SOLOPOS.COM - Aloys Budi Purnomo Pr, Rohaniwan dan budayawan interreligius tinggal di Semarang. (dok)

Aloys Budi Purnomo Pr, Rohaniwan dan budayawan interreligius tinggal di Semarang. (dok)

Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9: 1a).

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Kutipan dari Kitab Yesaya tersebut menjadi tema pesan Natal 2011 yang diserukan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).

Umat Kristiani di Indonesia, baik Katolik maupun Kristen, secara ekumenis diajak untuk merenungkan seruan Yesaya tersebut.

Mari kita baca kutipan Yesaya 9: 1a tersebut dalam konteks sosial-politik kehidupan Yesaya kala itu dan menempatkannya dalam konteks sosial-politik kehidupan bangsa kita. Yesaya menjadi salah seorang yang bernubuat tentang kelahiran Yesus bagi umat manusia.

Yesaya hidup antara abad ke-7 sampai paruh abad ke-8 sebelum Yesus lahir. Saat tampil sebagai nabi, Yesaya hidup dalam situasi zaman yang ditandai berbagai krisis akibat serbuan militer dari negara adikuasa di timur, yakni Asyur.

Krisis besar pertama terjadi antara 735 SM-733 SM. Pada masa itu, Yerusalem kuno menjadi jajahan bangsa Asyur, saat Ahas menjadi raja di Yerusalem.

Krisis kedua terjadi kurang lebih sepuluh tahun kemudian, saat Israel kuno (bukan Israel politik sekarang ini) memberontak melawan Asyur, namun hancur, pada 722 SM. Akibatnya, mereka harus mengalami masa pembuangan di tempat asing!

Wejangan Yesaya secara langsung terkait dengan situasi sosial politik dan peristiwa-peristiwa yang menyertainya pada masa itu. Sayangnya, dalam situasi sosial politik (termasuk ekonomi) pada masa itu, masih banyak orang yang berlaku tidak adil dan tanpa perasaan terhadap rakyat.

Itulah sebabnya Yesaya mencela kemewahan yang tidak adil itu. Yesaya mencita-citakan kesederhanaan sosial. Visi sosial politiknya bukanlah sesuatu yang naif, namun berangkat dari pengalaman konkret kerakyatan!

Itulah sebabnya, kepada bangsanya yang tertindas, ia berseru,”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar.”

Terang yang besar itu bukan sekadar kebenaran, perikemanusiaan dan keadilan sebagai materi, melainkan sosok seorang pribadi. Dan pribadi itulah yang di kemudian hari digenapi dalam diri Yesus yang kita kenang kelahirannya pada Hari Natal.

Iman Kristiani menerapkan wejangan dan nubuat itu pada kelahiran Yesus Kristus. Secara puitis, Yesaya menggambarkan masa depan bangsa yang melihat terang itu dalam keadaan-keadaan ideal yang sangat dramatik.

Keadaan ideal itu laksana tunas yang tumbuh dari sisa-sisa kekuatan umat pascakrisis di masa pembuangan.

Tunas kehidupan
Tunas baru kehidupan yang penuh pengharapan itu digambarkan secara luar biasa saat Yesaya berseru dalam puisi tentang keadilan dan damai sejahtera.
Keadilan dan damai sejahtera itu laksana persahabatan antara serigala dan domba, antara macan tutul dan kambing, anak lembu dan anak singa makan rumput bersama, lembu dan beruang berbaring bersama, bahkan bayi bermain dekat liang ular tedung (Yesaya 11: 6-8).

Intinya, bangsa yang sedang berada dalam kegelapan situasi krisis sosial-politik akan mengalami terang damai sejahtera. Tak ada yang berbuat jahat lagi. Tak ada yang berlaku busuk.

Di sinilah, seruan Nabi Yesaya itu sangat relevan dan signifikan dalam konteks kehidupan sosial-politik kita saat ini. Kita pun merindukan zaman keadilan, damai sejahtera dan kerukunan.

Hari-hari ini kita masih mengalami situasi sosial-politik dan kebangsaan ini yang masih bergumul dengan krisis menuju keadilan, damai sejahtera dan kerukunan. Bangsa ini mengalami kehancuran keadaban publik yang membuat wajah bangsa ini kehilangan moralitas dalam bertindak.

Dalam ranah politik, kian banyak elite politik dan pejabat publik yang berlaku korup dan busuk. Korupsi kian menggurita tak kunjung terbasmi dari negeri ini.
Layanan publik tak diberikan secara memadai. Tak heran, jembatan yang dirancang bertahan hingga dua puluh lima tahun, tahu-tahu rontok dalam umurnya yang baru sepuluh tahun seperti terjadi dalam kasus ambruknya Jembatan Kertanegara di Kalimantan.

Dalam hidup sosial, kita membutuhkan ruang-ruang bersama yang mengedepankan harmoni dan kerukunan, salah satu isi damai sejahtera. Itulah yang disebut orientasi baru untuk menciptakan ruang publik yang demokratis dan beradab.

Dibutuhkan kerelaan dan daya tahan untuk merenda habitus baru menjaga keberagaman. Merajut kain perca kebhinekaan dalam semangat penghargaan merupakan tantangan tersendiri yang menuntut perhatian lebih akhir-akhir ini.

Dalam arti tertentu, bangsa ini sedang melintasi kegelapan. Letupan-letupan sosial yang bermuara pada bentrokan antarwarga masih sering kita saksikan.
Tindakan-tindakan anarkistis yang membahayakan kepentingan publik masih mudah terjadi. Rasa aman rakyat kerap kali mudah hancur terancam sekelompok orang yang bertindak tanpa perasaan apalagi semangat peradaban.

Dalam kegelapan yang menyelimuti bangsa inilah, kita diajak untuk menyambut terang Natal. Terang Natal diharapkan memberi inspirasi kepada kita untuk menghalau kegelapan.

Di tengah kegelapan paradigma kejahatan dianggap wajar, penindasan dan kekerasan dianggap biasa, korupsi dianggap lumrah; kita memerlukan terang yang terpancar dalam diri para elite politik dan pejabat publik yang mengedepankan kejujuran dan kebaikan.



Terang Natal menginspirasi kita, bahwa membangun kerja sama dan dialog lebih utama dibandingkan tindakan anarkistis, destruktif dan fanatisme sempit.
Itulah yang nantinya diperjuangkan Yesus saat tampil dalam pelayanan publik-Nya. Dialah yang selalu hadir memihak kaum papa jelata dan menawarkan damai sejahtera kepada orang-orang yang tertindas. Dalam sosok pribadi-Nya, terang kasih Allah dipancarkan untuk menghalau kegelapan kehidupan manusia.

Sangat dekat dan konkret pertempuran antara kegelapan hidup dan terang Natal dalam peristiwa aktual perusakan benda-benda rohani, simbol keagamaan Katolik di Gua Maria Pewitra Tawangmangu, Karanganyar.

Sebagai pengikut Yesus, terang Natal bercahaya benderang, saat umat Katolik mengedepankan pengampunan untuk (para) pelaku perusakan, bahkan pemenggalan kepala patung Bunda Maria yang telah melahirkan Yesus ke dunia.

Saya pastikan, Yesus yang kita kenang kelahiran-Nya pun akan mengulangi doa-Nya untuk mereka sama seperti saat Yesus dinista pada kayu salib dan berseru,”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34). Semoga perayaan Natal juga menumbuhkan semangat pengampunan dalam diri kita sebagai bentuk konkret terang Natal dalam kehidupan bersama. Selamat Natal 2011!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya