SOLOPOS.COM - Mohamad Adib Rifai (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Yang  penting diingat adalah tatkala kita mau kembali menggali tradisi yang lalu, kita harus bersedia memilih tradisi yang dapat mengembangkan kemanusiaan kita masa kini, bukan pula dari tradisi budaya yang membelenggu dan mengerdilkan kepribadian, pandangan dunia, dan sistem nilai (Azhar Ibrahim).

Desa Purworejo adalah desa pesisir di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini dulu adalah bagian dari Desa Morodemak yang kemudian terpecah menjadi tiga desa, yaitu Desa Morodemak, Desa Purworejo, dan Desa Margolinduk.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Setelah sebulan penuh berpuasa Ramadan, warga desa ini memliki sebuah tradisi, yaitu tradisi takbir mursal yang merupakan tradisi arak-arakan berkeliling desa. Semacam karnaval mengarak segala bentuk kreativitas yang dibuat masyarakat dan diiringi lantunan takbir.

Takbir mursal dilaksanakan pada malam takbiran atau malam hari puasa terakhir Ramadan. Acara jamak berlangsung meriah dengan pengeras suara yang menggelegar, gema takbir yang saling bersahutan, dan nyala petasan di langit.

Pada dasarnya tradisi ini memiliki tujuan yang bagus, tetapi masih terdapat beberapa hal yang harus diubah dengan inovasi atau perbaikan sehingga menjadi solusi dari masalah yang sering terjadi setiap tahun.

Harus ada perubahan konsep atau inovasi yang tujuannya menjadi jawaban dari pertanyaan mengapa masalah ini tidak juga selesai? Dengan demikian tradisi ini bisa berjalan dengan damai dan lancar sesuai dengan makna atau esensi dari tradisi itu.

Data dari observasi yang saya lakukan menunjukkan bahwa akar masalah yang selalui mengiringi tradisi takbir mursal berakar pada penggunaan pengeras suara yang terlalu ramai dan kurang etis. Pengeras suara itu menjadi corong pemutaran  musik dan takbiran remix, bukan takbiran yang menimbulkan kekhusyukan.

Pengeras suara itu menimbulkan semacam euforia dari sebagian orang yang menjadi tidak terkontrol sehingga mengakibatkan kericuhan dan keributan yang membuat tradisi ini selesai di tengah-tengah acara atau bisa dibilang tradisi ini sering gagal karena tidak sesuai rencana.

Selain persoalan tentang kericuhan, konsep acara yang belum teratur dan tidak adanya panitia inti—hanya gabungan dari panitia-panitia tiap dukuh—yang  menjalankan arak-arakan kreativitas warga secara apa adanya, tanpa konsep dan manajemen pertunjukan yang baik.

Manajerial apa adanya ini membuat membuat acara tidak terkonsep dan dilakukan dengan kredo yang penting ada, bukan menggunakan konsep yang matang. Acara langsung dimulai tanpa pembukaan resmi secara bersama-sama. Dimulai dari dukuh yang paling jauh, kemudian diikuti dukuh yang lenih dekat, dan seterusnya.

Di dalam arak-arakan itu yang tersaji adalah kreativitas warga entah itu berupa miniatur masjid, miniatur beduk, kartun, serta beberapa keunikan lainnya. Arak-arakan diiringi takbir dari pengeras suara yang menggelegar, tetapi kebanyakan menggunakan musik dan takbiran remix di Youtube dan menimbulkan semacam jedhag-jedhug ala pesta.

Acara juga dimeriahkan ledakan petasan yang sambung menyambung tidak berhenti-hentinya menghiasi langit sejak acara dimulai sampai acara selesai. Diperlukan inovasi berupa penerapan konsep khidmat dan penyusunan panitia inti sehingga dalam tradisi ini bisa diselenggarakan dengan khidmat, bukan sekadar ramai.

Pembentukan panitia inti dan perumusan konsep takbir mursal akan menciptakan kerukunan antarmasyarakat dan menyelesaikan masalah yang sering terjadi setiap tahun kala tradisi ini diselenggarakan. Acara yang khidmat tidak mungkin menyebabkan banyak orang terprovokasi. Ketika ada orang-orang yang membuat onar bisa langsung ditangkap, diselesaikan, dan masalah tidak menyebar sehingga tradisi ini bisa dilaksanakan sampai selesai.

Takbir keliling adalah kegiatan mengumandangkan lafal takbir secara serentak dengan berjalan kaki dan menggunakan alat penerang obor berkeliling desa,  terkesan sederhana dan khidmat. Butuh pengubahan konsep yang bersifat khidmat dan khusyuk yang berpotensi untuk mengukuhkan kerukunan dan memecahkan masalah yang sering terjadi di tradisi takbir mursal Idulfitri di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.

Menjaga keberlangsungan tradisi takbir mursal penting sebagai optimalisasi kehidupan sosial budaya upaya perwujudan tujuan ke-30 dari Sustainable Development Goals atau SDGs pada ranah kajian sosial budaya.

Terlepas dari permasalahan yang muncul setiap tahun, tradisi takbir mursal menjadi sebuah momentum yang selalu dinantikan masyarakat Desa Purworejo. Tradisi yang hampir sama pasti juga ada di daerah lain.

Menyambut Idulfitri yang penuh suka cita dengan menyaksikan berbagai kreativitas bersama keluarga di depan rumah atau ikut berkeliling di jalan raya adalah bagian dari perayaan kebudayaan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 April 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya