SOLOPOS.COM - Rohmah Ermawati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beberapa hari lalu saya harus “menghadapi kenyataan” kenaikan harga beras yang cukup signifikan. Beras mentik wangi yang biasanya berharga Rp75.000 per lima kilogram ternyata sudah ganti harga menjadi Rp86.000 untuk ukuran yang sama.

Artinya terjadi kenaikan harga beras yang semula Rp15.000 per kilogram menjadi Rp17.200 per kilogram. Kenaikan harga yang signifikan itu yang menjadi sumber keluhan banyak orang: ganti harga.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

“Harganya ampun-ampunan. Gek barange angel [barangnya susah didapat]. Di selepan beras C4 kosong. Yang ada mentik [wangi], itu pun rebutan,” ujar Mbak Bakul sembari mengantarkan beras pesanan saya ke rumah.

Ketika saya mencari informasi lagi pada Rabu (28/2/2024), harga beras mentik wangi sudah ganti lagi menjadi Rp87.000 per lima kilogram. Sedangkan beras C4 yang pada Januari 2024 berharga Rp70.000 per lima kilogram atau Rp12.000 per kilogram kini juga naik menjadi Rp80.000 per lima kilogram atau Rp16.000 per kilogram.

“Sekarang yang mentik [wangi] kosong [di selepan], yang ada C4,” demikian informasi dari Mbak Bakul pada Rabu lalu yang juga tetangga saya.

Meskipun sudah mengetahui tentang kenaikan harga beras dari pemberitaan di media massa, saya cukup kaget saat menghadapinya sendiri. Kenaikan harga beras bukan lagi ratusan rupiah, namun lebih dari Rp2.000 per kilogram.

Ya, kenaikan harga beras memang menjadi trending topic di masyarakat di berbagai daerah di negeri ini, tepatnya setelah pemungutan suara Pemilu 2024 pada pertengahan Februari 2024.

Selain marak di pemberitaan media massa, persoalan itu juga mencuat dalam perbincangan di  tengah masyarakat. Sudah harga terus-terusan naik, stok beras terbatas pula.

Harga bahan pangan lain, seperti telur, cabai, dan lainnya juga merambat naik. Hampir bisa dipastikan menjelang Ramadan dan Lebaran, seperti saat ini, harga aneka kebutuhan bakal masih tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sayangnya, meski sering kali dihantam dengan kenaikan harga beras dalam berbagai situasi, masyarakat kita masih sulit beralih dari beras/nasi sebagai makanan pokok atau sumber karbohidrat utama.

Sebagain masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, menganggap belum kenyang apabila belum makan nasi. Diversifikasi pangan yang kerap digaungkan sepertinya belum cukup membumi di masyarakat.

Bumi Indonesia sangat kaya dengan beragam bahan pangan. Ada sagu, ubi, jagung, nasi merah, kentang, yang juga bisa dijadikan makanan pokok. Faktanya kita masih sangat tergantung pada beras.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata konsumsi beras bulanan secara nasional berkisar 2,5 juta ton, padahal produksi beras di bawah angka itu.

Berdasarkan kerangka sampel area yang dilakukan BPS, produksi beras nasional secara bulanan pada Januari 2024 diperkirakan hanya 0,9 juta ton dan pada Februari 2024 hanya 1,3 juta ton.

Ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok, menurut peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yuniar Khasanah, dapat memicu krisis pangan pada kemudian hari.

Upaya mengantisipasi adalah meminta masyarakat Indonesia mengurangi konsumsi  beras dan beralih ke sumber karbohidrat lain. Diversifikasi pangan sering disamakan dengan konsep pengurangan konsumsi beras, dengan mengonsumsi makanan pokok bukan beras.

Manfaat diversifikasi pangan yaitu memperoleh nutrisi dengan nilai gizi yang lebih beragam serta seimbang. Pada masa lalu konsep  “empat sehat lima sempurna” yang menekankan pada konsumsi nasi, lauk pauk, sayur, buah, dan susu sebagai penyempurna sangatlah populer.

Pemerintah telah mengganti konsep itu dengan pedoman gizi seimbang (PGS). Mengutip laman Kementerian Kesehatan, konsep gizi seimbang dimaknai sebagai susunan makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh.

PGS memperhatikan empat prinsip, yaitu membiasakan makan makanan yang beraneka ragam, menjaga pola hidup bersih, pola hidup aktif dan olahraga, dan memantau berat badan.

Menjadi pekerjaan bersama untuk menanamkan semangat mengurangi ketergantungan terhadap beras/nasi sebagai kepada generasi muda. Sejak dini, bahkan sejak pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI), anak-anak wajib diperkenalkan dengan beragam bahan pangan.

Kenalkan beragam sumber karbohidrat, seperti beras merah, gandum, sereal, dan roti gandum sebagai penyeimbang nasi putih kepada anak. Ini penting agar kelak saat dewasa dia tidak merasa belum makan sebelum mengonsumsi nasi putih.

Tidak ada rugi mencoba karbohidrat kompleks, seperti biji-bijian yang tidak dimurnikan dan masih mengandung vitamin, mineral, dan berserat tinggi yang membantu perut merasa kenyang lebih lama.

Para orang tua harus siap memberi teladan dengan mengurangi konsumsi nasi dalam keseharian. Ketika kenaikan harga beras menghantui masyarakat, pemerintah mengklaim telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi.

Pemerintah menyalurkan bantuan beras untuk 22 juta keluarga penerima manfaat serta memasok pasar dengan beras merek dagang program stabilitas pasokan harga pangan (SPHP) dari Perum Bulog. Ini beras dengan harga lebih terjangkau.



Pemerintah juga memutuskan menambah penugasan impor beras kepada Perum Bulog sebanyak 1,6 juta ton, Sebelumnya hanya 2 juta ton, untuk sepanjang tahun 2024

Sembari mempraktikkan diversifikasi pangan, mari kita tunggu apakah usaha-usaha pemerintah itu berhasil mengendalikan harga beras atau tidak.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Maret 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya