SOLOPOS.COM - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Perempuan  berusia 50-an tahun itu bernama Siti. Warga kampung biasa memanggil dia Mbak Siti. Pagi itu Mbak Siti berdandan rapi menghadiri pertemuan orang tua murid di sebuah sekolah menengah pertama negeri.

Dia bercerita tiga dari enam anaknya bersekolah di SMP yang sama. Kebetulan rumahnya tak jauh dari SMP yang dulu disebut sekolah favorit.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Mbak Siti ibu rumah tangga yang biasa membantu sang suami bekerja sebagai petugas pengumpul sampah di kampung. Dengan pendapatan yang pas-pasan, dia dan sang suami tetap ingin memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya .

Anak sulung mereka diterima di SMA negeri dekat rumah karena sistem zonasi. Dia senang tak perlu mengeluarkan biaya sekolah bulanan untuk anak-anaknya karena pemerintah sudah menanggung.

Belakangan dia risau karena sistem zonasi akan ditinjau lagi. Kalau sistemnya berubah lagi, ia khawatir anak-anaknya tidak bisa masuk sekolah negeri dengan keringanan biaya seperti saat ini.

Suara-suara lirih Mbak Siti mungkin hampir tak terdengar karena kalah nyaring dengan suara-suara lantang yang menginginkan sistem zonasi ditinjau lagi.

Masalah-masalah yang timbul dalam implementasi zonasi sekolah sampai mengusik Presiden Joko Widodo hingga muncul desakan evaluasi, bahkan mungkin ada keinginan menghapus zonasi sekolah.

Zonasi sekolah lahir dari pemikiran mendalam dan mulia, salah satunya untuk mengeliminasi kesenjangan pendidikan.  Sistem zonasi telah diimplementasikan secara bertahap sejak 2016 yang diawali dengan penggunaan zonasi untuk penyelenggaraan ujian nasional.

Pada 2017 sistem zonasi untuk kali pertama diterapkan dalam penerimaan peserta didik baru atau PPDB dan disempurnakan pada 2018. Sejak 2017 itulah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan kebijakan zonasi sekolah dalam PPDB.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kala itu menyebut melalui zonasi sekolah pemerintah ingin mereformasi sekolah secara menyeluruh. Zonasi adalah salah satu strategi percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas.

Kebijakan zonasi sekolah diambil sebagai respons atas kemunculan “kasta” dalam sistem pendidikan karena penerapan seleksi kualitas calon peserta didik dalam penerimaan peserta didik baru.

Menurut Muhadjir, tidak boleh ada favoritisme dalam pemilihan sekolah. Pola pikir kastanisasi dan favoritisme dalam pendidikan semacam itu harus diubah dan seleksi dalam zonasi sekolah dibolehkan hanya untuk penempatan (placement).

Niat mulia itu dalam penerapannya memang bukan tanpa masalah.  Mayoritas  masyarakat masih terjebak dalam pola pikir favoritesme sekolah. Banyak yang tetap ingin menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang mereka anggap favorit dengan berbagai upaya.

Praktik-praktik pindah rumah fiktif alias titip nama anak di kartu keluarga kerabat , teman, atau kenalan jamak dilakukan. Ada yang mencari surat keterangan miskin, padahal tidak miskin, agar bisa masuk sekolah yang diinginkan lewat jalur afirmasi karena tak lolos di jalur prestasi dan zonasi.

Kesenjangan Pendidikan

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyatakan tanpa sistem zonasi kesenjangan pendidikan akan semakin melebar. Nadiem mengatakan jika PPDB sistem zonasi tidak diberlakukan, murid dari kalangan keluarga miskin akan selalu membayar sekolah.

Memang butuh kerja keras dan pengorbanan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri yang masih kalah jauh dari negara-negara lain ini. Di sejumlah negara sistem zonasi juga diterapkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Di Inggris, misalnya, siswa yang tinggal di wilayah tertentu biasanya memiliki prioritas untuk masuk ke sekolah-sekolah yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka. Hal itu juga diterapkan di Amerika Serikat, Australia, Jerman, Kanada, dan Jepang, namun dengan kebijakan masing-masing.

Kebijakan yang bermuara kebaikan hendaknya dijunjung bersama dengan perbaikan, bukan serta-merta diubah atau bahkan dihapus hanya karena muncul aneka masalah dan kecurangan yang sebenarnya secara teknis mudah diselesaikan.

Mengevaluasi dan memperbaiki adalah jalan tengah agar anak-anak tak melulu menjadi korban kebijakan yang sering berubah-ubah. Seiring dengan perbaikan sistem zonasi, pemerintah dan pihak terkait perlu fokus pada pengembangan kurikulum yang baik.

Pemerintah dan pihak terkait juga harus mengintensifkan pelatihan guru serta penyediaan fasilitas dan sumber daya pendukung yang memadai di setiap sekolah.

Ihwal aksesibilitas, pemerintah dapat menyediakan transportasi publik atau infrastruktur yang memudahkan siswa dari wilayah terpencil atau terisolasi mengakses sekolah.

Sekolah-sekolah hendaknya terus mengembangkan program-program khusus yang mencakup berbagai minat dan bakat siswa. Dengan cara ini siswa dapat ditempatkan di sekolah yang sesuai dengan potensi mereka.

Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap penerapan zonasi sekolah untuk memastikan tujuan meratakan akses pendidikan tercapai dengan baik.

Melibatkan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan terkait zonasi sekolah dapat membantu mengidentifikasi kebutuhan unik wilayah dan menciptakan solusi yang lebih tepat.



Mungkin suara-suara anak-anak juga perlu didengarkan. Penerapan zonasi sekolah memiliki potensi besar untuk meningkatkan akses pendidikan dan meratakan kualitas pembelajaran.

Tantangan dan kendala perlu ditangani secara komprehensif dengan solusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, pemerintah hingga masyarakat lokal, bahkan anak-anak, agar tujuan pendidikan yang berkualitas dan merata tercapai secara efektif.

Masalah pendidikan bukan hanya soal zonasi sekolah yang sangat teknis itu. Masih banyak masalah dalam dunia pendidikan yang juga perlu dipikirkan seperti kasus bullying atau tindak kekerasan, pelecehan dan kekerasan seksual, serta intoleransi.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis data di sepanjang Januari hingga April 2023 terdapat 15 kasus kekerasan seksual di sekolah maupun pondok pesantren.

Sebanyak 46,67% kasus kekerasan seksual sepanjang Januari-April 2023 terjadi di jenjang SD/MI, 13,33% di jenjang SMP, 7,67% terjadi di SMA/SMK, dan 33,33% di pondok pesantren.

Dari 15 kasus tersebut, 46,67% satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 53,33% dibawah kewenangan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.

Jangan sampai saking seringnya kasus-kasus itu muncul sehingga menjadi hal yang dilumrahkan atau diabaikan. Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin besar peluang menjadi pribadi yang lebih baik, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, berkontribusi pada ekonomi, dan mencapai keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan.

Tugas bersama untuk mewujudkan sistem, termasuk lembaga dan satuan pendidikan, yang bisa mengantarkan generasi penerus ke masa depan yang lebih baik. Bijak menyikapi kebijakan adalah salah satu kunci keberhasilan pendidikan di negeri ini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Agustus 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya