SOLOPOS.COM - Siswa membuat gambar saat mengikuti Aksi Menggambar Massal Kartu Pos di jalur pedestrian Ngarsopuro, Kota Solo, Jumat (8/12/2023). (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Skor indeks tentang korupsi di Indonesia menurun. Hal ini terlihat dari indeks persepsi korupsi (IPK), indeks perilaku antikorupsi (IPAK), dan survei penilaian integritas dengan hasil yang sama saja, yaitu skor yang rendah.

Laporan Transparency International pada 2019 menunjukkan Indonesia mendapatkan  skor 40 dan berada di posisi ke-85 dari 180 negara. Pada 2020, Indonesia mengalami penurunan tiga poin dari 40 menjadi 37 dan turun dari posisi ke-85 menjadi di posisi ke-102 dari 180 negara.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Sedangkan pada 2021, Indonesia berada di posisi ke-96 dari 180 negara. Pada 2022, Indonesia mengalami penurunan empat poin sehinga skor menjadi 34. Posisi Indonesia turun drastis dari ke-96 menjadi berada di posisi ke-110 dari 180 negara.

Laporan itu mengurutkan 180 negara di dunia berdasarkan persepsi masyarakat tentang korupsi pada jabatan publik dan politik. Negara yang mendapatkan indeks persepsi korupsi semakin tinggi, seperti 100, berarti persepsi korupsi di negara itu rendah.

Sementara semakin kecil skor sampai 0, berarti persepsi korupsi di negara itu tinggi. Survei penilaian integritas (SPI) tidak menunjukkan kemajuan. Kini pemberantasan korupsi—yang mencakup penindakan dan pencegahan—di Indonesia berada pada masa suram.

Tiga skor indeks tentang korupsi, yakni IPK, IPAK, SPI adalah cerminan kondisi riil gerakan pemberantasan korupsi yang suram. Gerakan pemberantasan korupsi pernah menemukan momentum ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lembaga paling dipercaya dengan langkah-langkah yang independen dan tanpa kompromi.

Momentum itu tersia-siakan oleh anggapan dari kalangan elite pengelola negara yang kemudian menjadi semacam pilihan, bahwa pemenjaraan koruptor tak membuat mereka jera, tak mencegah munculnya koruptor baru, dan tak mengurangi korupsi.

Ini kemudian berujung pelemahan KPK, sementara di sisi lain Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung beserta aparatur di bawahnya sebagai penegak hukum tak kunjung membaik pula.

Kini muncul sejumlah kasus korupsi dan pelanggaran hukum lain di kalangan aparat penegak hukum, termasuk KPK. Ini menjadikan pilihan jalan lain memberantas korupsi lewat pencegahan dan ”mengurangi penindakan” malah menjadi senjata makan tuan, menjadi jalan serangan balik koruptor.

Elite-elite penegak hukum terjerat kasus korupsi: ketua KPK, perwira tinggi kepolisian, jaksa, hakim, hakim agung, dan lain-lain. Saat ini yang diperlukan negeri ini adalah ”jalan baru” dalam pemberantasan korupsi.

Ini penting agar memberikan efek jera bagi para pelaku. Korupsi sudah masuk di seluruh sendi kehidupan, bahkan”politik pengelolaan negara” juga pekat dengan korupsi.

“Jalan baru” ini harus menjadi perhatian dalam prosesi demokrasi pergantian wakil rakyat dan pemimpin negara melalui Pemilu 2024. Transformasi demokrasi harus didorong ke arah menguatkan pemberantasan korupsi, bukan yang malah memanipulasi demokrasi untuk korupsi.

Rakyat harus memilih wakil rakyat dan pemimpin negara yang memiliki kepekaan, kepedulian, dan keberanian dalam pemberantasan korupsi. Jangan memilih wakil rakyat dan pemimpin yang lunak terhadap korupsi dan korptor. Jangan biarkan negeri ini menjadi surga koruptor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya