SOLOPOS.COM - Vina Eka Aristya (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Indonesia  merupakan negara megadiversity yang kaya ragam hayati. Sumber daya genetik (SDG) adalah wujud keanekaragaman hayati, dapat berupa tumbuhan, binatang, dan jasad renik yang mengandung unit fungsional pewarisan sifat atau hereditas.

Convention on Biological Diversity menyatakan SDG sebagai materi genetik yang mempunyai nilai nyata atau potensial. Kekayaan SDG sangat rentan pencurian/pembajakan (biopiracy), juga eksploitasi yang ekstrem secara tidak tepat dan tidak sah (illegal utilization).

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Kesadaran tentang pelindungan SDG mulai dari bahan genetik, spesies, hingga ekosistem harus digalakkan agar tidak masif diambil, dipatenkan, dan digunakan secara komersial oleh pihak asing tanpa izin.

Indonesia dianugerahi 38.000 jenis tumbuhan berbunga. Potensi SDG yang berhasil dicatat adalah 100 spesies sumber karhohidrat, 100 spesies sumber protein/kacang-kacangan, 450 spesies tanaman buah, dan 250 spesies sayuran.

Selain itu tersedia sumber bumbu dan rempah (70 spesies), bahan minuman (40 spesies), bahan bambu/rotan (56 spesies), tanaman kayu/rotan (250 spesies), tanaman obat (1.000 spesies), tanaman hias (5.000 spesies) yang semestinya berdaya guna bagi kemakmuran rakyat.

Bentang alam Indonesia yang mengikuti Garis Wallacea, Garis Weber, dan Garis Lydekker memiliki SDG melimpah di 47 ekosistem alami. Luas areal Indonesia hanya 1,3% dari luas bumi, namun memiliki proporsi 17% keragaman hayati dari total sumber hayati dunia.

Kekayaan flora berkisar 11% dengan indeks kepadatan 8,5 dari seluruh botani semesta karena ditunjang sinar matahari yang merata sepanjang tahun. Dalam era globalisasi seperti saat ini, batas negara satu dengan lainnya di bidang ekonomi sudah tidak ada lagi.

Keanekaragaman lokal menjadi peluang sekaligus tantangan dalam menghasilkan produk bermutu, murah, dan jumlah cukup bagi negeri sendiri serta peluang ekspor. Keterlibatan masyarakat sebagai pengelola SDG bertujuan agar diperoleh keunggulan, daya adaptasi, peningkatan hasil, mutu produk, hingga komersialisasi SDG bagi kebutuhan pasar domestik dan global.

Pemanfaatan SDG, antara lain, sebagai sumber pangan, pakan, bahan industri, dan farmasi. Sumber hayati dibutuhkan dalam menghadapi tantangan keterbatasan pasokan air dan perubahan iklim, bahkan kenaikan suhu mencapai 0,74°C selama dasawarsa terakhir.

Selain itu, lingkungan yang memburuk akibat ketidakseimbangan agroekologi, cekaman biotik, dan abiotik memerlukan SDG potensial. Setiap daerah di Indonesia memiliki kekayaan alam khas yang sering bersifat unik dibandingkan daerah lain, bahkan tidak dapat berkembang di lokasi lain.

Kelimpahan SDG yang unik yaitu 515 jenis mamalia (12% dari total mamalia dunia), 511 ragam reptilia (7,3% dari seluruh reptil dunia), dan 1.594 jenis burung (17% dari jumlah burung dunia). Pelestarian dan kemaslahatan SDG diarahkan agar berpihak bagi masyarakat luas.

Pemanfaatan SDG digerakkan oleh unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan. Aspek ekonomi berkaitan erat dengan bioprospecting, yaitu serangkaian kegiatan koleksi, penelitian, dan pemanfaatan bahan biologi secara sistematis.

Aktivitas ekonomi berguna mendapatkan sumber senyawa kimia, gen, organisme, atau produk alami untuk tujuan ilmiah dan/atau komersial. Pengelolaan SDG skala ekonomi mampu menyumbang devisa negara.

Unsur sosial berkaitan dengan strategi ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai bagian pembangunan nasional. Faktor sosial memengaruhi keamanan nasional dan stabilitas ekonomi.

Sedangkan aspek lingkungan berkaitan dengan program konservasi bagi peningkatan kualitas genetik. Program pembangunan yang memperhatikan lingkungan berkelanjutan diperlukan bagi aksesibilitas sumber daya oleh 277 juta penduduk lokal.

Pemanfaatan SDG juga ditantang untuk menjadi lebih efisien dengan pendekatan inovatif. Kita ketahui bahwa revolusi hijau (evergreen revolution) memiliki dampak negatif, yaitu degradasi lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida berlebihan, serta menurunkan keanekaragaman hayati akibat hilangnya berbagai varietas lokal.

Penggunaan sumber alam eloknya dibarengi pelestarian in situ dan ex situ. Konsep in situ merupakan pelestarian SDG on-farm di ekosistem dan habitat alami yang dikelola oleh komunitas setempat. Pengetahuan lokal in situ bermanfaat untuk mempertahankan spesies tradisional, varietas lokal, dan keragaman genetik kerabat liar organisme.

Sedangkan ex situ ialah upaya melestarikan SDG secara existing di cold storage, genebanks, kebun koleksi, maupun agrowisata. Modifikasi praktek ex situ merupakan cara antisipasi kepunahan dan menjaga eksistensi keragaman genetik dengan penerapan teknologi terkini bagi kebutuhan masa mendatang.

Perlindungan SDG

Pengarusutamaan SDG menjadi urgen dan dipertimbangkan melalui penguatan regulasi, perkiraan permintaan SDG pada masa depan, kejelasan hak milik, dan kapabilitas pemberian nilai tambah produk. Penguatan sinergi antara pengambil keputusan dan pelaku usaha diperlukan dalam menangani SDG yang lestari.

SDG saat ini telah banyak diakses untuk berbagai keperluan eksternal, antara lain oleh masyarakat asing dan perusahaan multinasional dengan sedikit atau bahkan tanpa imbalan bagi kegiatan konservasi.

Peneliti luar negeri (porsi 24% dari seluruh periset nasional) merupakan pihak yang telah lama terlibat kajian satwa liar Indonesia. Negeri di khatulistiwa ini menjadi primadona riset karena kelimpahan hayati, terbesar kedua dunia setelah Brasil.

Tata regulasi akan mendukung program perlindungan SDG. Konservasi hayati mengacu pada amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengenai Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Akselerasi kebijakan konservasi SDG melalui advokasi, identifikasi, dan proses legal via perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI),  perlindungan varietas tanaman, pendaftaran, serta pelepasan dapat mengatur komersialisasi SDG. Pembinaan kelembagaan dan teknologi utilisasi massal juga menjadi upaya penting perlindungan SDG secara efisien.

International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture menjadi payung hukum global upaya pelestarian lingkungan, termasuk SDG untuk pangan dan pertanian. Perjanjian ini mendorong pihak-pihak terkait mengupayakan langkah pemanfaatan SDG berkelanjutan. Perjanjian ini mewajibkan setiap negara berperan aktif dalam konservasi lingkungan dan sumber daya alam bagi kelangsungan SDG.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Mei 2023. Penulis adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya