SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tajuk Harian  Solopos edisi 14 Maret 2023,  Sebuah Konser tentang Dialog Kebudayaan, yang menyebut konser Deep Purple di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Jumat (10/3/2023) sebagai dialog kebudayaan yang bersejarah menarik untuk direnungkan.

Bagi saya bahkan menyisakan sebongkah pertanyaan: bagaimana cara memaknai sebuah konser musik kelas dunia di Kota Solo, kota kecil, yang bukan metropolitan, sebagai dialog kebudayaan?

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Nama Deep Purple hanya saya dengar lamat-lamat pada masa kecil. Saya tahu paman saya (sekarang sudah gaek) sangat menggandrungi band heavy metal asal Inggris yang didirikan pada 1968 itu.

Dia hafal lirik lagu hit-nya seperti Child in Time, Smoke on the Water, Soldier of Fortune. Dahulu sering saya lihat dia mendendangkannya dengan suara yang lumayan blero sambil kepalanya bergoyang dan tangannya bergaya seolah-olah memetik gitar ala Roger Glover.

Tak ada yang salah dengan Deep Purple World Tour 2023 yang mampir Kota Solo. Juga bagus-bagus saja ketika kelompok musik rock God Bless dan grup musik dangdut Soneta ikut nimbrung satu panggung.

Kemudian dikabarkan beribu-ribu manusia dari luar Kota Solo berbondong-bondong datang untuk menonton dengan membeli tiket yang tidak murah bagi si kantong cekak. Saya tidak tahu seberapa banyak orang Solo yang bisa ikut menonton secara langsung.

Yang jelas, benar apa yang disampaikan Solopos, konser tersebut merupakan peristiwa budaya yang bersejarah bagi Kota Solo. Sebuah dialog kebudayaan. Dialog kebudayaan tak bisa tidak merupakan komunikasi antarbudaya.

Dalam The Mass Media and Modern Society (1971) yang disunting Peterson dan kawan-kawan disebutkan bahwa komunikasi (baca: antarbudaya) berdampak pada proses perubahan sosial, mampu memodifikasi kehidupan sosial seiring dengan seberapa kuat tingkat komunikasinya.

Selama ini Kota Solo dikenal dengan seni budaya yang tradisional seperti karawitan, wayang kulit, wayang orang, ketoprak, dan keroncong. Dengan kehadiran konser grup musik kelas dunia semacam Deep Purple adakah pengaruhnya? Saya menduga tak banyak pengaruhnya.

Bahwa orang Solo bangga dengan kehadiran raksasa musik dunia, itu tak bisa dimungkiri atau dinafikan. Di sinilah titik simpulnya. Bahwa Kota Solo bukan kota kaleng-kaleng yang hanya dilirik dengan sebelah mata (apalagi mata juling).

Bahwa Kota Solo juga membuat mata dunia melek dengan terselenggaranya Art Summit Indonesia (ASI) yang berkali-kali diselenggarakan sebagai ajang pamer seni antarbangsa.

Jika perlu membaca puisi kelas dunia tak hanya diselenggarakan di Rotterdam, Belanda, tapi juga bisa di Kota Solo. Harvest Rock Festival tak hanya monopoli Adelaide, Australia, tapi Kota Solo juga bisa. Kenapa tidak?

Kota Solo yang dikenal adem-ayem terbukti tidak kagetan dan gumunan, tidak gampang terkejut dan terbengong-bengong. Terhadap datangnya budaya baru paling hanya bergumam atau berdecak: oh, ngono ta. Begitu, ya.

Modus Vivendi

Barangkali lantas meniru sekiranya dirasa cocok dan tidak meniru sekiranya dirasa kurang pas atau tidak sreg. Tapi, jelas, tidak spontan menolak. Dilihat dulu, dipikir dulu, dilelimbang (dipertimbangkan) dulu. Itulah orang Solo.

Wong Solo, saya kira, sudah masuk ke tataran manusia multibudaya sebagaimana dikatakan Adler (1982), yakni manusia yang identitas dan loyalitasnya telah melampaui batas-batas kebangsaan serta sangat memahami bahwa dunia ini adalah suatu komunitas global.

Oleh karenanya, dialog kebudayan dan sekalian dialog peradaban bukan hal yang ngaget-ngageti bagi orang Solo. Bahwa orang Solo secara intelektual dan emosional berada dalam kesatuan fundamental yang pada saat yang sama menerima, mengakui, menghargai perbedaan-perbedaan mendasar di antara orang yang berbeda budaya.

Orang Solo bisa belajar dari budaya asing tanpa kehilangan budaya warisan leluhurnya sendiri. Orang Solo sangat mungkin akan mengembangkan sebuah modus vivendi di aras kebudayaan tanpa harus terjebak dan terperangkap di dalamnya.

Orang Solo dan Kota Solo, saya kira, tak akan mabuk budaya betapapun didatangi oleh sekian bangsa asing yang menawarkan produk dan budayanya. Kita bisa meminjam pemikiran filosofis Foucault.

Tatkala bersentuhan, bahkan bergandengan, dengan kebudayaan asing saat itulah kita bisa mengeksplorasi sepenuhnya kebudayaan kita sendiri, memberikan tafsir yang benar, membangun sistem makna, merumuskan arah dan tujuan, baik secara personal maupun kolektif, dengan pijakan local wisdom etnik kita sendiri.

Yang saya lihat, sejak dulu (sejak saya datang ke Solo untuk belajar empat dasawarsa yang lampau) hingga kini orang Solo ya begitu-begitu saja. Meski saat marah bisa medeni (menakutkan).

Di Kota Solo, sekarang pun, saya masih bisa menonton wayang orang, wayang kulit, ketoprak, keroncong. Saya masih melihat inti kebudayaan yang paling esensial, sebagaimana dikatakan oleh Koeber dan Kluckon (1963) dalam Culture: A Critical Review of Concept and Definitions, yakni ide-ide tradisional yang terus-menerus diderivasi dan diseleksi secara historis.

Terutama nilai-nilai yang telah dinisbahkan: sistem-sistem budaya yang di satu sisi bisa langsung dieksekusi dalam tindakan dan di sisi lain masih tersisa elemen-elemen untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

Tatkala seluruh dunia memasuki era pascamodernisme, orang-orang Solo tak mungkin kalis (tak tersentuh). Pascamodernisme merupakan gerakan yang modis dan dewasa ini digandrungi orang di belahan bumi manapun. Gerakannya seperti apa? Itu yang tidak jelas.

Ernest Gellner (1994) mengatakan ketidakjelasan itulah ciri yang menonjol dari pascamodernisme. Kembali ke soal kedatangan kelompok musik legendaris dunia Deep Purple ke Kota Solo, itu seyogianya memang diapresiasi sepatutnya.



Tak lebih dan tak kurang. Toh, musik tradisional kita, gamelan, juga telah melanglang dunia. Sama. Juga mampu menyedot decak kagum orang sana. Bukankah tujuan dari semua seni yang adiluhung, yang dianggap mulia, adalah untuk memberikan gambaran tentang realitas di antara yang serba-kontradiksi?

Antara tampilan luar-an dan dalam-an, antara yang partikular, personal, dan yang tampak di muka umum, antara yang cetha wela-wela dan yang konseptual. Toh, akhirnya bersatu menjadi sebuah integritas yang spontan. Itu kata George Lukacs dalam Writer and Critic (1970). Lalu kata saya? Sama! Alias setuju.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Maret 2023. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, sastrawan, dan budayawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya