SOLOPOS.COM - Imam Yuda Saputra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pencitraan  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna proses, cara membentuk citra mental pribadi, atau gambaran sesuatu. Pencitraan juga kerap diartikan sebagai suatu proses atau tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki atau memanipulasi citra seperti yang diinginkan.

Ada banyak media yang digunakan untuk pencitraan, media sosial hingga media massa. Pencitraan bisa digunakan dalam berbagai konteks, termasuk politik, pemasaran, media, dan hubungan masyarakat.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Pada tahun politik seperti saat ini, pencitraan kerap dilakukan para elite politik maupun pejabat publik. Tujuannya tak lain untuk memperbaiki citra sehingga menimbulkan kesan positif di mata masyarakat yang merupakan konstituen.

Berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki citra itu. Menyampaikan rekam jejak pekerjaan yang dianggap berhasil hingga visi dan misi mengatasi berbagai persoalan di tengah masyarakat.

Apakah pencitraan itu sesuatu salah? Sebenarnya pencitraan hanyalah upaya untuk menonjolkan citra diri yang baik kepada publik. Dalam penerapan seharusnya tidak dilebih-lebihkan atau diselipi dengan kebohongan.

Jika berlebih, justru bisa menjadi bumerang atau senjata makan tuan. Alih-alih publik terkesan, orang atau institusi yang melakukan pencitraan itu justru akan menuai cibiran dan kritikan.

Seperti kasus yang baru-baru ini dialami Kepolisian Resor Temanggung, Jawa Tengah. Alih-alih membuat publik terkesan dengan keberhasilan mengungkap kasus anak yang membakar sekolahnya, Polres Temanggung justru menuai kritik keras dari sejumlah organisasi perlindungan anak.

Kritik itu tak terlepas dari tindakan aparat Polres Temanggung yang menghadirkan anak berhadapan dengan hukum (ABH) itu saat gelar perkara yang dihadiri para wartawan atau jurnalis.

Anak yang berstatus pelajar SMP itu dihadirkan dengan menggunakan sebo atau penutup wajah, namun anak itu didatangkan dengan pengawalan aparat kepolisian bersenjata lengkap.

Foto anak yang berkonflik dengan hukum itu saat mendapat pengawalan aparat bersenjata tersebar luas di berbagai platform media sosial. Hal ini menimbulkan kritik tajam terhadap sikap institusi Polri tersebut.

Banyak yang menganggap aparat Polres Temanggung tidak memahami Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum wajib mendapat perlakuan yang istimewa.

Salah satu perlakuan istimewa adalah bebas dari tekanan lingkungan sekitar yang berpotensi mengganggu mental dan psikologisnya. Pengawalan aparat bersenjata serta sorot kamera awak media saat gelar perkara itu berpotensi mengganggtu mental si anak.

Hal inilah yang tidak disadari aparat Polres Temanggung hingga menghadirkan anak yang berhadapan dengan hukum itu ke acara gelar perkara. Institusi Polres Temanggung hingga Polda Jawa Tengah telah menyampaikan permintaan maaf.

Walakin, tidak bisa dimungkiri sikap aparat kepolisian itu membuat citra institusi dan personel tercoreng karena dianggap seolah-olah tidak memahami undang-undang atau hukum yang seharusnya mereka jaga.

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus pelanggaran hak anak seperti yang terjadi di Polres Temanggung itu telah banyak berkurang.

Sepanjang 2021, KPAI menerima pengaduan terkait kasus semacam itu mencapai 5.953 kasus. Jumlah ini berkurang dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6.519 kasus.

Kasus pelanggaran hak anak ini meliputi pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Kasus pemenuhan hak anak sepanjang 2021 tercatat mencapai 2.971 kasus, sedangkan perlindungan khusus anak mencapai 2.982 kasus.

Menurunnya kasus pelanggaran hak anak ini disebut-sebut disebabkan beberapa faktor seperti partisipasi publik, komitmen stakeholders terkait perlindungan anak, hingga kesadaran dari publik tentang perlindungan anak.

Kendati demikian, komitmen dan kepedulian itu seharusnya perlu lebih ditingkatkan agar kejadian seperti di Polres Temanggung tidak terulang lagi. Anak yang berkonflik dengan hokum memang kerap menjengkelkan.

Di balik perbuatan mereka pastilah ada faktor-faktor yang menjadi pemicu hingga si anak berbuat nekat, seperti faktor lingkungan, keluarga, hingga perundungan atau bullying yang dialami.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Juli 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya