SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Membaca hasil penelitian Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang diberi judul Kepemilikan dan Afiliasi Politik Media di Indonesia, yang dirilis beberapa waktu lalu, membuktikan media partisan semakin terang-terangan mengusik ruang demokrasi kita.

Bagaimana bisa pemilik media besar merangkap sekaligus sebagai ketua umum partai politik? Penelitian ini menggambarkan lanskap kepemilikan media dan afiliasi politik, khususnya pada Pemilu 2024.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Peneliti menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik. Ada dua media korporasi nasional yang diteliti, yaitu MNC Group dan Media Group. Ini menarik karena pemilik perusahaan media ini sama-sama ketua umum partai politik yang menjadi kontestan di Pemilihan Ummum (Pemilu) 2024.

Hary Tanoesoedibjo adalah pendiri MNC Group yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Surya Paloh merupakan pendiri Media Group sekaligus Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Dua partai politik tersebut menjadi pengusung dan pendukung calon presiden dan calon wakil presiden. Partai Perindo mengusung calon presiden-calon wakil presiden Ganjar Pranowo-Moh. Mahfud Md.

Partai Nasdem mengusung calon presiden-calon wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Sebenarnya media partisan seperti saat ini juga terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu Pemilu 2009, 2014, 2019, dan periode sebelumnya.

Hal ini wajar karena media memiliki peran penting dalam membangun opini publik, apalagi pada era ketika perkembangan media sosial belum semasif sekarang. Saat itu kekuatan media/pers dalam fungsi memengaruhi opini publik sangat kuat.

Sikap partisan media dalam pemilu sangat membahayakan demokrasi. Ruang publik seperti media yang seharusnya independen, menjadi rusak karena mendapatkan intervensi dari pemilik media.

Kita pernah melihat media partisan melakukan aksi yang memalukan pada Pemilu 2014. Waktu itu TV One menyiarkan secara langsung klaim kemenangan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengalahkan calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Kenapa TV One berani menyiarkan klaim kemenangan palsu itu? Karena pemilik media tersebut, Aburizal Bakrie, adalah Ketua Umum Partai Golongtan Karya (Golkar) yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta.

Bias pemberitaan TV One sangat kentara. Pemilik media mengintervensi berita yang disajikan. Ross Tapsel dalam buku berjudul Kuasa Media di Indonesia menjelaskan hal itu dengan gamblang.

Pada Pemilu 2024, saya psimistis terhadap konten-konten yang disajikan media yang secara terang-terangan partisan. Dengan melihat intervensi politikus terhadap ruang redaksi, patut dicurigai berita maupun konten yang disajikan media partisan bukanlah kepentingan publik, melainkan kepentingan politik pribadi pemilik media.

Hasil penelitian PR2Media juga menunjukkan model afiliasi politik media arus utama nasional tersebut. MNC Group dan Media Group masuk dalam model extreme dan stronge. Dalam kasus MNC Group, Hary Tanoesoedibjo selaku pemilik dan direktur umum di media tersebut juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Perindo.

Hary bersama keluarganya maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Pada saat yang sama anaknya juga menjadi wakil menteri di Kabinat Indonesia Maju. Model ini yang oleh peneliti PR2Media disebut sebagai model extreme.

Sedangkan model stronge menurut peneliti PR2Media terjadi di Media Group. Afiliasi politik tergambarkan padaa Surya Paloh sebagai pemilik dan menjadi direktur utama di media tersebut sekaligus  menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Nasdem.

Sedangkan anaknya, Prananda, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan menjadi anggota DPR 2019-2024. Partai Nasdem juga menempatkan tiga kader menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju.

Dua menteri dari Partai Nasdem, Johny G. Plate dan Syahrul Yasin Limpo, mundur karena tersandung kasus korupsi. Hanya tersisa Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkuhan Hidup dan Kehutanan. Para peneliti PR2Media menyebut afiliasi media dalam politik praktis sangat kompleks dan merusak nalar kewarasan publik.

Dampak

Media partisan yang saat ini berkembang dalam lanskap media di Indonesia cukup meresahkan dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pers. Kalau diterus-teruskan tentu akan merusak sendi-sendi demokrasi.

Dalam negara demokrasi, pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Saat pers justru partisan, apa layak disebut sebagai pilar demokrasi? Media pers memiliki pernan penting dalam membangun opini publik.

Dalam teori agenda setting yang digagas Maxweel McCombs dan Donald Shaw, media massa memiliki kekuatan menentukan agenda mana yang akan menjadi perhatian publik.

Media massa memengaruhi pemilih pada pemilihan gubernur di Amerika Serikat pada 1968. Banyak pemilih yang terpapar berita tentang kandidat tertentu yang kerap muncul di media. Berkaca pada teori itu, bertapa berbahaya ketika pers berpihak kepada partai tertentu atau kepada kandidat persiden tertentu.

Dampak yang dirasakan publik adalah bias informasi yang mendukung salah satu partai atau kandidat presiden. Opini publik akan terpengaruh hingga menentukan pilihan kepada kandidat yang tidak sesuai dengan hati nurani.

Media yang seharusnya mengulas gagasan dan konsep pembangunan kandidat presiden atau kandidat wakil rakyat akhirnya hanya membuat konten receh dan hanya permukaan saja.

Bisa saja konten atau berita yang dibuat hanya merepresentasikan kepentingan politik pemilik media. Dalam memproduksi berita, salah satu yang memengaruhi adalah pemilik media dan keterkaitan dengan kekuatan politik atau kepentingan ekonomi tertentu.



Ada juga faktor lain yang memengaruhi, seperti iklan dan kualitas jurnalis. Jeffrey Winters dalam buku Oligarchy menyebut sejauh mana dikuasai aktor dan kekuatan politik yang sama, hampir tidak mungkin pers yang kritis atau partai politik menyediakan ruang untuk menantang dominasi oligarki.

Pemilik media di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup kuat dan berpengaruh secara politik. Ross Tapsell menyebut lanskap media di Indonesia lebih tepat digambarkan sebagai sistem multi-oligarkis, yakni pemilik media mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan publik yang lebih luas.

Sebenarnya aturan agar tidak menjadi media partisan sudah ada di kode etik wartawan. Wartawan dalam melakukan kerja-kerja jurnalisme harus sesuai kode etik. Seharusnya etika yang sama wajib dipatuhi pemilik media.

Jangan sampai para wartawan susah payah menegakkan kode etik, malah dinodai oleh pemilik media yang abai terhadap prinsip-prinsip independensi dan malah mengikuti kuasa politik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Desember 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya