SOLOPOS.COM - Mohamad Ali (FOTO/Dok)

Mohamad Ali (FOTO/Dok)

Kepala SD-SMP Muhammadiyah
Progran Khusus Solo
Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Bila merujuk pada rumusan dasar Negara Republik Indonesia, praktik pendidikan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini adalah pendidikan yang bercorak humanis religius. Konsep ini ditarik dan diabstraksikan dari bunyi teks Pancasila, terutama sila pertama dan kedua: Ketuhanan yang Maha Esa, serta Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Melalui praktik pendidikan humanis religius diharapkan mampu memperkokoh persatuan bangsa, menciptakan kehidupan yang demokratis, dan terwujudnya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menjaga dan menumbuhkan nilai-nilai humanis religius, bangsa Indonesia memiliki cara yang unik. Bukan sekulerisme radikal yang menjadi pilihan, sebab ia tidak memedulikan agama di ranah publik. Juga bukan kebijakan teokratis yang sarwa agama. Politik pendidikan agama konfesional yang menjadi pilihan. Melalui kebijakan ini negara mengakui pluralitas agama sekaligus bertanggung jawab mendidik warga agar menjadi pemeluk agama yang taat. Orang-orang yang taat beragama diharapkan dapat memantulkan cahaya religiusitasnya itu ke dalam sikap dan perilaku yang terpuji.
Secara normatif konseptual, menurut saya, gagasan pendidikan humanis religius sudah tepat, termasuk kebijakan politik pendidikan agamanya. Yang menjadi masalah adalah, mengapa setelah 66 tahun gagasan dan kebijakan tersebut diimplementasikan ternyata tanda-tanda kemunculan masyarakat humanis religius belum terlihat, bahkan tampak semakin kabur dan menjauh.
Bahkan ada kecenderungan orang-orang berpendidikan tinggi, yang seharusnya mampu menjadi teladan dalam menampilkan kepribadian adiluhung, malah banyak yang terjerembab dalam kubangan kehidupan asusila. Gaya hidupnya hedonistik, serba permisif, menjarah kekayaan bangsa tanpa rasa bersalah, pamer kemilau kuasa dan harta semakin kasat mata sementara sebagian besar rakyat hidup dalam belitan kemiskinan dan penderitaan yang akut.
Alih-alih menjadi warga negara yang berkarakter humanis religius, output pendidikan kita malah melahirkan dan menumbuhkan orang-orang yang berkarakter memiliki (having character). Manifestasi karakter ini terlihat begitu mencolok dalam bentuk berkecambahnya orang-orang yang bermental serakah dan dan mabuk kekuasan.
Keserakahan mengantarkan mereka menjadikan bukan hanya benda-benda material sebagai objek pemuas nafsu tetapi meluas pada penguasaan atas manusia lain dan alam. Mentalitas memiliki yang melampaui batas inilah yang telah melempar bangsa ini memasuki pusaran krisis multidimensi berkepanjangan dan mendatangkan kerusakan ekologis begitu parah.
Munculnya jurang pemisah yang terlalu curam antara idealitas gagasan pendidikan dan realitas kehidupan harus memantik kegelisahan seluruh komponen bangsa. Sudah sepatutnya masalah ini menjadi agenda kerja bersama, bukan sekadar tantangan kalangan pendidik. Secara hipotetik tentatif, saya mengajukan tesis bahwa permasalahan tersebut disebabkan belum terelaborasinya gagasan pendidikan humanis religius secara memadai.
Kekosongan konsep inilah yang membuat praktik pendidikan tidak memiliki orientasi dan arah yang jelas sehingga praktisi dan pengambil kebijakan mudah terpikat gejolak pendidikan di negara lain. Sebelum membicarakan strategi implementasi, perlu dielaborasi konsep pendidikan humanis religius.

Dua Konsep
Ada dua konsep pendidikan yang membentuk pengertian pendidikan humanis religius, yaitu pendidikan humanis di satu sisi dan pendidikan religius di sisi yang lain. Pendidikan humanis merupakan tanggapan dan kritik terhadap praktik pendidikan tradisional (Knight,1982:81). Ciri pendidikan tradisional yang ditolak kalangan humanis adalah: guru otoriter, pengajaran menekankan buku teks, siswa pasif hanya mengingat informasi dari guru, ruang belajar terbatas di kelas yang terasing dari kehidupan nyata dan menggunakan hukuman fisik dan menakut-nakuti siswa untuk membangun kedisiplinan.
Praktik pendidikan humanis bertujuan memanusiakan manusia muda sehingga seluruh potensinya dapat tumbuh secara penuh dan menjadi pribadi utuh yang bersedia memperbaiki kehidupan. Prinsip-prinsip pendidikan humanis meliputi: guru sebagai teman belajar, pengajaran berpusat pada anak, fokus pada keterlibatan dan akivitas siswa, siswa belajar dari pengalaman kehidupan dan membangun kedisiplinan secara kooperatif dan dialogis .
Seorang pendidik humanis selalu membuka ruang kebebasan pada setiap individu untuk membangun diri sesuai cita-cita yang dicanangkan. Tujuan pendidikan religius untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan siswa untuk hidup sederhana dan bersih hati (Zamakhsyari Dhofier, 1994:21).
Integrasi dan sinergi keduanya dapat melahirkan konsep pendidikan yang ideal sesuai falsafah bangsa Indonesia. Pendidikan humanis religius adalah pendidikan yang dapat membangun moral manusia yang baik (akhlakul karimah) dan menumbuhkan kapasitas (kemampuan) diri secara penuh sehingga mampu merealisasikan tujuan kehidupan secara produktif (Sodiq A Kuntoro,2008:15).
Sejatinya praktik pendidikan di Indonesia bercorak religius sebab pendidikan agama diajarkan sejak SD sampai perguruan tinggi. Terlebih di lembaga pendidikan yang bernapas keagamaan seperti sekolah Kristen, sekolah Katolik ataupun sekolah Muhammadiyah. Hanya penyajiannya masih bersifat parsial dan terlalu berat pada dimensi ritual.
Dalam perspektif humanis religius, pendidikan agama disuguhkan untuk: memupuk sikap positif terhadap kehidupan, memahami kenyataan sosial dan kontradiksi yang ada dalam masyarakat dan merangsang siswa untuk mengamalkan iman dalam seluruh dimensi kehidupan.        Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak begitu mengejutkan bahwa praktik pendidikan di sekolah kita cenderung tidak humanis.
Pendidikan di sekolah kita lebih banyak menampilkan ciri pendidikan tradisional, seperti: guru cenderung otoriter, menekankan buku teks, siswa merekam informasi dari guru, ruang belajar terkurung di kelas dan mengutamakan hukuman fisik atau menakut-nakuti siswa dalam membangun kedisiplinan. Ini menumbuhkan kepatuhan semu, alias manusia hipokrit.
Harus ada keberanian untuk membangun suasana sekolah yang lebih humanis dengan jalan melibatkan siswa dalam proses perumusan tujuan pendidikan, proses kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi belajar. Mencermati karakter dan prinsip-prinsip pendidikan humanis religius, sebagaimana uraian di atas, sudah saatnya kita melirik dan mencoba mengimplementasikan model ini di lingkungan kta masing-masing. Pendidikan humanis religius bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk mengurai benang kusut permasalahan bangsa ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya