SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Negara berpotensi merugi Rp544 triliun dalam kurun waktu 2020-2024 akibat perubahan iklim. Status Indonesia sebagai negara kepulauan dan berada di ring of fire membuat bencana alam didominasi oleh bencana hidrometeorologi, dan diperparah oleh dampak perubahan iklim.

Informasi itu disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 pada Senin (21/8/2023).

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Potensi kerugian hingga Rp544 triliun itu terjadi dari kecelakaan kapal dan banjir rob, penurunan ketersediaan air, turunnya produksi beras, hingga peningkatan kasus demam berdarah (DBD). Berubahnya pola iklim meningkatkan kejadian penyakit sensitif iklim, salah satunya DBD. Suhu yang lebih hangat membuat perkembangbiakan nyamuk DBD meningkat dan lebih cepat menginfeksi manusia.

Di sisi lain, saat ini rata-rata kenaikan muka air laut Indonesia sudah mencapai 0,8 cm-1,2 cm per tahun. Pesisir pantai di Indonesia termasuk yang terpanjang di dunia. Kenaikan permukaan laut ini berpotensi mengancam tempat tinggal hampir 160 juta masyarakat pesisir. Sebagian tempat sudah mulai terendam secara permanen oleh air laut, salah satu contohnya di Pekalongan, Jawa Tengah.

Suharso Monoarfa mengkhawatirkan jika tidak ada intervensi, pada tahun 2050 mendatang sebanyak 119 kab/kota dan 23 juta masyarakat pesisir akan terendam dan harus berpindah tempat. Setidaknya 118.000 hektare wilayah yang akan terendam banjir rob dan kerugian diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun.

Sepanjang 2010-2021, sebanyak 6,5 juta penduduk Indonesia telah mengalami perpindahan lokasi bermukim akibat bencana alam, di mana 63 persen di antaranya harus pindah karena bencana yang terjadi akibat perubahan iklim. Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan air. Sejumlah wilayah di Indonesia diperkirakan bakal mengalami penurunan tingkat curah hujan 1-4 persen hingga 2034.

Kondisi ini mengakibatkan pasokan air bersih berkurang dan berpotensi pada konflik alokasi air pada pertanian, industri, dan energi. Peningkatan El Nino dari yang biasanya 3-7 tahun menjadi 2-5 tahun sekali membuat musim kemarau lebih sering terjadi.

Status Indonesia sebagai “supermarket” bencana, terutama bencana hidrometeorologi, yang diperparah oleh dampak perubahan iklim harus mendapat perhatian penuh para pemimpin negara. Siapapun presiden yang terpilih pada 2024 mendatang harus menjadikan dampak perubahan iklim ini dalam prioritas program kerjanya.

Potensi bencana yang diungkap Suharso Monoarfa ini butuh intervensi kebijakan berupa mitigasi perubahan iklim yang membumi. Yaitu intervensi kebijakan yang mudah dipahami dan dijalankan segala lapisan masyarakat dan setiap individu. Kebijakan yang berlandaskan pemahaman konkret tentang perubahan iklim dan dampak-dampaknya.

Sejauh ini urusan perubahan iklim dan dampak-dampaknya belum menjadi arus besar kebijakan pemerintah pusat hingga kabupaten/kota. Wacana yang mengemuka masih elitis, padahal dampak yang potensial terjadi akan langsung mengenai setiap individu warga negeri ini.

Kehendak politik yang kuat serta kepemimpinan yang kuat untuk membumikan isu perubahan iklim menjadi sangat penting. Pembumian isu disertai intervensi kebijakan yang terukur akan menggalang kerja sama semua potensi untuk merumuskan mitigasi.

Kehendak politik dan kepemimpinan itulah yang absen sehingga isu perubahan iklim sejauh ini sebatas dianggap isu elitis, padahal dampaknya dirasakan setiap individu warga negeri ini dalam kehidupan sehari-hari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya