SOLOPOS.COM - Joko Priyono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Andaikan dramawan dan penyair Berthold Brecht itu masih hidup barangkali ia akan mengganti pernyataannya mengenai buta terburuk adalah buta politik. Utamanya saat ia membaca berita tentang kualitas pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari harapan dan cita-cita.

Dalam liputan tentang kualitas pendidikan itu, ada  keterangan tentang nasib matematika dan literasi sains yang masih menjadi masalah bagi bangsa kita. Kenyataan itu tak pelak menghadirkan frasa ”buta matematika”.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Kalau kita menyitir kata Brecht untuk menggambarkan kondisi itu tentu berupa: buta terburuk adalah buta matematika. Kalau dipikir-pikir, bangsa Indonesia tak kekurangan ahli matematika, tingkat sarjana hingga guru besar atau profesor.

Bangsa Indonesia juga tak defisit lulusan matematika yang kemudian mengabdikan diri menjadi pengajar di berbagai jenjang pendidikan. Lalu, landasan apa yang kemudian menjadikan masyarakat kita dalam beberapa riset berhubungan dengan matematika dan sains kerap menampakkan keresahan dan kekhawatiran bersama?

Satu hal mendasar kiranya adalah perihal kebudayaan. Matematika belumlah menjadi kebudayaan bernalar secara kolektif yang kemudian melahirkan kesadaran terhadap ilmu dan pengetahuan. Fakta ini agaknya juga menjadi sorotan seorang ahli astronomi kelahiran Kudus 88 tahun lalu, Bambang Hidayat.

Melalui buku Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek dan Ilmuwan Masa Depan (2022), Bambang mengungkapkan bahwa matematika masih jauh dari perhatian banyak keluarga Indonesia.

Walhasil, pemahaman matematika bagi anak-anak kerap terpahami sebagai keilmuan yang dianggap sulit dan jamak dihindari, padahal kalau mengacu pada realitas kehidupan matematika sangat erat dengan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Frans Susilo melalui esai berjudul Matematika Humanistik di Majalah Basis edisi Juli-Agustus 2004 menyatakan sistem angka dalam matematika dikembangkan karena kebutuhan menyatakan bilangan-bilangan cacah dalam dunia perdagangan.

Geometri tumbuh karena kebutuhan mengukur tanah dalam bidang pertanian. Trigonometri lahir untuk memenuhi kebutuhan para ahli astronomi mengukur jarak di ruang angkasa. Kalkulus lahir karena masalah kuantitas yang berubah dalam perjalanan waktu.

Penjelasan-penjelasan itu tentu membawa kita pada tilikan sejarah penting tentang perkembangan dan perubahan dalam matematika. Dalam keilmuan, matematika memiliki keterkaitan dengan berbagai cabang keilmuan, baik itu sains kealaman maupun sains sosial.

Matematika menjadi bahasa untuk menarasikan pengetahuan dalam bentuk logika dan abstraksi. Itu tak terlepas dari kompleksitas yang terjadi pada perkembangan ilmu yang kemudian menghadirkan matematika.

Warga Negara dan Matematika

Kita kembali pada persoalan kebudayaan bermatematika dan bagaimana keterkaitan warga negara. Kerentanan algoritma dunia digital yang semakin menjadi-jadi hanya menyajikan pilihan: ya dan tidak. Apa artinya?

Kemenduaan teknologi digital perlu dibarengi kemampuan berpikir logis, ilmiah, dan rasional. Hal tersebut tak bisa hanya dihadapi dengan keberangkatan diri sebatas menjadi pengguna yang memanjakan kenyamanan.

Kenyamanan itu—sebagai produk media digital—terkadang malah menyiksa. Kenyamanan dalam lanskap dunia digital memunculkan perkara pelik. Seberapa banyak polarisasi yang diakibatkan dari kenyamanan teknologi digital?

Belum lagi tantangan lain terhadap perkembangan ilmu dan pengetahuan, seperti halnya kepercayaan terhadap sains bersifat semu (pseudosains), bahkan kedangkalan berpikir yang menjadikan seseorang antisains.

Alih-alih demikian, upaya mendasar yang kiranya bisa menjadi solusi terhadap itu tiada lain adalah siasat. Siasat berhubungan dengan kebudayaan dibutuhkan peran dari berbagai elemen maupun kalangan membuat paradigma bahwa matematika itu sebagai sebuah kebudayaan.

Dengan arti lain, masyarakat secara luas terus diajak mengerti dan memahami bahwa matematika begitu dibutuhkan oleh seorang warga negara tanpa terkecuali. Kecakapan itu sejatinya dapat dibentuk dengan beberapa upaya.

Selain pendidikan formal, matematika bisa menjadi program penting sebagai bagian literasi di kalangan masyarakat. Dalam hal ini yang perlu ditekankan adalah pemanfaatan fasilitas umum hingga pemerintahan yang dapat digunakan sebagai tempat untuk pembelajaran bersama dengan berbagai inovasi kegiatan.

Pemerintah dapat berkolaborasi dengan akademisi dan intelektual yang memiliki kepakaran dalam ilmu tersebut. Selanjutnya, tak bisa ditampik, adalah keberadaan pendidikan, dalam hal ini sekolah. Mitos yang berlangsung sejak lama menyatakan peserta didik menghadapi pelajaran matematika ibarat menghadapi monster yang menakutkan.

Mitos ini perlu dibongkar dan dipatahkan. Sekolah perlu mewujudkan ruang pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan bagi peserta didik dengan terus bertumbuhnya gairah terhadap ilmu dan pengetahuan. Menyitir yang pernah dikatakan ahli matematika, Iwan Pranoto, bahwa sekolah itu sebagai agen wisata.

Tabir itu tampaknya memiliki peluang besar saat pendidikan kita menguatkan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam konsep profil pelajar Pancasila. Jelaslah, negara melibatkan sejarah falsafah bangsa dalam kompleksitas perkembangan ilmu dan pengetahuan.

Bahwa keduanya perlu menjadi bagian napas perjuangan hidup. Tak lain adalah mencetak warga negara dengan kecakapan ilmu dan nalar kritis. Itu tidak lain sebagai upaya untuk terus menyadarkan diri akan kemanusiaan di tengah keterasingan zaman.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Desember 2022. Penulis adalah fisikawan partikelir dan penulis buku berjudul Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan  yang terbit pada 2022)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya