SOLOPOS.COM - Ika Yuniati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Perlawanan pada patriarki menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung tuntas sampai hari ini. Budaya yang menormalisasi stigma perempuan tidak bisa setara dengan para pria ini telah mengakar, merugikan, juga membahayakan.

Perempuan Indonesia menjadi sulit bersuara bahkan tak punya kuasa atas nasib dan tubuhnya sendiri. Selalu ada peluang untuk menyalahkan perempuan mulai soal pemilihan pakaian, tujuan hidup dan cita-cita, bahkan ketika menjadi korban kekerasan sekalipun.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Perempuan ada peluang salah, sementara laki-laki bisa dimaklumi. Setidaknya itu premis yang saya tangkap dari beberapa kejadian akhir-akhir ini.
Namun, di sisi lain, panggung seni budaya menawarkan hal yang berbeda.  Mereka menyalakan lampu hijau perlawanan pada tradisi patriarki sejak puluhan tahun silam. Beberapa panggung seni menjadi ruang demokratis meleburkan budaya patriarki.

Perempuan diberi panggung untuk tampil secara penuh di ranah kesenian. Posisinya setara dengan seniman pria. Perempuan juga dipersilakan menyuarakan ragam kegelisahannya dalam pentas, tanpa dibatasi.

Di panggung, para perempuan bisa lantang membawakan tarian Retno Tinanding yang menggambarkan gagahnya mereka sebagai prajurit yang melawan penjajah. Meski ketika pentas usai, harus kembali ke rumah dan berkutat dengan urusan domestik menjadi ibu, sekaligus istri.

Baca juga: Pemerataan Mutu Pendidikan Solo Raya

Srimulat

Nama besar kelompok lawak Indonesia yakni Srimulat yang terkenal sejak era 50-an juga tak lepas dari sosok perempuan bangsawan yakni Raden Ayu Srimulat, atau isti pertama sang pendiri, Teguh Slamet Rahardjo. R.A. Srimulat merupakan putri Raden Mas Adipati Aryo Tjitrosoma, seorang bangsawan, wedana -pembantu pimpinan wilayah Daerah Tingkat II (kabupaten)- di Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo.

Layaknya anak priyayi pada masa kerajaan, R.A. Srimulat dipingit dan dilarang ke luar dari kadipaten. Namun, jiwa petualangnya tak bisa ditekan oleh aturan kadipaten. Srimulat kemudian memulai misi lari dari wedana melepas semua jubah bangsawannya.

Tak hanya ke luar dari tembok wedana, R.A. Srimulat kembali ‘melanggar’ aturan sebagai putri priyayi dengan mbarang atau ngamen menjadi pesinden. Suaranya khas, gayanya kenes, hingga akhirnya jadi primadona. Ia mendobrak aturan ketat kaum bangsawan yang melarang perempuan priyayi ke luar daerah pingitan, apalagi tampil di publik.

Perjalanan Srimulat di panggung seni tak berhenti hanya menghibur masyarakat. Putri ningrat yang sempat dipaksa menikah pada usia 15 tahun ini menjadi mata-mata tentara Indonesia pada zaman penjajahan. Misi itu dia lakukan juga lewat jalur kesenian.

Baca juga: KOLOM : Beranilah Berbuat Demi Rakyat

Srimulat yang kenes, piawai menyanyi, dan mahir bahasa asing kerap diminta nyanyi keroncong di camp camp penjajah. Dari satu panggung camp ke camp yang lain, ia dan kelompok keroncongnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah sekaligus informasi mengenai kelemahan para penjajah Belanda.

Srimulat yang mendapatkan ruang aktualisasi diri di panggung kesenian dilanjutkan saat menikah dengan Teguh. Dedikasi sang istri di bidang seni kemudian disematkan sebagai nama kelompok lawak pimpinan Teguh. Panggung Kelompok Lawak Srimulat juga tak lepas dari peran perempuan yang selalu jadi pusat pengambil keputusan.

Sesekali memang ada skenario seksis. Tapi, itu digunakan sebagai cara menyampaikan kritikan yang dulu agak riskan jika dilontarkan dengan frontal. Secara umum, pemain perempuan biasanya dijadikan sebagai penengah panggung tawa ini. Tanpa sosok perempuan, jalan cerita bakal melebar, lepas dari tujuan.

Kampanye kesetaraan perempuan lewat jalur kesenian diwujudkan oleh mendiang Ratu Elizabeth II lewat organisasi Pendidikan dan Budaya, British Council sejak era 30-an. British Council berulangkali menggunakan program seni untuk mendukung keberagaman. Mulai dari keberagaman bahasa, etnis dan agama, gender dan seksualitas, hingga disabilitas.

Baca juga: KOLOM : Sekali Lagi, Peduli adalah Solusi

Bukan Simbol

Napas yang sama juga digaungkan Festival Film Indonesia (FFI) 2022 yang resmi diluncurkan bertepatan dengan perayaan Hari Film Nasional Rabu (30/3/2022). Di bawah pimpinan baru yakni aktor serba bisa, Reza Rahadian, penghargaan Piala Citra tahun ini mengusung tema Perempuan: Citra, Karya & Karsa.

Reza mengajak para sineas dan penikmat film Tanah Air merayakan peran perempuan dalam industri perfilman Indonesia dari masa ke masa. Perempuan bukan sekadar obyek, namun juga punya andil besar membangun ekosistem perfilman yang lebih matang.

Tidak hanya menjadi aktris, sutradara, dan penulis skenario, perempuan juga banyak berperan dalam mengerjakan beragam bidang dalam perfilman, seperti sinematografer, penata cahaya, dan pengarah suara. Tiga perempuan sukses dalam dunia film dipilih jadi duta FFI 2022. Pemilihan isu perempuan pada penghargaan bergengsi perfilman tahun ini tentu bukan sekadar simbol.

Harapan baiknya yakni mereka turut serta mengusung isu-isu krusial soal perempuan di ranah film. Sekaligus mengedukasi masyarakat dalam memahami isu kekerasan terhadap perempuan yang terus bermunculan.

Baca juga: KOLOM : Ikhwal Jurnalisme dan Memberdayakan Desa

Saya jadi ingat bagaimana Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru, menggunakan perempuan sebagai peluru tajam untuk mengritik kolonialisme dan feodalisme pada masanya. Sebut saja dalam dua karya fiksinya berjudul Nyai Ontosoroh dan Gadis Pantai.

Sosok perempuan dalam karya Pram seolah jadi magnet yang mampu menyentuh hati pembaca pada isu-isu krusial. Pram meninggikan perempuan lewat karya sastra karena dianggap sebagai medium paling tepat meruntuhkan kekuasaan, dengan jalan pemikirannya.

“Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia, takkan ada yang memuji kebesaran-Mu. Semua puji-pujian untuk-Mu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat, dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan,” tulis Pram dalam tetralogi Pulau Buru di judul ketiga yakni Jejak Langkah.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 November 2022. Penulis merupakan jurnalis Solopos Media Group)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya