SOLOPOS.COM - Oriza Viloza (Solopos/Istimewa)

Iklan pendanaan, pinjaman, dan penawaran sejenis, saya rasakan semakin sering muncul di layar akun YouTube yang bukan premium di handphone saya. Konten iklan serupa juga muncul di akun Facebook.

Jika ditilik ke belakang, saya jarang bahkan tidak pernah mengintip informasi soal pinjaman dan sejenisnya. Itu membuat saya berpikir konten berbau financial technology atau fintech memang dijalankan tanpa lagi mengutamakan basis data algoritma saja.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Iklan itu aktif tanpa memandang perilaku pengguna target yang menjadi target pemasang iklan itu. Hal itu yang membuat saya mulai percaya terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat membuka BUMN Startup Day di Tangerang, Banten, Senin (26/9/2022) lalu.

Saat itu Presiden Jokowi menyebut porsi ekonomi digital di Indonesia didominasi fintech, yakni sebesar 23%. Sementara ekonomi digital sektor agrikultura baru 4% dan retail 14%. Mantan Wali Kota Solo itu pun berharap rintisan usaha atau startup agrikultura digarap. Peluangnya luas.

Apakah mungkin rintisan usaha bidang agrikultura dengan ujung tombak teknologi informasi bisa mengimbangi fintech. Saya rasa itu mustahil terjadi bahkan hingga akhir masa jabatan Presiden Jokowi.

Mengapa? Dewasa ini orang makin mudah memanfaatkan teknologi untuk membayar tagihan atau transaksi dengan gawai. Bahkan orang mau mengajukan pinjaman saja cukup instal aplikasi dan mengirim foto KTP. Semudah itu.

Orang pengin beli barang di marketplace  pun dengan mudah mengajukan prosedur bayar belakangan. Hingga tak jarang orang yang kurang pengetahuan finansial dan manajemen keuangan mengumbar cerita tentang pusingnya membayar tagihan belanja.

Ekonomi digital memang menjadi kolam besar bagi fintech. Paling mudah saya membuktikan ini dengan melihat tetangga saya yang menjadikan rumahnya sebagai kantor layanan online pembayaran berbagai tagihan. Setiap pagi, sedikitnya 15 orang berkumpul dan diberi pengarahan. Sekitar sejam di rumah itu, orang-orang itu lalu pergi mencari rekanan dan menawarkan kerja sama.

Mereka membidik pemilik toko kelontong dan seterusnya untuk dijadikan mitra. Ada faktor need alias kebutuhan dan keinginan masyarakat yang ditangkap lewat usaha-usaha semacam itu. Teknologi memang telah mengubah perilaku orang-orang. Hidup menjadi mudah, bayar ini dan itu cukup dengan menggerakkan jari di layar gawai.

Apakah teknologi yang membuat hidup orang makin mudah itu sekonyong-konyong terlahir? Butuh riset yang mendalam dan cukup lama. Sebagai contoh, perusahaan teknologi seperti produsen handphone saja nyaris menghabiskan lebih dari 25% anggaran belanja untuk research and development atau R&D atau riset dan pengembangan.

Itu yang saya baca dari laporan rutin perusahaan teknologi besar, termasuk di China. Maka saya tidak nggumun, jika gawai yang dijual di sekitar kita makin canggih dan makin tepat guna. Membuat pembelinya senang dan seolah-olah urusan hidupnya terselesaikan dengan bantuan gawai. Hingga tak jarang kita temukan di sekitar kita, orang-orang sibuk mengoperasikan gawai dan diskusi atau obrolan ringan jarang terjadi. Saya tergelitik dengan unggahan foto dan keterangan tertulis Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di akun Instagram @smindrawati.

Unggahan tersebut bisa direnungkan. “NO WiFi. Talk to each other. Eyang Uban and Malia Talk to each other. New Year’s Eve,” tulis pada akun itudengan kutipan kata tulisan hiasan dinding di belakang suami Menteri Keuangan tersebut. Kita butuh bicara, butuh riset, butuh pengembangan. Butuh mengirimkan orang ke luar sana untuk meneliti apa yang bisa kita jual di sana.

Beberapa bulan lalu, di tengah derasnya kabar ketegangan Rusia-Ukraina, saya kebetulan melihat sebuah potongan video yang menayangkan betapa gelinya Presiden Rusia, Vladimir Putin. Pria itu seperti menahan tawa saat mendengar usulan ekspor daging babi ke Indonesia. Putin memotong usulan Menteri Pertanian Rusia, Alexander Tkachov, itu. Cukup singkat, Putin menanggapi dengan senyum dan berkata bahwa mayoritas warga Indonesia muslim.

Kisah Putin, cerita anggaran R&D raksasa teknologi di China, menggambarkan negara di luar sana begitu serius membahas kita. Kita sebagai pasar. Jauh sebelum itu, kisah keberadaan tentara Jepang di Tanah Air tak sekadar tetulis di buku sejarah. Ada jejak propaganda melalui tayangan film, istilah baris-berbaris, bahkan hingga istilah rukun tetangga (RT) masih digunakan hingga saat ini. Jumlah kendaraan yang melintas di jalan sekitar kita pun didominasi produksi Jepang.

Intinya mereka sangat paham tentang apa yang kita mau, yang kita suka. Bahkan, mereka bisa membuat kita yang tak biasa melakukan sesuatu bisa menjadi gemar melakukannya. Jadi, sebaliknya, jika kita ingin menerangi tahun yang diprediksi akan gelap ini maka sudah sepantasnya bertanya kepada diri sendiri. Sudahkah kita bisa tahu kebutuhan orang di luar sana, apakah kita bisa mencukupi kebutuhan itu, sudahkah kita tahu bagaimana tahap mencukupi kebutuhan mereka? Kinerja ekspor Indonesia menjadi salah satu parameter sehat dan tidaknya perekonomian Tanah Air.

Di sisi lain, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto Nasional yakni 61,97% atau senilai Rp8,6 triliun pada 2021. UMKM, kata Presiden Jokowi, telah menyerap 119,6 juta atau 97% total tenaga kerja di Indonesia. Untuk itu, mumpung 2023 baru berjalan berapa hari, sebaiknya kita mulai dari mana?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya