SOLOPOS.COM - Christianto Dedy Setyawan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ruang lingkup ilmu pengetahuan hari ini tidak sama persis dengan yang dipelajari manusia belasan tahun atau puluhan tahun lalu. Perkembangan dunia bergulir seiring dengan berkembangnya wawasan manusia.

Hal ini pula yang menyebabkan perkembangan kajian ilmu sejarah menjadi dinamis. Satu hal yang kadang-kadang kurang disadari banyak orang sehingga stigma sejarah adalah ilmu yang topik bahasannya itu-itu saja awet melekat.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Anggapan tersebut rentan menimbulkan citra sejarah sebagai mata pelajaran yang membosankan di kelas. Persepsi siswa seolah-olah terbentuk bahwa belajar sejarah ibarat mempelajari materi yang diulang-ulang.

Hal ini berbahaya bagi pembentukan karakter generasi muda. Kecintaan pada sejarah yang minim akan berbanding lurus dengan rendahnya kesadaran sejarah pada diri mereka. Target mencapai Indonesia Emas 2045 menjadi impian belaka ketika anak muda abai terhadap akar sejarah bangsanya sendiri.

Guru menjadi pilar terdepan dalam menanamkan aura positif dalam belajar sejarah dengan konsisten menggali daya berpikir siswa dan menunjukkan kedinamisan sejarah dalam pengajaran di kelas. Banyak contoh yang menunjukkan sejarah adalah ilmu masa lampau yang bergerak maju.

Jika kita menengok pada bab reformasi yang dipelajari siswa SMA kelas XII melalui buku teks, kerap tertera bahwa penyebab Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lengser dari jabatan presiden dikaitkan dengan kasus di Perum Bulog dan dana dari Brunei Darussalam.

Perkembangan temuan terbaru yang diungkapkan Virdika Rizky Utama dalam buku Menjerat Gus Dur menunjukkan hal berbeda. Terdapat fakta mengenai upaya sistematis dari para elite politik yang bekerja sama menjungkalkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Fakta yang ditulis Virdika ini menjadi wawasan baru yang melengkapi wawasan lama yang terkadang masih memiliki lubang-lubang penuh pertanyaan. Ilmu sejarah yang dinamis ini dapat kita amati pula di lingkungan sekitar.

Ketika pola pengajaran di sekolah cenderung berkiblat pada materi sejarah nasional dan internasional menimbulkan efek lain berupa ruang pembahasan sejarah lokal yang minim. Rendahnya pemahaman sejarah lokal ini memicu sikap kurang dikenalnya wilayah sekitar oleh siswa.

Fenomena ini terbilang ironis sebab siswa merasa asing dengan riwayat kota tempat mereka tumbuh dan berkembang. Akibatnya sikap turut memiliki terhadap Kota Solo kurang terbangun dengan optimal.

Tabiat abai dan cuek dengan sejarah dan keadaan di lingkungan sekitar ini jika dibiarkan akan menjadi habitus yang kian buruk. Menariknya, di seputar wilayah Kota Solo terdapat banyak komunitas sejarah yang berfokus pada upaya menularkan kecintaan kepada sejarah di kalangan generasi muda.

Soerakarta Walking Tour, Solo Societeit, Soeracarta Heritage Society, Berjalan Bercerita, dan Mbako Mbaki adalah contoh komunitas sejarah yang menggairahkan semangat belajar sejarah di kalangan anak muda dengan menggelar kegiatan per pekan atau per bulan.

Cara yang ditempuh komunitas sejarah adalah penyegaran dari metode yang diterapkan di sekolah. Para anak muda diajak belajar sejarah di komunitas tersebut dengan cara walking tour atau jalan-jalan menelusuri aneka tempat historis, duduk bersama mendiskusikan tema sejarah dalam suasana santai, dan mengobrol langsung dengan saksi atau pelaku sejarah.

Contoh nyata adalah saat Soerakarta Walking Tour menggelar jalan-jalan bertema Lorong Waktu Laweyan, Soeracarta Heritage Society mengadakan diskusi bertopik Loji Wetan in Memory of The Societeit Harmony, dan Solo Societeit menyelenggarakan acara blusukan sejarah bertajuk Menyapa Kawasan Sangkrah Tempoe Doeloe.

Wawasan pengetahuan yang dibedah dalam forum komunitas banyak yang berakar dari temuan aktual. Berbagai data baru itu diteliti oleh tim riset dalam komunitas sejarah melalui kajian arsip dan dokumen hingga observasi langsung serta wawancara narasumber di lapangan.

Dalam tulisan yang dimuat di Koran Solopos edisi 28 Mei 2019, Heri Priyatmoko menyatakan keberadaan komunitas sejarah berperan dalam menggali data-data anyar dan menyajikan melalui cara serta narasi yang dekat dengan masyarakat masa kini.

Eksistensi komunitas sejarah membawa angin segar dalam upaya menanamkan kecintaan terhadap sejarah pada anak muda, khususnya generasi Z. Data yang diwartakan oleh komunitas sejarah telah teruji secara ilmiah dan menjadi obor penerang di tengah gempuran beberapa konten sejarah di Youtube dan Tiktok yang sumber datanya kurang kredibel.

Anak muda yang melek terhadap riwayat daerah dan bangunan di kota tempat mereka tinggal merupakan hal yang patut digalakkan secara berkesinambungan. Sugeng Priyadi dalam buku Sejarah Lokal: Konsep, Metodologi, dan Tantangannya menuturkan bahwa kesadaran sejarah dalam diri adalah tantangan utama dalam menanamkan rasa cinta pada sejarah.

Kecintaan ini dioptimalkan oleh komunitas sejarah melalui inovasi dalam proses transfer of knowledge kepada masyarakat. Terobosan ini terbagi dalam dua hal, yakni dalam aspek tema dan cara. Setiap edisi kegiatan komunitas sejarah mengusung tema yang berbeda.

Langkah ini membuat masyarakat menjadi penasaran dan tertarik untuk selalu mengikuti kegiatan komunitas. Teknik obrolan sejarah kini kian bervariasi. Misalnya, Soerakarta Walking Tour yang pernah blusukan sejarah dengan konsep jalan kaki, gowes, naik bus, hingga naik kereta api uap Sepur Klithuk Jaladara.

Ketika kegiatan pembelajaran sejarah di sekolah tersandera oleh durasi waktu, keterbatasan ruang, dan ikatan pada aspek kurikulum yang kurang luwes, kehadiran komunitas sejarah dapat dimaksimalkan sebagai wadah anak muda yang ingin menumbuhkan wawasan sejarah.

Meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya wawasan sejarah setidaknya cukup tampak saat melihat fenomena cepat ludesnya tiket jalan-jalan sejarah yang dibuka oleh Soerakarta Walking Tour. Dalam hitungan menit, kuota blusukan sejarah langsung sold out.

Anak muda yang menggandrungi kegiatan ini memang dapat berangkat dari banyak alasan,  seperti suka jalan-jalan, gemar fotografi bangunan sejarah, atau senang menjelajahi lokasi-lokasi yang anti-mainstream. Dari berbagai faktor tadi dapat ditarik benang merah bahwa mereka sama-sama memiliki kadar suka terhadap aspek sejarah.

Kesadaran sejarah masyarakat yang mencintai sejarah karena terbantu oleh komunitas sejarah yang menggelar blusukan lapangan dan forum diskusi ini lama-lama akan semakin subur. Hal ini dapat berkembang menjadi kebiasaan berliterasi sejarah, menonton tayangan sejarah, atau rajin menghadiri acara seminar sejarah.



Sikap positif ini sangat esensial untuk dikembangkan sebab generasi muda punya peran vital terkait keberadaan bangunan historis pada masa depan akan tetap lestari atau ambruk diterjang zaman atas nama modernisasi. Semoga semangat juang ini tidak pernah terlambat menyala dan terus menyala.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Maret 2024. Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya