SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ketegangan politik kini sudah berkurang setelah pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 terlewati. Ketegangan memang belum sepenuhnya hilang lantaran rekapitulasi hasil penghitungan suara secara nasional belum selesai.

Pihak-pihak berkepentingan masih menunggu hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi dasar penetapan pemenang kontestasi lima tahunan ini. Hasil quick count sejumlah lembaga survei menunjukkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenuhi ambang batas minimal syarat ditetapkan sebagai pemenang, yakni 50%+1.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Berdasar data real count KPU hingga Kamis (22/2/2024) pukul 23.00 WIB (progres data masuk dari 619.579 tempat pemungutan suara atau TPS dari total 823.236 TPS atau 75,26%), pasangan Prabowo-Gibran memperoleh dukungan suara pemilih 58,89%.

Pasangan calon presiden-calon wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang memperoleh 24,06% dan Ganjar Pranowo-Moh. Mahfud Md. yang meraup 17,5% merasa belum melihat kekalahan. Mereka menuding ada kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif sehingga akan menempuh upaya lain (politik maupun hukum) untuk mengungkapnya.

Meski proses Pemilu 2024 belum usai sepenuhnya, setidaknya pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu membuat lega. Pergolakan politik dari tataran bawah hingga atas yang sempat meruncing sudah mereda, walaupun masih terasa hingga kini.

”Sudah lega rasanya. Gontok-gontokan sudah berkurang. Sekarang rasanya seperti kehidupan normal. Sebelum pemungutan suara suasananya bikin tak tenang, ada gejolak di tingkat atas. Kemarin saya khawatir kalau sampai ada kerusuhan,” ujar seorang teman saya di kelompok ronda di kampung.

Sejak awal dia memang ingin pemilihan presiden berlangsung satu putaran, siapa pun pemenangnya. Momentum yang menurut dia seharusnya menjadi pesta rakyat justru menjadi arena menciptakan ketegangan dan gesekan. Dia memilih untuk tak terlalu ikut arus politik menjelang dan seusai Pemilu 2024.

Kawan saya ini mengaku hanya mengikuti informasi sekadarnya dan tak ikut-ikutan menunjukkan arah dukungan. Dia memilih merahasiakan pilihan politik meski banyak yang menanyakan pilihannya. Sebagai pemilih yang nonpartisan teman saya ini merasa keputusan merahasiakan pilihan adalah jalan yang paling tepat.

Dengan begitu dia merasa tenang dan tak terlibat perdebatan panjang yang menguras pikiran saat berinteraksi di komunitas masyarakat, apalagi membeberkan pilihan politik kepada orang di negeri ini berisiko. Risiko paling berpeluang terjadi adalah terlibat dalam perdebatan yang berujung perpecahan di tataran akar rumput, termasuk di lingkup keluarga.

Konsekuensi lainnya bisa saja dikucilkan, dirundung, dicap antek, dihina, dan sebagainya. Alih-alih mengajak diskusi yang produktif, banyak orang justru menghakimi orang yang tak sepaham dengan pandangan buruk. Penghakiman itu macam-macam, seperti soal politik identitas.

Ada yang sampai mempertanyakan keislaman seseorang yang tak sepaham. Tema lain dalam berdebat di tataran akar rumput adalah tentang politik dinasti, pelanggaran etika, masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan tentang petugas partai. Bisa jadi keputusan rekan saya itu memang tepat karena tidak semua orang siap menerima perbedaan pilihan.

Rahasia menjadi salah satu asas pemilu. Enam asas dalam pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Asas rahasia menjadi landasan penting yang sebenarnya harus ditegakkan. Asas tersebut menuntut setiap pilihan politik bersifat rahasia yang hanya diketahui pemilih dan tidak diketahui siapa pun dan dengan cara apa pun.

Ini untuk menjamin setiap pemilih memiliki kedaulatan dalam memberikan suara. Pada masa lalu asas ini dapat ditegakkan. Setiap pemilih merahasiakan pilihan politik mereka, tak mengumbar pilihan kepada publik. Kalaupun membeberkan pilihan biasanya hanya kepada orang-orang terdekat.

Kondisi masa sekarang berubah. Sebagian orang mengumumkan pilihan mereka kepada publik melalui berbagai jalur, seperti media sosial. Tentu ini memiliki tujuan: memengaruhi orang lain agar memilih kandidat seperti yang dipilih. Bisa jadi mereka mengumbar pilihan politik karena memiliki motivasi eksistensial: mencari pengakuan bahwa mereka terlibat dalam panggung politik yang berkembang saat itu.

Keputusan tersebut pun tak dapat disalahkan. Menurut dosen Psikologi Sosial di Universitas Andalas, Sartana (2019), merahasiakan pilihan lebih baik karena keputusan itu memiliki implikasi relatif lebih bagus untuk menciptakan kehidupan yang harmonis.

Ketika setiap orang tidak tahu pilihan orang yang lain, mereka akan abai terhadap perbedaan preferensi politik ketika berinteraksi. Mereka tidak akan membangun sekat-sekat sosial dan memungkinkan mereka berbicara lebih longgar.

Pemilih yang tidak mengumbar pilihan kepada publik tidak memiliki beban untuk berpindah haluan. Cara pikir mereka akan  lebih objektif dan realistis. Mereka tidak memiliki beban dan tuntutan untuk membuktikan kepada publik bahwa mereka berlaku konsisten atau tidak.

Mereka lebih leluasa dan secara konsisten membela nilai dan ideologi yang diyakini, bukan sekadar membela orang atau calon yang didukung. Tentu tak masalah mengekspose pilihan atau dukungan selama keputusan itu disampaikan kepada orang atau kelompok yang sudah siap menerima perbedaan.

Di kalangan akar rumput, terlebih di media sosial, kondisi itu cukup langka. Tak mengherankan sebagian orang memilih merahasiakan pilihan mereka, baik sebelum maupun setelah pemungutan suara. Seperti halnya pilihan politik, pada dasarnya merahasiakan suatu hal adalah tindakan baik.

Dalam kehidupan tak semua hal perlu kita umbar. Ada hal yang memang harus dirahasiakan. Apabila rahasia tersebut dibongkar justru menimbulkan masalah baru yang pelik. Ada rahasia individu/pribadi, keluarga, kelompok/golongan, perusahaan, organisasi, instansi, lembaga, institusi, hingga negara.

Banyak aspek kehidupan ini yang juga diwarnai hal yang rahasia, seperti perdagangan, transaksi keuangan, kedokteran, dan sebagainya. Hal-hal tertentu yang masuk kategori rahasia dilindungi hukum. Tindakan membongkar/membocorkan rahasia tersebut bakal berkonsekuensi hukum.

Tak usah jauh-jauh, setiap dari kita pasti memiliki rahasia. Rahasia itu jika diketahui pihak lain berpotensi merusak pertemanan, hubungan keluarga, hingga berkonsekuensi hukum. Pihak yang memiliki rahasia tentu berusaha keras menjaga atau menutupi karena tak ingin terlibat masalah pelik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Februari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya