SOLOPOS.COM - Imam Yuda Saputra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beberapa  hari terakhir publik dikejutkan dengan pemberitaan  terkuaknya praktik kotor yang dilakukan sejumlah aparat Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah dalam proses seleksi atau penerimaan bintara Polri 2022.

Kasus ini menjerat lima orang polisi yang terdiri atas tiga perwira menengah dan dua bintara. Mereka tertangkap tangan menerima suap dalam proses penerimaan bintara Polri. Mereka ditangkap aparat Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengaman Markas Besar Polri.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Operasi penangkapan itu sebenarnya berlangsung pada Juli 2022. Perkara sudah dilimpahkan ke Polda Jawa Tengah sejak September 2022. Kasus ini baru mencuat awal Maret 2023 setelah Indonesian Police Watch (IPW) mengungkapnya.

IPW menelaah kritis upaya Polda Jawa Tengah menangani kasus tersebut karena dianggap tidak sepenuh hati. Ungkapan IPW ini mendapat respons dari sejumlah pihak seperti Komisi Kepolisian Nasional dan DPR.

Mereka menekan Kepala Polri dan Kepala Polda Jawa Tengah agar menuntaskan penanganan kasus tersebut. Lima orang aparatur Polda Jawa Tengah yang terlibat kasus percaloan itu kemudian ditindak.

Mereka mendapat sanksi pemberhentian dengan tidak hormat atau dipecat dari institusi Polri pada Senin (21/3/2023). Isu kecurangan dalam proses penerimaan personel Polri sebenarnya bukan sesuatu yang baru.

Masalah ini sebenarnya sudah menjadi ”rahasia umum”. Selama ini banyak warga yang menduga ada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam setiap penerimaan aparatur kepolisian.

Banyak yang menyebut untuk menjadi seorang anggota Polri harus menyetor sejumlah uang, ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah, dalam seleksi penerimaan. Kondisi ini membuat kepercayaan publik terhadap institusi Polri semakin turun.

Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2022, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri turun dari 70% menjadi 53%. Ada dua faktor yang menyebabkan penurunan kepercayaan publik kala itu.

Dua faktor itu adalah kasus pembunuhan yang melibatkan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo—telah dipecat dan kini menjalani pidana—dan tragedi di Stadion Kanjuruhan yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia.

Walakin, di luar dua persitiwa itu, publik selama ini juga banyak yang bertanya-tanya tentang sistem perekrutan di Polri. Kepercayaan publik semakin turun ketika tahu proses seleksi penerimaan anggota Polri melibatkan tindakan lancung aparatur Polda Jawa Tengah itu.

Dalam perekrutan anggota baru, Polri sebenarnya mengusung konsep atau prinsip betah, yang merupakan akronim dari bersih, transparan, akuntabel, dan humanis. Prinsip ini sebenarnya telah digaungkan Polri sejak era Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian pada 2018.

Secara teori konsep betah dipercaya bisa membuat perekrutan anggota Polri lebih objektif dan jujur. Proses seleksi dilakukan secara clear and clean tanpa praktik penyimpangan yang selama ini dikeluhkan masyarakat, terutama dalam hal pungutan liar (pungli).

Berbasis prinsip ini Polri juga menggandeng pihak-pihak eksternal seperti organisasi masyarakat sipil maupun institusi pendidikan dalam proses perekrutan. Meski demikian, prinsip ini tetap saja berjalan tidak sempurna karena masih ada celah bagi para oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi dalam proses seleksi atau penerimaan anggota Polri.

Minat masyarakat untuk menjadi polisi tergolong cukup tinggi. Gaji dan tunjangan yang ditawarkan tergolong cukup layak. Mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2019, gaji polisi mulai dari tamtama hingga perwira tinggi berkisar Rp1,6 juta hingga Rp5,9 juta.

Itu belum termasuk tunjangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2018 yang mencapai Rp1,9 juta hingga Rp34,9 juta. Selain gaji, status kepangkatan dan profesi sebagai abdi negara dianggap prestisius.

Ini menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk berlomba-lomba menjadi aparatur Polri. Oleh karenanya, dengan tingginya minat masyarakat menjadi polisi, proses seleksi harus diterapkan dengan sebaik mungkin.

Prinsip betah yang ditawarkan dalam penerimaan Polri, baik di tingkat perwira, akademi kepolisian, bintara, hingga tamtama sebenarnya sudah cukup baik. Penerapannya yang perlu diperbaiki.

Kepala Polri harus mulai menempatkan orang-orang terbaik, yang ”bersih” dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme di setiap kepanitiaan seleksi anggota baru Polri di daerah. Seleksi di tingkat daerah cukup rawan karena  berpotensi terjadi kecurangan.

Kepala Polri juga harus tegas dalam menyelesaikan berbagai kasus kecurangan dalam proses penerimaan aparatur Polri, terutama yang melibatkan polisi aktif. Penyelesaian kasus ini tidak boleh berhenti dengan pemecatan polisi yang terlibat, tapi harus ditelusuri hingga ke akarnya agar memberikan efek jera terhadap para pelaku agar tidak terjadi lagi praktik-praktik lancung.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Maret 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya