SOLOPOS.COM - Muhammad Arif Hidayat (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Seorang mahasiswa magang dari sebuah kampus swasta ternama di Kabupaten Sukoharjo datang menghampiri saya. Setelah memperkenalkan diri dia bertanya sejauh ini bagaimana strategi promosi sekolah untuk menarik minat para calon siswa baru?

Sebuah pertanyaan sederhana yang tentu saya jawab dengan mudah sebab setiap tahun sekolah memang selalu mempersiapkan hal tersebut. Selepas wawancara singkat tersebut saya sempat termenung, merenungkan kata promosi yang disandingkan dengan sekolah.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Sebuah kosakata industri yang sering kita temui di pasar, mal, lokapasar, dan wahana jual beli lainnya. Di banyak sekolah, terlebih sekolah-sekolah swasta, diksi tersebut memang tidak asing. Memang ada upaya mendekatkan dunia industri dengan pendidikan.

Gejala tersebut tampak dari tujuan sekolah-sekolah yang lulusannya dipersiapkan menjadi angkatan kerja yang sesuai kebutuhan industri. Sekolah juga dikelola layaknya perusahaan.  Beberapa waktu lalu sempat muncul wacana platform marketplace guru.

Sekolah berlomba-lomba membuat divisi sumber daya manusia yang berfungsi seperti halnya di perusahaan. Kita anggap para calon siswa baru dan tentu saja orang tua atau wali mereka adalah pasar dan customer yang harus dilayani dengan sepenuh hati.

Jumlah pendaftar siswa baru akan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan guru. Tindakan yang mengganggu kenyamanan hati customer harus dihindari. Guru harus benar-benar menjaga ucapan dan perbuatan di depan siswa dan orang tua. Terlebih saat akan memberikan nasihat atau teguran dan hukuman.

Hukuman yang kelewatan menurut customer (siswa dan orang tua) bisa berujung pada proses hukum dan pengadilan. Seperti yang dialami seorang guru honorer di Sumbawa Barat. Ia memberikan teguran dan hukuman kepada siswa yang tidak tertib berujung dilaporkan oleh orang tua siswa tesebut kepada kepolisian.

Mediasi macet, kasus bergulir ke meja hijau. Guru tersebut adalah contoh tentang guru-guru kita hari ini terjebak dalam sistem pelayanan perusahaan di institusi pendidikan. Guru tidak memiliki kemerdekaan dan perlindungan saat menjalankan profesi.

Gejala lainnya adalah marak sekolah yang membangun citra atau brand yang unik dan mempunyai daya berbeda dengan sekolah lain. Guru dituntut tidak hanya mengajar dan melengkapi bertumpuk tugas admnistrasi, tapi juga harus mampu menjaga dan memperkenalkan brand sekolah kepada masyarakat.

Gejala-gejala ini semakin dipertegas dalam buku School Branding karangan Mujib dan Saptiningsih yang dengan lugas menyatakan dalam situasi apa pun, sekolah tidak boleh berhenti melakukan promosi sebab pesaing semakin agresif. Jika diperlukan justru promosi sekolah harus dilakukan sepanjang tahun.

Sebagai seorang guru tingkat dasar, dengan kemampuan analisis yang terbatas, saya menduga ini yang disebut sebagai industrialisasi pendidikan. Muaranya adalah paradigma liberalisasi pendidikan yang pada debat calon presiden pada masa kampanye Pemilu 2024 sempat disinggung.

Ujung pangkalnya adalah komersialisasi pendidikan. Industrialisasi pendidikan oleh para pendukung sering disebut sebagai noble industry (suatu industri yang mulia). Data Badan Pusat Statistik tahun 2016 menunjukkan di Indonesia terdapat 619.947 usaha dalam bidang pendidikan.

Angka ini menunjukkan industri pendidikan cukup diminati masyarakat. Di sisi lain kita mesti sadar bahwa sesuatu yang bersifat komersial sudah barang tentu bertujuan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, profit making.

Jika paradigma ini yang digunakan dan diterapkan oleh para pelaku dan pemangku kebijakan di sekolah-sekolah serta usaha-usaha di bidang pendidikan, akan membuat pendidikan menjadi pragmatis dan bersifat mekanistis serta transaksional.

Peneliti di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Aris Musnandar, menuliskan industrialisasi pendidikan akan membuat peserta didik hanya menjadi objek, biaya pendidikan akan mahal, orang-orang yang terpinggirkan secara ekonomi tidak akan mampu menikmati fasilitas pendidikan, dan terjadi diskriminasi dalam dunia pendidikan.

Tujuan mulia dunia pendidikan akan melenceng jauh. Dunia industri dan dunia pendidikan memiliki landasan filosofis dan tujuan yang berbeda. Upaya menyandingkan keduanya justru akan membuat kita kehilangan arah.

Sekolah yang membungkus segala kegiatan dengan aktivitas industri seperti promosi dan branding akan tampak baik-baik saja jika diamati dari luar. Segalanya tampak indah dan menarik dari kejauhan, namun lapuk atau gapuk saat diamati secara mendalam.

Rancak di labuah, mentereng di luar remuk di dalam, seperti kata mendiang Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif. Promosi dan branding sekolah adalah make up yang mudah luntur, topeng yang mudah lepas, dan pakaian yang mudah lusuh.

Tanpa kesadaran untuk kembali pada tujuan pendidikan maka sekolah hanyalah institusi yang penuh kepura-puraan. Perilaku kepura-puraan tersebut terlihat salah satunya saat ritual akreditasi.

Aspek yang tidak ada diada-adakan, yang sudah ada diunggul-unggulkan. Saat asesor datang semua mulai memainkan peran. Pada akhirnya segala sesuatu yang pura-pura akan menghasilkan kelelahan. Lelah fisik dan pasti lelah hati dan pikiran.

Walakin, tenang saja, industrialisasi sekolah dengan branding tidak sepenuhnya buruk. Setidaknya dapat menyembunyikan kelemahan meski hanya sekilas. Saya juga tidak sepenuhnya anti dengan branding sekolah sebab tulisan ini juga bertujuan untuk membangun citra sekolah tempat saya bekerja.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Februari 2024. Penulis adalah guru Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Program Khusus Kartasura, Sukoharjo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya