SOLOPOS.COM - Eko Sulistyo (JIBI/SOLOPOS/dok)

Pada masa revolusi melawan agresi militer Belanda (1948-49), Kota Solo pernah dijuluki sebagai Kota Tentara Pelajar (TP). Banyak kesatuan dan laskar-laskar pelajar di Kota Solo yang dikenal memiliki keberanian dan daya juang yang tinggi dalam pertempuran melawan tentara Belanda. Ada yang mengatakan hanya TP di Solo yang tidak pernah menyerah dalam pertempuran dengan pasukan Belanda.

Pengalaman pertempuran mereka di Semarang (1948) serta ikut memadamkan pemberontakan PKI Madiun (1948) menjadikan kesatuan TP Solo dikenal dan disegani kalangan pejuang dan tentara saat itu. Puncak dan catatan emas mereka terjadi saat dilancarkannya serangan umum terhadap kedudukan-kedudukan pasukan Belanda di Kota Solo dan sekitarnya, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Empat Hari di Solo, yang berlangsung 7-10 Agustus 1949.

Solo memiliki basis material yang mendukung sebutan Kota TP. Sarana pendidikan berupa sekolah dan madrasah serta keberadaan tokoh-tokoh pergerakan di kota ini membuat Kota Solo menjadi arena pergerakan saat itu. Kadang akibat perbedaan pandangan politik dan ideologi di antara mereka. Sering muncul perselisihan dan pertentangan yang berujung penculikan dan penyanderaan.

Bukti tumbuhnya kesadaran pendidikan dan sekolah di Kota Solo masa lalu ini masih bisa kita lihat sampai hari ini dengan banyaknya artefak bangunan-bangunan sekolah dan madrasah. Sekolah dan madrasag itu antara lain HIS Siswo (SMPN 5), HIS Purbayan (SD Pangudiluhur), HIS Muhammadiyah Ketelan (SD Muhammadyah 1), Madrasah Mambaul Ulum (Keraton), HIS Kasatriyan (SMP Kasatriyan), Mardi Rahayu School (SMPN 15), Christelijke Kweekschool (SMK Kristen Margoyudan), MULO (SMPN 1 Manahan), THHK School (SD Warga Sudiroprajan), Emma Koningin School (SMAN 2), Europeesche Lagere School (SMPN 11), Sekolah Keputrian Van de Venter (SMPN 3 dan SMPN 10) dan Neutraal Schakel School (SMA Murni).

Tinggalan situs bangunan-bangunan sekolah ini menurut saya layak ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Selain umurnya telah lebih dari 50 tahun dan memiliki keunikan arsitektural pada masanya, peranan sekolah-sekolah ini pada masa lalu cukup penting dalam pembentukan watak kepribadian bangsa.

Dengan latar belakang di atas, Kota Solo sebenarnya telah tumbuh sebagai salah satu pusat pergerakan rakyat jauh sebelum zaman revolusi. Berdirinya organisasi Sarekat Islam (SI), National Indische Partij, Sarekat Rakyat (SR) maupun kepindahan Budi Utomo (BO) ke Solo, serta tumbuhnya organ-organ perjuangan seperti Sarotomo, Doenia Bergerak, Medan Moeslimin, Islam Bergerak dan Indonesia Raja, menjadikan kondisi dan psikologi masyarakat Solo–menurut saya–paling siap dalam menyambut revolusi.

Secara politik dan geografis, setelah Kota Jogja sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia (1948) diduduki Belanda, Kota Solo saat itu makin dikenal sebagai tempat perjuangan kalangan pejuang dan tentara yang setia kepada RI. Saat itu tidak sulit menemukan tokoh-tokoh politik dan tentara dalam jabatan formal maupun informal yang bertugas dan berlalu-lalang di Solo.

Pada masa revolusi, Jogja dikenal sebagai pusat pemerintahan RI, Solo dikenal sebagai pusat perlawanan dan perjuangan rakyat. Dalam kondisi seperti itu menarik mencermati perkembangan dan lahirnya laskar-laskar pelajar di Solo dan sepak terjang mereka yang kelak menjadi batalion-batalion TP, yang pada Oktober 1948, setelah kebijakan ReRa (Reorganisasi dan Rasionalisasi), dimasukkan ke dalam Batalyon II Kesatuan Reserve Umum W (KRU-W) sebelum menjadi kesatuan tentara organik Detasemen II TNI Brigade XVII.

Patung
Untuk memahami secara filosofis fisik dan karakter anggota kesatuan TP Solo, marilah kita lihat profil mereka yang diwujudkan dalam patung sosok TP berukuran dua meter, berdiri membawa buku di tangan kiri dan senapan laras panjang di tangan kanan yang bermakna “berjuang dahulu, belajar kemudian”, dengan pakaian gerilya zaman revolusi bersorot mata memandang hari depan dengan penuh optimistis.

Prototipe patung TP ini dapat kita saksikan pada Tugu Peringatan Pertempuran Empat Hari di Solo di halaman bekas rumah penduduk Wonosido, arah utara Mojosongo, perbatasan Solo-Sragen, yang pernah dijadikan markas pasukan TP Solo. Dari prototipe patung ini dan beberapa kenangan yang dituturkan para mantan TP, mereka umumnya adalah pelajar setingkat sekolah menengah dan kejuruan—setingkat SMP sekarang. Usia mereka rata-rata 14-16 tahun.

Mereka berhenti belajar sementara karena kondisi revolusi. Ini dimaknai dengan tepat pada kalimat “berjuang dahulu, belajar kemudian” dengan mengangkat “senjata” di tangan kanan dan “buku” di tangan kiri. Pilihan rumah penduduk desa di Wonosido sebagai markas mereka di luar Kota Solo juga memperlihatkan mereka dapat hidup menyatu dan berbaur dengan penduduk pedesaan. Mereka merasa aman dan dilindungi oleh warga masyarakat dan sebaliknya.

Sementara suasana riang dan kegagahan mereka dengan topi pet dan pakian dril khas model revolusi, sambil memanggul bermacam senjata berupa sten gun, bren gun, mortir atau LE sebagaimana terlihat dalam dokumentasi foto-foto hitam putih mereka, memperlihatkan kesiapan mereka untuk diterjunkan di segala pertempuran. Meski larut dalam suasana perang gerilya, mereka masih sempat belajar yang diatur bergiliran dalam perjuangan dengan diajar oleh beberapa mahasiswa dari Jogja yang karena revolusi mereka menyingkir sementara sambil berjuang dan mengajar pelajar-pelajar di Solo. Mereka menamakan tempat belajar mereka sebagai “sekolah perjuangan” setingkat SMP dan SMA (Murdijo Djungkung, 1989). Selain belajar keilmuan, para TP ini juga terampil mengotak-atik berbagai macam senjata.

Menurut penuturan Wakasek SMPN 3 Solo, Sarjono, mengutip mantan pejuang TP Solo, Jayus dan Suhardi, di SMPN 3 dan SMPN 10 yang merupakan bekas kompleks Sekolah Keputrian van de Venter, Mangkunegaraan, dulu pernah digunakan pasukan TP Solo sebagai bengkel pembuatan senjata dan berbagai jenis bom dan mortir. Senjata dan berbagai jenis bom inilah yang pada Serangan Umum Empat Hari di Solo mereka distribusikan ke pusat-pusat pertahanan TP di wilayah Solo melalui lorong saluran air (sungai dan parit) yang cukup besar yang terdapat di sebelah utara sekolah—tepatnya di depan Mangkunegaran.

Student army
Dalam sejarah tentara pelajar di dunia, hanya di Indonesia yang memiliki kesatuan student army tersendiri. Umumnya di negara-negara lain, tentara pelajar diperlakukan seperti sukarelawan yang tergabung dalam kesatuan tentara reguler. Kesatuan TP di Solo terbentuk dari kelompok-kelompok atau laskar-laskar yang tidak terikat oleh kesatuan. Mereka membentuk laskar-laskar otonom seperti Laskar Kere, Laskar Pandawa, Laskar IPI dan lainnya.

Dari kelaskaran ini kemudian terbentuk resimen dengan batalion-batalionnya; seperti Resimen Pelajar A (Resimen A) yang berkedududkan di Jawa Timur dan Resimen Pelajar B (Resimen B) yang berkedudukan di Jawa Tengah. Pada Oktober 1948, Resimen TP dijadikan satu menjadi Resimen Korps Reserve Umum (KRU) W, yang kemudian pada November 1948 diubah lagi menjadi TNI Detasemen Brigade XVII yang secara taktis langsung berada di bawah Markas Besar Tentara (MBT) di bawah komandan Letkol Soedarto yang membawahi beberapa detasemen.

Detasemen II Solo (Surakarta) tetap dipercayakan kepada Mayor Achmadi sebagai komandannya. Dengan demikian TP Solo masuk dalam Detasemen II TNI Brigade XVII. Namun, uniknya meski telah menjadi bagian dari pasukan organik TNI, mereka masih sering dipanggil dengan sebutan “Mas Tepe”–sebutan yang menandakan keakraban dan melekatnya nama TP di hati masyarakat Solo saat itu. Untuk mengenang sebutan ini, di Jalan Tentara Pelajar, Solo, dibangun Monumen Mas Tepe.
Demikian sekelumit penggalan sejarah dan perjuangan TP Solo dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Meski masih muda belia, mereka menunjukkan bakti pada bangsa dengan semboyan “gugur satu tumbuh seribu”. Mereka tampil ke muka, di medan pertempuran membela kemerdekaan bangsa. Peran mereka dalam Serangan Umum Empat Hari di Solo berhasil menaikkan posisi politik Indonesia khususnya di mata pemerintah Belanda dan Amerika. Tentara Indonesia yang selama ini hanya dianggap sebagai “ekstrimis”, teryata mampu melawan pasukan Belanda yang dibekali persenjataan modern dan psikologi tentara yang baru menang perang (Sekutu).

Eko Sulistyo, peminat sejarah, bekerja sebagai konsultan publik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya