SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Ahmad Djauhar
Wartawan Jaringan Informasi
Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Berbicara tentang China seakan tiada habisnya, baik dari aspek material maupun pemikiran. Kemajuan pesat yang dicapai China dalam kurun waktu dua dekade terakhir jelas membelalakkan mata bangsa mana pun di dunia.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Betapa tidak. Hingga akhir dekade 1980-an, China masih dipandang sebelah mata oleh Barat–Eropa dan Amerika–maupun sejumlah negara maju lainnya. Ketika itu, China baru bangkit untuk memulai kembali proses menuju kejayaan setelah beberapa dekade sebelumnya mengalami kemunduran akibat revolusi ideologi maupun revolusi budaya.

Sebelumnya,  negeri yang semula merupakan kekaisaran tersebut sempat bertransformasi menjadi republik sipil untuk kemudian beralih sebagai negeri komunis militer dan kini berformat gado-gado. Kenapa gado-gado? Karena China yang kini tetap berhaluan komunis tapi menerapkan sistem perekonomian yang cenderung liberal, bahkan di wilayah khusus Hong Kong malah demokratis.

Saya masih ingat cerita beberapa pebisnis senior Indonesia yang pada akhir dekade 1980-an melakukan muhibah bisnis ke Shanghai. Sebelum berangkat, mereka terlebih dulu dipesan oleh biro perjalanan untuk membawa air minum secukupnya, mengingat hotel-hotel di kota tersebut tidak menyediakan air layak minum.

Kekumuhan juga sempat menjadi pemandangan umum di berbagai kota di China pada periode tersebut, sehingga China terkesan sebagai salah satu The Sickman of Asia. Tapi, kini, China adalah kekuatan ekonomi yang disegani dunia. Sementara berbagai negara kelimpungan akibat defisit anggaran yang bahkan melampaui nilai APBN masing-masing, seperti dialami oleh kelompok The PIGS (Portugal, Irlandia, Yunani/Greek dan Spanyol), China malah bermandikan uang dengan kepemilikan cadangan devisa yang mencapai sekitar US$3 triliun.

Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki cadangan US$110-an miliar dengan total utang sekitar US$2,4 triliun. Atau bahkan AS yang cadangan devisanya kini tidak seberapa tapi utangnya segunung, yakni US$16 triliun. Kemajuan ekonomi China yang dimotori industri manufaktur kemudian merambah ke mana-mana, termasuk di antaranya ilmu dan teknik pengobatan yang sudah berusia ribuan tahun.

Pengetahuan tentang pengobatan China kuno tersebut terus dijaga dan dikembangkan serta disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.
Sarjana pengobatan China sadar bahwa ilmu pengobatan Barat–yang sejatinya berakar pada pengetahuan tentang ketabiban Timur Tengah seiring dengan pencapaian gemilang sarjana-sarjana muslim, yang dipelopori antara lain oleh Ibnu Sina–terbukti memiliki kecepatan dalam hal penyembuhan.

Namun, dalam perspektif pemikiran bangsa China, ada sesuatu yang kurang pas dalam pengimplementasiannya karena teknik pengobatan Barat cenderung berbasis kimiawi, sehingga menimbulkan dampak yang tidak jarang justru lebih serius ketimbang penyakit yang ingin disembuhkan.

Menggunakan idiom Jawa, seharusnya tamba teka, lara lunga (obat hadir, penyakit enyah), teknik pengobatan yang dikembangkan para ahli Barat tersebut justru mengakibatkan tamba teka, nyawa lunga (obat hadir, nyawa amblas).

Seorang dokter senior Indonesia yang kini mendalami teknik pengobatan China kuno di sebuah klinik BUMN di Beijing, sebut saja Pak Iwan, bercerita bahwa kombinasi pengobatan Barat dan Timur yang dipraktikkan di klinik tempat dia bekerja justru menghadirkan model penyembuhan yang holistik atau menyeluruh.

“Pengombinasian teknik pengobatan Barat dan tradisional China ini sebenarnya lebih kepada penyatuan logika. Kalau menggunakan model Barat, penyakitnyalah yang menjadi target, sehingga sering muncul efek samping berupa penyakit lain. Sedangkan model China mengutamakan penyehatan seluruh tubuh agar mampu mengatasi penyakit itu dari dalam,” tuturnya suatu ketika.

 

Abal-Abal

Dengan logika seperti  itu, teknik penyembuhan penyakit berdasarkan model China menghendaki si pasien untuk tetap merasa optimistis, sehingga tubuh akan memiliki daya untuk melakukan perbaikan melalui pemberian berbagai obat yang sudah teruji selama ratusan atau bahkan ribuan tahun.

Iwan  memberikan contoh penanganan penderita penyakit kencing manis (diabetes melitus). Menurut teknik pengobatan Barat, karena pankreas alias pabrik insulinnya tidak berproduksi optimal, kepada pasien harus disuplai insulin dari luar. Sedangkan menurut logika pengobatan China, justru pabrik insulin di dalam tubuh si penderita yang harus direhabilitasi agar mampu berfungsi sebagaimana mestinya.
Pendekatan seperti  itu diklaim efektif sehingga teknik pengobatan China–yang mengombinasikan Barat dan Timur–kini makin mendunia. Klinik pengobatan China laris manis di sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia.

Tak urung, popularitas klinik tersebut mengundang oknum tak bertanggung jawab untuk membonceng popularitas bisnis pengobatan China dengan mendirikan klinik abal-abal.
Bahkan, beberapa waktu terakhir, masyarakat sempat dihebohkan oleh ”keberhasilan” klinik jenis itu yang gencar mengiklankan diri, sehingga menjadi olok-olok ramai di kalangan pengguna media sosial, yang kemudian menyebar ke kalangan masyarakat pada umumnya.
Ternyata, belakangan ketahuan bahwa sebagian klinik pengobatan China abal-abal itu mengandalkan obat-obatan berbasis kimiawi, sesuatu yang tentu saja jauh bertentangan dengan semangat para praktisi teknik pengobatan China yang ingin memadukan praktik medis Barat dengan obat-obatan tradisional (herbal/nonkimiawi).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya