SOLOPOS.COM - Syukron Mahmudi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Tragedi konflik horizontal di Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001 adalah catatan sejarah yang tak boleh dilupakan. Konflik horizontal tersebut merupakan tragedi yang memakan korban banyak jiwa tanpa pandang usia dan jenis kelamin.

Konflik antara  warga Suku Madura dan Suku Dayak saat itu adalah peristiwa yang tidak boleh terulang. Salah satu pelajaran dari tragedi tersebut adalah tentang stigma yang melekat turun-temurun meskipun tidak benar dan harus dipertanyakan.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Salah satu stigma adalah orang Madura berperilaku kasar, mudah tersinggung, mudah marah, dan anggapan lain yang membuat banyak orang Indonesia di luar Pulau Madura enggan bergaul dengan orang-orang Madura.

Warga etnis Madura mayoritas pada awalnya bekerja sebagai petani, nelayan, dan pembuat garam. Seiring perkembangan zaman, jumlah penduduk Pulau Madura semakin berlipat-lipat  sedangkan lapangan pekerjaan semakin sempit dan lahan pertanian juga semakin menyempit karena alih fungsi lahan.

Orang-orang Madura yang tidak berdaya di tanah tumpah darah mereka atau yang kecewa dengan kondisi tempat tinggal kemudian merantau ke luar Pula Madura, bahkan ada yang ke luar negeri.

Banyak pula warga Madura yang merantau dengan dalih sistem pendidikan di Pulau Madura kurang memenuhi keinginan mereka serta ada juga yang memang butuh pengalaman dan relasi lebih luas sehingga mereka memutuskan kuliah atau sekolah di luar Pulau Madura.

Orang Madura yang merantau melahirkan anggapan-anggapan baru di lingkungan sosial tempat mereka berkarya. Jamak warga di luar Pulau Madura menganggap orang-orang Madura itu berwatak kasar, egois, dan keras kepala.

Stigma atau pandangan-pandangan negatif tersebut memunculkan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Madura di perantauan. Banyak orang yang tidak mau bercanda atau bermain dengan orang-orang Madura.

Ketika ditanya alasannya, mereka mengatakan khawatir membuat orang-orang Madura di perantauan itu tersinggung. Kejadian-kejadian seperti ini adalah fakta, banyak dialami perantau dari Madura, dan biasanya dirasakan ketika kali pertama menginjakkan kaki di tanah rantau dan bertemu dengan orang-orang baru yang belum dikenal secara dekat.

Sebenarnya banyak orang di luar Madura yang sudah lama mengenal orang Madura, berteman secara akrab dengan orang-orang Madura, akhirnya menyadari serta mengakui bahwa stigma sosial tentang orang Madura yang sampai kini masih beredar di banyak tempat di luar Pulau Madura itu sama sekali tidak benar.

Buku Kelakar Madura Buat Gus Dur yang ditulis Sujiwo Tejo adalah salah satu dokumen tentang sikap dan tindakan Gus Dur terhadap warga etnis Madura yang diidentikkan dengan keluguan, kepolosan, dan ”adiluhung” yang memicu gelak tawa.

Ada cerita yang tak jelas asal usulnya ihwal B.J. Habibie ketika menjabat Meteri Riset dan Teknologi pada era Orde Baru. Ia tidak habis pikir dengan jawaban orang Madura ketika disuruh mengukur tinggi tiang malah memanjat tiang itu lalu mengukurnya.

Secara tidak langsung itu lebih menyusahkan, padahal bisa menempuh cara merobohkan tiang itu lalu diukur panjangnya. Alasan logis orang Madura adalah Habibie menyuruh mengukur tinggi tiang, bukan panjangnya. Habibie mengakui itu memang benar dan jawaban orang Madura itu tidak dapat diganggu gugat.

Terpatahkan

Kisah humor itu sebenarnya wujud perlawanan terhadap hegemoni Orde Baru kala itu, tetapi juga bisa menjadi gambaran tentang kejenakaan orang Madura. Fakta-fakta tersebut hingga hari ini mungkin belum sepenuhnya bisa meyakinkan masyarakat di luar Pulau Madura bahwa orang-orang Madura bisa diajak berteman dengan penuh kejenakaan.

Kita bisa memahami lebih lanjut karakter orang Madura melalui kuliner yang lekat dengan orang Madura di perantauan, seperti satai madura dan bebek sinjay. Disadari atau tidak, pekerjaan yang berkaitan dengan kuliner, apa pun jenisnya dan dengan aneka resep, itu membutuhkan orang yang sabar, tekun, dan ulet.

Proses memasak dengan aneka resep sehingga menjadi makanan dengan cita rasa yang khas dan nikmat tak mungkin tanpa kesabaran, ketekunan, dan keuletan. Orang Madura yang menjadi pengumpul barang rongsokan menggambarkan kepribadian yang penyabar.

Ketika memilih mana barang rongsokan yang bisa dimanfaatkan dan cara memilah sekian banyak barang rongsokan jelas membutuhkan kesabaran. Orang-orang Madura yang membuka jasa pangkas rambut secara gamblang menunjukkan keluwesan, kesabaran, dan jiwa melayani.

Tukang pangkas rambut asal Madura akan melayani model rambut sesuai permintaan pengguna jasa atau pelanggan. Pekerjaan memotong rambut butuh kesabaran yang tinggi dan ketelatenan. Sifat-sifat demikian jelas bukan milik orang yang kasar dan temperamen.

Orang-orang Madura yang merantau dengan pekerjaan masing-masing, seperti pedagang kuliner, pengumpul barang rongsokan, atau tukang pangkas rambut adalah realitas yang mematahkan dan membantah stigma terhadap orang Madura yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sosial di luar Pulau Madura.

Jelas sudah, stigma terhadap orang Madura itu sama sekali tak beralasan. Semua bertentangan dengan realitas karakter orang-orang Madura di perantauan. Semua pekerjaan yang ditekuni orang-orang Madura di perantauan adalah pekerjaan yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, kelembutan, keuletan, serta keseriusan tingkat tinggi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Desember 2022. Penulis adalah alumnus Pesantren Annuqayah, Madura, dan mahasiswa Fakultas Adab dan Bahasa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya