dapat bepartisipasi mendaftarkan benda, bangunan, atau struktur dan lokasi yang diduga sebagai cagar budaya. Secara sederhana usulan pendaftaran ini dapat berbentuk dokumentasi dan deskripsi benda, bangunan atau struktur yang diduga sebagai cagar budaya kepada pemerintah daerah setempat.

Setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar Budaya, pemilik BCB berhak memperoleh jaminan hukum berupa : [a] surat keterangan status cagar budaya; dan [b] surat keterangan kepemilikan berdasar bukti yang sah. Pemilik yang telah melakukan kewajiban melestarikan dan melindungi cagar budaya yang dimiliki dan kuasai juga berhak memperoleh kompensasi maupun insentif berupa pengurangan PBB atau pajak penghasilan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Secara umum regulasi cagar budaya yang baru ini telah memberikan paradigma baru terhadap sistem pengelolaan cagar budaya yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, desentralisasi pemerintahan, partisipasi masyarakat, serta tuntutan perkembangan hukum dalam masyarakat.

BCB dan pariwisata
Sebagai tinggalan situs yang umumnya bersifat rapuh, langka, unik dan terbatas, diperlukan perlakuan khusus untuk menjaga kelestarian dan eksistensi suatu BCB. Peran pemerintah daerah sangat penting dalam menyosialisasikan permasalahan BCB kepada masyarakat. Pemerintah daerah tidak hanya sekadar mencatat dan menetapkan BCB di daerah—lebih dari itu –harus mampu mengelola dan mendayagunakan BCB tersebut agar memiliki nilai tambah, tidak hanya bagi pemiliknya, tapi juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Di Solo, beberapa tahun belakangan ini, sebenarnya tampak gejala pemanfaatan bangunan-bangunan rumah tinggal kuno sebagai kafe, resto, butik, distro, maupun ruang pameran budaya, tanpa mengubah bentuk dan struktur bangunan asli. Gejala ini saya kira cukup positif karena dapat mendatangkan keuntungan ekonomi, dan keterawatan dan kelangsungan bangunan lebih terjaga dan terpelihara.

Sementara itu, penataan kembali beberapa kawasan sejarah dan tradisional di Kota Solo, yang dilakukan oleh Pemkot Solo, seperti Kawasan Laweyan, Kauman, rencana penataan Kawasan Pasar Gede, selain dapat menambah khasanah dunia pariwisata Kota Solo, juga dapat dimanfaatkan sebagai life laboratory bagi sejarah perkembangan kota melalui tinggalan situs yang masih terjaga dan terpelihara, baik dalam bentuk tinggalan arsitektural, kesenian, industri maupun nilai-nilai budaya dan keagamaan.

Sebagai kota yang tidak memiliki sumberdaya alam dan hanya menggantungkan kegiatan bidang jasa dan perdagangan, pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya semacam itu akan memberikan warna tersendiri bagi keunggulan dunia pariwisata Kota Solo dibanding dengan kota-kota lainnya. Agar program pelestarian dan perlindungan cagar budaya ini tidak terkesan parsial, Pemkot Solo harus memikirkan penyusunan rencana induk pelestarian cagar budaya yang akan menjadi semacam grand design pengelolaan dan pelestarian cagar budaya dalam kebijakan yang terencana, terprogram dan terukur.

Untuk mewujudkan program ini Pemkot Solo perlu melibatkan para pemangku kepentingan kota seperti akademisi, pengusaha, LSM dan masyarakat. Saya kira hanya dengan kerja sama inilah beban Pemkot dalam pengelolaan dan pelestarian cagar budaya akan terkurangi. Penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan Mal Ramayana di bekas Pabrik Es Saripetojo, atau sebelumnya, protes masyarakat atas rencana pembangunan Hotel Boutique di bekas Benteng Vasternbug, memberikan pelajaran bagi kita bahwa partisipasi masyarakat dapat menjadi watchdog bagi perlindungan dan pelestarian cagar budaya di tengah arus kuat vandalisasi maupun ancaman fisik pembangunan yang mengabaikan pelestarian cagar budaya.

Eko Sulistyo, konsultan kebijakan publik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya