SOLOPOS.COM - Imam Yuda Saputra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pameran foto di Kota Lama, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah, pada akhir September 2022 lalu, menampilkan foto lama karya Tan Tat Hin, seorang fotografer profesional yang berkarier di Kota Semarang pada era 1930-an. Dalam foto karyanya Tan Tat Hin memperlihatkan maraknya pertunjukan seni yang digelar di Kota Semarang pada tahun 1930-an.

Tan Tat Hin kerap mengabadikan aktivitas masyarakat di Kota Semarang pada masa lampau. Banyak fotonya yang menunjukkan kegiatan seni di Kota Semarang, mulai dari gedung pertunjukan untuk kalangan menengah ke atas hingga di pasar-pasar malam pada era 1930-an hingga 1950-an.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Hasil jepretan Tan Tat Hin ini mengunggah semangat kalangan pegiat seni dan budaya di Kota Semarang. Foto itu seolah-olah menepis anggapan Kota Semarang sebagai kuburan seni. Dari foto itu terlihat Kota Semarang dulu adalah daerah yang maju keseniannya.

Berbagai macam pertunjukan seni tradisional kerap ditampilkan di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah itu pada masa lampau. Meski demikian, anggapan Kota Semarang kuburan seni itu apakah terbantahkan hanya dengan foto jadul seorang fotografer keturunan Tionghoa yang hidup pada masa lampau?

Jika mengacu perkembangan seni saat ini, Kota Semarang memang masih minim dengan kegiatan seni, terutama yang bernuansa tradisional. Di Kota Semarang memang terdapat sejumlah komunitas kesenian tradisional yang kerap menampilkan pertunjukan secara rutin di Taman Budaya Raden Salah.

Salah satunya adalah kelompok Wayang Orang Ngesti Pandowo yang rutin menampilkan pertunjukan wayang orang setiap Sabtu malam. Kendati demikian, kesenian asli Kota Semarang justru terkesan terpinggirkan, salah satunya kesenian Gambang Semarang.

Kesenian asli Kota Semarang ini jarang ditampilkan, entah karena minimnya regenerasi atau kurang populer di kalangan generasi saat ini. Sebagian besar warga Kota Semarang tidak tahu mengenai kesenian Gambang Semarang.

Bagi mereka, Gambang Semarang hanyalah judul lagu yang kerap diputar di stasiun kereta api atau dinyanyikan dalam acara seremonial yang digelar instansi pemerintah. Mengutip laman EIN Institute, Gambang Semarang merupakan kesenian yang berasal dari akluturasi budaya antara etnis Tionghoa dan Jawa.

Kesenian ini muncul sekitar tahun 1930-an. Gambang Semarang mempertunjukkan kolaborasi antara musik, vokal, tari, dan lawak. Tidak banyak warga Kota Semarang yang memantau perkembangan Gambang Semarang, serta tidak banyak pula yang mengetahui sejarahnya.

Pada tahun 1980 hingga 2000-an, Gambang Semarang mulai mengalami senja kala. Banyak kelompok kesenian yang mengalami masalah, mulai dari kehilangan pemain maupun minimnya regenerasi.

Komunitas

Pada awal tahun 2000-an, Gambang Semarang mulai diperbincangkan serius hingga lahirlah satu komunitas yang masih bergeliat hingga kini, yakni Gambang Semarang Art Company (GSAC).

GSAC rutin memainkan pertunjukan kesenian Gambang Semarang. Termutakhir, mereka menampilkan kesenian yang dianggap sebagai seni asli Kota Semarang itu di Gedung Oudetrap, kawasan Kota Lama, 1 Oktober 2022.

Upaya GSAC mempertahankan kesenian asli Kota Semarang ini mulai membuahkan hasil. Banyak generasi muda yang turut serta dalam komunitas ini demi mempertahankan seni dan budaya asli Kota Semarang.

Kendati demikian, upaya mempertahankan budaya dan seni asli atau seni tradisional Kota Semarang ini tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua pihak saja. Butuh kepedulian lebih seluruh kalangan, terutama para pemangku kepentingan kesenian dan kebudayaan guna menjaga eksistensi kesenian asli daerah, bukan hanya Gambang Semarang.

Kota Semarang sebenarnya memiliki banyak modal untuk menjaga dan mengembangkan kesenian daerahnya. Dari sisi infrastruktur, Kota Semarang memiliki berbagai gedung pertunjukan yang layak menggelar kesenian asli daerah seperti Gedung Sobokartti hingga Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) yang kini tengah dalam tahap renovasi yang konon menghabiskan anggaran Rp11 miliar.

Infrastruktur yang megah itu tentu harus diimbangi dengan geliat seni di kalangan masyarakat Kota Semarang. Jika geliat itu tidak ada, infrastruktur yang megah itu pun berpotensi beralih fungsi menjadi tempat acara pernikahan atau kegiatan formal lainnya yang jauh dari aktivitas seni dan budaya, terutama seni tradisional.

Pemerintah Kota Semarang harus mulai menunjukkan andil yang besar dalam memacu minat masyarakat pada kesenian tradisional. Upaya itu bisa diwujudkan dengan mulai memasukkan kesenian tradisional, seperti Gambang Semarang, ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah dasar, minimal dalam kegiatan ekstrakulikuler.

Dengan metode itu, niscaya akan tumbuh minat dari generasi muda pada kesenian tradisional Kota Semarang. Bibit-bibit seniman muda pun akan mulai bermunculan, hingga anggapan Kota Semarang sebagai kuburan seni akan terbantahkan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Oktober 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya