SOLOPOS.COM - Rima Kusuma (JIBI/SOLOPOS/ist)

Rima Kusuma (JIBI/SOLOPOS/ist)

Kritik Wakil Ketua DPRD Boyolali, Tanthowi Jauhari, dalam tulisan Pejabat predator APBD harus menjadi bahan renungan bagi seluruh pegawai negeri sipil (PNS). Habisnya anggaran belanja pembangunan daerah dan nasional selalu dibebankan kepada pegawai. PNS menjadi tumpuan segala kesalahan, mengingat anggaran untuk membayar kinerja mereka tidak sebanding dengan produktivitas mereka.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Anggaran untuk PNS setiap tahun selalu meningkat signifikan. Ini bisa dibaca pada data Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu. Pada 2005 nilainya Rp 54,3 triliun dan 2006 senilai Rp 73,3 triliun. Angka belanja pegawai ini terus melonjak hingga 2007 senilai Rp 90,4 triliun, 2008 mencapai Rp 112,8 triliun dan 2009 senilai Rp 127,7 triliun. Dalam APBN Perubahan 2010, belanja pegawai ditetapkan Rp 162,7 triliun dan untuk APBN 2011 telah mencapai Rp 180,8 triliun.

Melihat fakta ini, berbagai pola kebijakan guna menata sistem dan manajemen PNS agar lebih produktif belum mendapat jalan terang. Agenda perbaikan sistem kepegawaian bernama reformasi birokrasi sangat diharapkan berkonsekuensi serius terhadap peningkatan produktivitas. Reformasi menyadarkan pemerintah kita bahwa rakyat sebagai pembayar pajak kini mulai kecewa melihat berbagai kesenjangan remunerasi yang diterima pegawai tanpa peningkatan dan perbaikan produktivitas.

Hasil penggunaan keuangan negara hampir tak sebanding antara gaji dan kinerja karena mayoritas PNS tak pernah maksimal dalam bekerja. Saat jam kerja, banyak PNS yang menganggur, padahal mereka berada di kantor. Jumlah PNS di seluruh Indonesia mencapai 4,7 juta orang. Wajar bila alokasi belanja pegawai semakin lama terus membengkak, tapi minus produktivitas. Keuangan yang membengkak ini belum ditambah beban lanjutan, seperti dana pensiun dan dana tunjangan hari tua.

Pembengkakan keuangan ini juga akibat gemuknya struktur organisasi pemerintah daerah. PP No 8/2003 memberikan pedoman bagi pemerintah daerah supaya pembentukan organisasi dilakukan atas dasar kondisi dan kebutuhan rasional demi efektivitas dan efisiensi. Dalam PP ini diatur dengan sangat jelas tentang pembatasan jumlah dinas di pemerintah provinsi yang maksimal 10, kecuali Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 14 dinas. Pembatasan ini dilakukan untuk mengefisienkan pengeluaran dana untuk birokrasi.

Sorotan negatif juga mengarah kepada PNS yang duduk di struktur birokrasi. Gaji mereka ternyata sangat besar. Di level provinsi banyak pejabat yang membawa pulang gaji hingga puluhan juta rupiah karena banyak tunjangan yang mereka terima. Aturan pemberian tunjangan antara lain UU No 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang berkonsekuensi seorang PNS yang menduduki jabatan tertentu mendapat tunjangan. T8njangan itu berupa tunjangan jabatan, tunjangan jabatan fungsional, tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan kesehatan maupun tunjangan pemeliharaan kendaraan dinas.

Efektivitas
Nilai tunjangan pejabat-pejabat ini terkadang tidak mempertimbangkan nilai pendapatan asli daerah (PAD). Jelas, fakta ini merupakan bukti pemerintah tak memiliki strategi pemanfaatan anggaran yang tentu sangat merugikan kepentingan publik. Seakan-akan, pejabat di negeri ini dimanja dengan berbagai tunjangan yang sangat melimpah sehingga anggarannya lebih cenderung berpihak kepada pegawai, bukan berpihak kepada rakyat.

Sudah lazim rakyat mencermati efektivitas kinerja birokrasi sekaligus melihat aspek-aspek lain yang membangun lingkaran setan birokrasi. Birokrasi kita dikenal sebagai birokrasi yang korup, tak efisien dan tak efektif. Buktinya, ada orang-orang yang memiliki beban kerja sangat ringan, namun di sisi lain ada juga yang memiliki beban kerja luar biasa. Ketimpangan yang teramat sangat ini membuat masyarakat semakin sinis dengan pola dan perilaku rata-rata PNS di Tanah Air. Substansi atas sorotan yang begitu tajam dari publik menohok dari sisi dan aspek pelayanan kepada masyarakat yang selalu tak pernah optimal. Dan pada ujungnya, masyarakat pasti akan mendesak pemerintah untuk mersionalisasi pegawai.
Perlu disadari bersama, sorotan terhadap kinerja para birokrasi dari waktu ke waktu semakin tajam. Yang menyedihkan, PNS yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat malah bertindak kontra produktif dalam melayani publik. Tindakan kontra produktif ini yang selalu menjadi persoalan sekaligus dipersoalkan publik.

Andaikan masih ada PNS yang pekerjaannya hanya duduk-duduk, menonton TV dan membaca koran, tentu tak bisa ditoleansi terus-menerus. Begitu pula dengan PNS yang pekerjaannya hanya kongkow tiap hari, datang kantor hanya untuk tandatangan presensi, kemudian ngerumpi ke sana ke mari sambil menunggu bel atau lonceng tanda saat pulang berdentang. Ini tentu memrihatinkan. Sinyalemen tentang buruknya kinerja PNS kita memang menjadi rahasia umum yang secepatnya perlu dikikis habis. Kondisi ini perlu disikapi dan dibutuhkan perampingan birokrasi berdasar produktivitas secara relevan.

Strategi baru optimalisasi kinerja birokrasi yang sesuai PP No 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Praktik lapangan dari rasionalisasi harus dilakukan melalui proses yang ketat dan terencana, tapi jangan sampai mengorbankan lapisan pegawai yang berkontribusi maksimal bagi kinerja pelayanan publik. Dari semua aturan yang mendorong kinerja birokrasi, justru terpenting adalah membangun kesadaran sosial PNS sebagai abdi negara yang melayani masyarakat.

Rima Kusuma, PNS di Pemkab Boyolali

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya