SOLOPOS.COM - Yob S Nugroho, Pensiunan PNS Pemkot Solo

Yob S Nugroho, Pensiunan PNS Pemkot Solo

Masyarakat Solo mungkin pernah mendengar pernyataan Walikota Solo, Ir H Joko Widodo atau Jokowi tentang move people not car. Istilah itu merupakan konsep dasar pengelolaan transportasi yang digagas Jokowi untuk mengatasi masalah transportasi Kota Solo. Sejauh ini menurut saya, konsep itu belum banyak dipahami pihak-pihak terkait sehingga belum ada bentuk nyata di lapangan. Faktanya, kondisi transportasi Kota Solo tidak banyak mengalami perubahan signifikan meskipun Solo meraih penghargaan Wahana Tata Nugraha Kencana. Oleh karena itu saya mencoba menangkap konsep itu dari sudut pandang tata ruang.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Pergerakan transportasi dan tata guna lahan akan saling berinteraksi satu sama lain. Perkembangan tata guna lahan yang pesat akan meningkatkan pergerakan manusia yang mungkin tidak bisa diimbangi kebutuhan sarana dan prasarana transportasi. Ini sungguh terjadi, karena upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan transportasi akan berdampak pada meningkatnya mobilitas yang akan merangsang kembali kebutuhan transportasinya.

Contoh konkret yang dapat kita lihat adalah Jakarta. Investasi besar yang sudah dikeluarkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan transportasi, namun sampai sekarang masih terjadi kemacetan di mana-mana. Mungkin pengalaman ini yang menginspirasikan Jokowi memunculkan konsep move people not car.

Penyebaran penduduk yang tidak merata dan keseimbangan kegiatan kota yang terpusat di satu wilayah menjadi faktor utama yang sangat mempengaruhi pergerakan transportasi kota, karena semua pergerakan berawal dari kegiatan rumah tangga, mulai dari aktivitas ke tempat bekerja, sekolah, berbelanja hingga kegiatan rekreasi.

Sehingga pembangunan pusat kegiatan ekonomi dan jasa seperti kantor, sekolah, perhotelan dan pusat perbelanjaan yang terpusat di tengah kota akan menambah beban jaringan transportasi yang menuju ke pusat kota. Jika Pemkot Solo akan membatasi pembangunan pusat perbelanjaan, seharusnya bukan menggunakan alasan pasar tradisional, melainkan lebih pada upaya pengendalian tata ruang agar pemanfaatan tata guna lahan bisa tersebar merata dan terjadi keseimbangan antarwilayah kota. Bahkan sebaiknya tidak terbatas pusat perbelanjaaan, hotel/jasa dan perkantoran perlu diatur pada tiap-tiap bagian wilayah kota (BWK).

Sudah saatnya Pemkot Solo mencermati rencana tata ruang wilayah kota dan membuat zoning regulation untuk menata kembali pemanfaatan ruang kota agar kegiatan masyarakat tidak terpusat di satu zona wilayah. Mungkin juga sudah selayaknya dibuat peraturan/kebijakan untuk membatasi perizinan pembangunan baru bangunan-bangunan jasa dan perkantoran serta bisnis di satu zona wilayah tertentu dan memberikan insentif bagi investor yang mau merespons program pemerintah dengan membangun di tempat yang diarahkan, agar terjadi pemerataan dan keseimbangan antarwilayah bagian kota.

Tentu hal ini harus diikuti dengan rencana pelayanan prasarana dan sarana transportasi, agar aksesibilitas dan mobilitas penduduk bisa terlayani dengan baik, yaitu mudah, cepat dan murah. Mudah karena untuk memenuhi kebutuhan mereka aksesibilitasnya tinggi. Cepat karena waktunya singkat dan murah karena biaya transportasinya rendah.

Memang kondisi transportasi Kota Solo belum separah Jakarta ataupun Bandung, dan perlambatan pergerakan lalu lintasnya hanya terjadi pada titik-titik tertentu dan pada jam-jam tertentu pula. Namun hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut agar tidak terjadi permasalahan di kemudian hari, sebab jika dibiarkan akan mengakibatkan kerugian baik materill maupun immateriil, sepenti pemborosan bahan bakar, waktu, polusi udara, stres dan lain sebagainya yang akan menurunkan produktivitas kota.

Sudah saatnya kita tinggalkan pemikiran konvensional, yaitu menyatukan kegiatan-kegiatan pelayanan terpusat di satu bangunan guna memudahkan koordinasi dan komunikasi. Dengan paradigma baru yaitu memulai dengan membangun fasilitas masyarakat tidak lagi terpusat di tengah kota melainkan tersebar di bagian wilayah kota, agar kegiatan kota dapat seimbang di berbagai wilayah perkotaan.

Kita gunakan kecanggihan teknologi informasi (TI) untuk memperpendek komunikasi dan informasi antarinstansi guna mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang tersebar di seluruh wilayah kota sehingga dapat mengurangi mobilitas penduduk yang akan berdampak pada berkurangnya kepadatan pergerakan lalu lintas. Perkembangan kota harus didukung pertumbuhan ekonomi yang seimbang dengan kebutuhan infrastruktur, sedang pertumbuhan perekonomian kota yang baik dapat meningkatkan mobilitas penduduk, yang akan menyebabkan tingginya pergerakan transportasi.

Oleh sebab itu untuk mengupayakan agar pergerakannya tidak terpusat di satu wilayah saja, salah satunya harus menyebarkan pergerakan penduduk dengan merata melalui pertumbuhan ekonomi di berbagai BWK. Mungkin instansi terkait dapat memulainya dengan duduk dalam satu meja, untuk mensimulasikan tata guna lahan pada tiap-tiap BWK dengan memberikan akses kebutuhan dari permasalahan yang ada di masing-masing BWK. Kita tidak perlu sungkan menerima bantuan teknis dalam Bidang Perencanaan Pengembangan Kota (Urban Development Project) yang ditawarkan tanpa syarat atas kerja sama kita dengan kota-kota di luar negeri sister city atau city partnership atau city shaning, karena kita perlu belajar banyak dengan kota-kota berkembang yang telah berhasil menata kotanya.

Baru kemudian perlu dibuatkan kebijakan menarik para investor dengan pemberian insentif. Secara sinergis dapat pula dilakukan gerakan promosi dengan memindahkan lokasi penyelenggaraaan event tertentu yang biasa dilakukan di pusat kota ke lokasi-lokasi yang ingin dikembangkan.

Sebuah Kota tidak boleh dibiarkan berkembang dengan sendirinya menurut kepentingan pasar atau bebas tanpa arah, sehingga pembangunan infrastruktur dan perekonomian serta sosial harus diatur sedemikian hingga tata guna lahannya terjadi interaksi dengan seimbang. Solo bagian utara sekarang ini dibiarkan tertinggal begitu lama dan belum ada strategi kebijakan ekonomi yang menyentuh di sana. Tidak heran jika para pengembang yang datang di Solo cenderung membangun di Solo bagian selatan yang sudah mapan.

Memang tidak mudah untuk menata kota yang dulunya berkembang tanpa arah kebijakan kota yang jelas dan sekarang ini sudah mulai menggeliat dengan pesat. Ketergantungan antarwilayah akibat potensi guna lahan yang berbeda dapat memberikan gambaran tentang pola pergerakan sehingga harus disikapi dengan membuat strategi kebijakan kota yang bisa mengangkat potensi masing-masing BWK, agar interaksi antarguna lahannya bisa maksimal dan aksesibel. Baru kemudian dari pola pergerakan yang terjadi kita dapat merencanakan pelayanan sarana dan prasarana transportasinya. Karena aksesibilitas penduduk yang cepat dan mudah akan memperkecil biaya transportasi, sehingga masyarakat bisa memilih moda transportasi yang akan digunakan.

Inilah barangkali sumbang saran saya tentang bagaimana mengurai permasalahan transportasi Kota Solo berkaitan dengan pemahaman saya tentang move people not car dari sudut pandang tata ruang daerah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya