SOLOPOS.COM - Retno Winarni (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO – Sebuah  nota berjudul Untuk Adik Pembakar Sekolah yang ditulis sangat apik oleh Bre Redana melecut jiwa pendidik saya. Pembaca diajak memahami perasaan korban perundungan.

Penulis yang mantan wartawan Kompas itu menempatkan diri sebagai kakak yang merasa senasib sepenanggungan dan siap mendengarkan kisah pilu adik yang membakar sekolah.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Pangkal masalah pembakaran SMPN 2 Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah itu adalah perundungan. Perundungan atau bullying bersama intoleransi dan kekerasaan seksual adalah tiga dosa besar dunia pendidikan.

Salah satu langkah pencegahan dan penanganan adalah memasukkan tiga dosa besar tersebut menjadi topik pelatihan mandiri di  platform merdeka mengajar. Ini platform edukasi yang menjadi teman penggerak untuk pendidik dalam mewujudkan pelajar Pancasila yang memiliki fitur belajar, mengajar, dan berkarya.

Fitur belajar memberikan fasilitas pelatihan mandiri. Guru dan tenaga kependidikan memperoleh materi pelatihan berkualitas dengan mengakses secara mandiri. Topik dikupas tuntas dalam modul-modul, video berisi materi, studi kasus, pengalaman guru, dan diakhiri dengan aksi nyata.

Seluruh proses belajar dalam satu topik dihargai dengan sertifikat setara kurang lebih 32 jam. Provinsi Jawa Tengah  adalah salah satu provinsi yang berhasil mengajak guru-guru aktif menyelesaikan topik-topik pelatihan mandiri di platform itu.

Secara periodik sekolah akan mendapat laporan penyelesaian topik pelatihan mandiri di plaform merdeka mengajar yang telah dikerjakan guru. Saat kasus perundungan terjadi di SMPN 2 Pringsurat, Temanggung, sebuah kesimpulan ”buru-buru” muncul di otak saya.

Penyelesaian belajar topik-topik di platform merdeka mengajar, termasuk tentang perundungan, ternyata bukan jaminan terwujudnya lingkungan satuan pendidikan yang aman bagi siswa dalam belajar.

Dari sisi materi, modul tentang perundungan menjabarkan secara detail semua hal tentang mengenal perundungan, memahami jenis perundungan, mengenali peran di situasi perundungan, berempati pada korban perundungan, mengenal pelaku perundungan, apakah pendidik bisa menjadi perundung, mengatasi perundungan, serta program dan kebijakan mengatasi perundungan di sekolah.

Materi itu lengkap mengupas perundungan dan cara mengatasinya. Jika kemudian masih terjadi perundungan, persoalannya jelas pada penerapan. Memang tak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak faktor yang membuat pemahaman tak terejawantahkan dengan baik.

Bre Redana menulis zaman telah berubah, tapi tradisi kekerasan yang telah mengakar tak begitu saja nyisih oleh perubahan zaman. Bahkan, kini diamplifikasi dengan ujaran-ujaran kebencian di berbagai platform digital.

Saya menemukan hubungan opini Bre Redana dengan submateri bertema Mitos dan Fakta: Basmi Perundungan Sejak dalam Pikiran. Menganggap perundungan adalah hal wajar di kalangan anak atau  peserta didik merupakan mitos.

Perundungan memang terjadi dari waktu ke waktu, tetapi tidak berarti hal tersebut wajar. Perundungan tidak dapat ditoleransi karena tindak kekerasan dalam bentuk apa pun bukanlah hal yang wajar.

Topik pelatihan mandiri yang diikuti para guru ternyata belum menghasilkan iklim yang melindungi siswa dari kekerasan. Peristiwa di SMPN 2 Pringsurat justru bisa dijadikan momentum untuk menggalakkan dan menunjukkan kepada para guru acuan yang seharusnya diterapkan bersama.

Merawat Benih

Dosa berikutnya adalah ketika guru tak mengamalkan pengetahuan. Ki Hadjar Dewantara menyebut pendidikan adalah tempat persemaian segala benih kebudayaan yang hidup dalam masyakarat.

Untuk mencapai suatu kebudayaan yang diimpikan dan dicita-citakan pendidikan adalah fondasi utama. Di fondasi tersebut terdapat benih-benih yang akan berkembang.

Tugas pendidik merawat benih-benih tersebut agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Di tempat persemaian itu sering kali tumbuh benih-benih ”spesial” yang menguji kesabaran guru.

Kasus pembakaran sekolah oleh siswa adalah salah satu contoh benih yang membutuhkan perhatian dan penanganan ekstra. Saya tidak akan berbangga menunjukkan peristiwa penanganan siswa ”spesial” dalam kasus kasus perundungan.

Yang justru terlintas di kepala saya adalah usaha terbaik apa yang telah saya lakukan untuk turut meminimalisasi perundungan di sekolah. Pemahaman tentang perundungan telah cukup saya dapatkan melalui materi tiga dosa pendidikan di platform merdeka mengajar maupun saat mengikuti workshop literasi keberagaman yang diselenggarakan Solopos Institute.

Dari pendidikan guru penggerak saya belajar  menjadi manajer dalam pembelajaran dan pentingnya  mindfullness dalam pengelolaan pembelajaran. Serapan ilmu tersebut pasti  tidak secara utuh terimplementasikan, tetapi paling tidak mampu menjadi kendali  untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu.

Ketika harus menangani  siswa yang sering tidak masuk sekolah, abai mengerjakan tugas, mengganggu pembelajaran, sering kali dorongan emosi spontan ingin menghardik atau marah di depan teman-teman siswa tersebut.

Kesadaran dan pemahaman bahwa memarahi siswa di hadapan teman-temannya akan semakin memunculkan sifat negatif berhasil meredam emosi spontan tersebut. Saya merasa tak mampu menjadi seperti Pak Guru Henry Chen Xia (Donnie Yen) dalam film Mandarin Big Brother.

Ia mampu mengatasi siswa-siswa nakal. Usaha terbaik saya adalah tidak marah, apalagi merundung siswa. Hal yang tampaknya mudah ini pun susah payah  saya lakukan dengan memanjangkan usus (baca: kesabaran) saya.

Guru era Kurikulum Merdeka yang dituntut menghamba kepada siswa wajib kreatif dan lebih sabar dengan upaya yang lebih maksimal. Usaha lain yang saya lakukan adalah menjadi bagian dari sosialisasi setop perundungan.



Pada akhir tahun pelajaran 2022/2023, bertepatan dengan pekan terakhir hari proyek penguatan profil pelajar Pancasila, bersama tiga  rekan guru penggerak di SMAN Kerjo, Kabupaten Karanganyar, kami melaksanakan aksi nyata kolaboratif platform mandiri pengajar.

Topik yang kami pilih adalah tiga dosa pendidikan dan bimbingan konseling. Materi sosialisasi kami jabarkan dari modul dengan menyesuaikan tingkat pemikiran siswa. Langkah kecil sosialisasi sangat perlu dilakukan oleh satuan pendidikan.

Setidaknya dari sosialisasi siswa akan paham bahwa memanggil teman dengan nama bapak adalah bentuk perundungan verbal. Hal kecil yang dianggap biasa, tapi sering kali membuat siswa korban menyimpan pedih sepanjang hayat.

Setiap manusia berhak untuk dihormati, diperlakukan dengan setara, dan bebas dari ancaman perundungan. Mari, membasmi perundungan sejak dalam pikiran.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Juli 2023. Penulis adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAN Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya