SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Kisah heroik Riyanto, anggota Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU) yang meninggal dunia akibat ledakan bom saat mengamankan Gereja Haezar Mojokerto, Jawa Timur, pada malam Natal, 24 Desember 2000 lalu, selalu mengemuka setiap momentum perayaan Natal selama 22 tahun terakhir.

Ada beberapa versi kronologi yang menyebabkan lelaki kelahiran 23 November 1975 asal Kelurahan/Kecamatan Prajuritkulon, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur itu meninggal karena bom bunuh diri yang dibawa dan diledakkan terrois. Ada versi yang menyebut pemuda itu memeluk bom sesaat sebelum meledak untuk melindungi orang lain.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Versi lain menyebut Riyanto membawa bom itu lalu melemparkannya ke gorong-gorong gereja. Sesaat kemudian bom meledak dan mengakibatkan Riyanto meninggal dunia. Ada pula yang menyatakan Riyanto membawa bom itu dalam posisi berdiri membungkuk lalu membuang bom ke lubang/bak kontrol gorong-gorong. Sesaat kemudian bom meledak membuat Riyanto meninggal dunia.

Malam itu ada dua bom yang meledak. Bom pertama meledak pukul 20.10 WIB bersamaan saat jemaah keluar gereja. Bom tersebut menyebabkan Riyanto meninggal dunia. Bom kedua meledak pukul 20.15 WIB. Bom terdapat di bawah becak di depan gereja.

Riyanto diposisikan sebagai pahlawan yang berani mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan jemaah gereja dan petugas pengamanan lainnya. Namanya harum hingga saat ini. Kisahnya diabadikan dalam buku Riyanto Melawan Teroris. Kisah heroik itu difilmkan dengan judul Tanda Tanya yang digarap sutradara Hanung Bramantyo pada 2011.

Kisah kepahlawanan banyak. Tindakan altruisme itu muncul saat kondisi genting atau darurat. Seperti halnya kisah sesaat setelah terjadi ledakan bom yang dibawa seorang lelaki seusai konser Ariana Grande di Manchester, Inggris, pada 22 Mei 2017. Ledakan itu menewaskan 22 orang dan melukai ratusan orang lainnya.

Di tengah serangan kejam itu ada pengorbanan seorang dokter yang sedang tidak bertugas. Ia berlari ke lokasi kejadian lalu membantu para korban. Ada perempuan yang mengarahkan sekitar 50 remaja yang kebingungan dan ketakutan ke tempat aman di hotel terdekat. Ada pengemudi taksi mematikan argo untuk membawa penonton konser ke lokasi aman.

Tindakan altruisme lain yang terkenal adalah kisah Desmond Doss, tentara petugas medis Amerika Serikat yang bertugas di medan Perang Dunia II tanpa mengangkat senjata untuk menyelamatkan prajurit yang terluka. Kisah ini diangkat dalam film berjudul Hacksaw Ridge.

Altruisme dari kata bahasa Spanyol autrui yang berarti orang lain. Dalam bahasa Latin altruisme berasal dari kata alter yang berarti yang lain atau lain. Dalam bahasa Inggris altruisme disebut altruism yang berarti mementingkan kepentingan orang lain.

Altruisme berarti suatu pandangan yang menekankan kewajiban manusia memberikan pengabdian, rasa cinta, dan tolong-menolong terhadap sesama. Orang yang mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya disebut altruis. Sifat mengutamakan kepentingan orang lain disebut altruistis/altruistik.

Altruisme adalah sikap melayani tanpa pamrih kepada orang lain, kesediaan berkorban demi kepentingan orang lain atau masyarakat, serta usaha mengekang keinginan diri demi orang lain. Altruisme adalah lawan dari egoisme.

Senior Lecturer in Psychology Leed Beckett University, Steve Taylor, dalam artikel yang diterbitkan pada 2019 menjelaskan manusia yang rela mempertaruhkan hidup untuk menyelamatkan orang lain membingungkan para filsuf dan ilmuwan selama berabad-abad.

Menurut pandangan neo-Darwinian modern, manusia pada dasarnya egois, sebagai pembawa ribuan gen yang tujuannya hanya bertahan hidup dan mereproduksi diri sendiri. Menurut pandangan ini, masuk akal seseorang membantu orang-orang yang memiliki hubungan dekat secara genetik, seperti anggota keluarga atau kerabat.

Altruisme yang diterapkan pada orang lain atau bahkan membantu binatang belum bisa dipahami secara jelas. Menurut Steve, mungkin tidak ada altruisme murni. Ketika seseorang membantu orang asing atau hewan pasti selalu ada manfaat tertentu bagi diri orang tersebut.

Timbal Balik

Itu seperti perasaan bahwa dirinya orang baik atau motivasi untuk mendapatkan rasa hormat dari orang lain. Mungkin altruisme adalah strategi investasi. Orang berbuat baik kepada orang lain dengan harapan mereka akan membalas budi. Itu dikenal sebagai altruisme timbal balik.

Altruisme bisa jadi cara untuk menunjukkan seberapa kaya atau mampu seseorang sehingga dipandang lebih menarik oleh orang lain. Steve tidak menafikan bahwa terkadang alasan-alasan tersebut nyata.

Apakah ketika kita melakukan tindakan altruisme motivasi kita murni untuk meringankan penderitaan orang lain? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh hati kita masing-masing. Bisa jadi pendapat bahwa tidak ada altruisme murni itu benar adanya.

Boleh jadi kita rela mengorban waktu, tenaga, atau pikiran untuk kepentingan orang lain dan tidak berharap timbal balik (tanpa pamrih), namun kadang-kadang kita dihadapkan pada kondisi itu sambil berharap memperoleh bantuan ketika nanti membutuhkan bantuan.

Saat kita berbuat sesuatu untuk individu lain atau kelompok, kerja bakti misalnya, bisa jadi didasari harapan agar dipandang sebagai orang sregep, suka membantu, dan pada titik tertentu ada motivasi agar dapat diterima di kelompok/komunitas tersebut.

Tatkala kita mengikhlaskan diri membantu orang lain tanpa pamrih, kita tetap saja mengharapkan pahala, muaranya masuk surga (konteks religiositas). Di luar perdebatan itu, berbuat baik untuk individu, untuk kepentingan kelompok, atau bahkan untuk binatang sekali pun adalah baik. Itu harus diaktualisasikan terus-menerus.

Tindakan itu berakar pada empati. Barang kali kita tidak bisa seperti Riyanto. Setidaknya kita bisa berkontribusi untuk meringankan beban orang lain dengan memberi bantuan dana dan melalukan sesuatu untuk kemanusiaan. Meski hal kecil, tindakan itu sangat berguna.

Dari tindakan kecil satu individu jika diakumulasi dengan tindakan individu lain bakal menjadi tindakan besar. Altruisme sebenarnya mengakar pada masyarakat sejak zaman dahulu. Kepedulian individu (sifat altruistik) terhadap orang lain yang terakumulasi melahirkan budaya atau tradisi sambatan.

Itu adalah gotong royong tanpa pamrih untuk membantu warga yang membutuhkan bantuan, seperti membangun rumah. Tidak dimungkiri budaya sambatan kini sedikit demi sedikit luntur. Budaya ini masih subur di lingkungan perdesaan yang memiliki ikatan kekeluargaan tinggi (tetangga seperti keluarga sendiri).

Warga secara individu dan kelompok dengan sukarela memberi kontribusi tenaga, pikiram, bahkan dana atau sarana prasana untuk membantu warga yang membutuhkan. Lingkungan yang didominasi sifat individualistik dan materialistik tidak mengenal sambatan.



Lunturnya budaya tersebut menyuburkan kesengsaraan orang miskin dan tidak mampu. Di suatu daerah ada warga miskin terpaksa menolak bantuan rehabilitasi rumah tidak layak huni karena tidak memiliki dana pendukung.

Ia harus mengeluarkan dana tambahan untuk upah tukang kayu dan pekerja lainnya serta material bangunan yang masih kurang seperti yang dilakukan penerima bantuan rehabilitasi rumah tak layak huni lainnya di lingkungannya. Bila sambatan masih ada, peristiwa seperti itu tidak perlu terjadi. Mari kita selalu berbuat baik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Desember 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya