SOLOPOS.COM - Tasroh (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Penerbit  dan toko buku Gunung Agung mengumumkan penutupan 276 gerai di seluruh Indonesia per Desember 2023. Manajemen perusahaan tersebut menyatakan era digitalisasi penerbitan, maraknya penerbitan virtual/online, merombak budaya literasi dan bisnis penerbitan secara fundamental sehingga penerbitan yang belum sepenuhnya mengikuti zamam mudah tutup.

Kabar penutupan penerbitan dan toko buku standar nasional ini semakin membuktikan peta penerbitan dan industri perbukuan telah berubah total. Perubahan ini mengikuti tren perubahan laku literasi ketika sumber-sumber bacaan utama tidak lagi text-papers, tetapi menjadi paperless.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Perilaku literasi masyarakat pembaca juga berubah, dari yang sebelumnya literasi berbasis teks fisik ke teks nonfisik atau dari offline ke online. Perubahan literasi masyarakat ini merombak “selera” bacaan masyarakat secara fundamental. Bacaan online/virtual dinilai lebih mudah, murah, dan cepat.

Hanya dengan berlangganan Internet atau duduk di sekitar lokasi yang terdapat jaringan Internet di mana dan kapan pun, pembaca bisa mengakses dengan mudah dan cepat. Hanya sekali klik, bacaan bisa didapat lebih komplet bahkan nyaris tanpa batas, tanpa harus bersusah payah mendapatkan data, informasi visual, atau video sekali pun.

Perubahan sumber bacaan tidak saja mengancam keberlanjutan penerbitan buku-buku bermutu tinggi yang secara otomatis turut berperan serta menentukan kualitas literasi masyarakat, tetapi secara langsung juga telah mengancam masa depan ketenagakerjaan.

Bayangkan, penutupan penerbit dan toko buku Gunung Agung diperkirakan menyebabkan 3.500 pekerja dirumahkan atau terancam pemutusan hubungan kerja. Konon, sebagaimana siaran pers Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Arys Hilman Nugraha, di samping penerbit buku dan toko buku Gunung Agung, setidaknya ada tujuh penerbit buku dan media massa offline yang sudah mendaftarkan diri sebagai usaha penerbitan yang “pailit”.

Kondisi ini sangat memprihatikan dan butuh intervensi masyarakat/pengusaha dan pemerintah bersama-sama guna mencegah penerbit-penerbit tersebut bangkrut dan kembali bisa memenuhi kebutuhan bacaan masyarakat.

Normalisasi usaha/bisnis penerbitan buku/cetakan offline tersebut mendesak dilakukan lintas stakeholders, bukan sekadar mencegah pengangguran dan kemiskinan baru, tetapi sekaligus mengamankan masa depan literasi masyarakat.

Paling terpengaruh atas penutupan penerbitan buku/koran adalah kalangan pelajar, mahasiswa, dan dunia pendidikan. Merekalah pelanggan utama dan setia usaha penerbitan/toko buku, khususnya buku-buku pelajaran/perkuliahan.

Harus diakui, era paperless sumber bacaan, apalagi ketika Google dan portal-portal sejenis membanjiri dunia maya dengan revolusi sumber bacaan masif, praktis membangkrutkan pusat-pusat penerbitan buku dan toko buku di mana-mana.

Jika dibandingkan dengan tren di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Jepang, meski portal-portal sumber bacaan perbukuan tumbuh pesat, penerbitan offline/manual tetap mengikuti “selera pelanggannya”.

Pengalaman saya ketika belajar di Jepang, para sensei, para guru/dosen, tetap mewajibkan mahasiswa membaca dan menelaah buku-buku bahan-bahan paparan materi pembelajaran.

Para sensei, guru, dosen, atau pendidik dengan penuh semangat berperan meningkatkan kualitas literasi siawa/mahasiswa/pembelajar dengan mewajjibkan setiap hari “tambah pengetahuan/informasi”, salah satunya dengan mewajibkan setiap siswa/mahasiswa/pembelajar membaca buku-buku cetakan karya penerbit-penerbit yang sudah terstandardisasi mutunya.

Langkah para guru/dosen dan pendidik demikian tidak hanya menjadi prototipe/model pembelajaran bagi siswa/mahasiswa/pembelajar/masyarakat pembaca, tetapi sekaligus menjadi bekal yang tak pernah terlupakan sepanjang hayat pembelajar sampai kapan pun.

Ironis, jika kita melihat dan mencermati tren para pendidik, laku guru dan dosen kita, yang dalam menjalankan peran sebagai guru/dosen/pendidik/pengajar tidak pernah sadar untuk mendidik dan mengajari siswa/mahasiwa membaca buku, khususnya buku-buku yang berisi tentang pengetahuan/rujukan utama pembelajaran.

Hal ini terlihat dari hasil riset UNUESCO (2020) bahwa para guru/dosen dan pendidik di Indonesia 65% tidak menjalankan fungsi sebagai pendidik bermutu karena gagal mendidik siswa/mahasiwa mencapai kompetensi yang dibutuhkan di lapangan kerja baru.

Salah satunya lantaran para guru/dosen/pendidik lebih terkesan mengejar kesejahteraan, pontang-panting mencari uang, tanpa serius melakukan riset apalagi rutin menerbitkan buku-buku pelajaran untuk siswa/mahasiswa/pembelajarnya sendiri.

Hari-hari pembelajaran siswa/mahasiswa/pembelajar tidak dipakai untuk membahas dan mengkaji buku-buku berkualitas. Penerbit lebih suka menerbitkan buku-buku terjemahan/saduran asing.

Para penulis buku atau ahli tertentu lebih gemar “oral publishing” (penerbitan oral via Youtube atau media sosial), tetapi alpa untuk serius menerbitkan buku-buku bermutu dari dan oleh sumber dayanya sendiri.

Hal ini terlihat dari jumlah dan kualitas karya tulis para ahli di Indonesia yang menurut hasil reviu UNESCO (2020) tergolong sangat rendah. Sebanyak 90% buku-buku yang diterbitkan para ahli (guru/dosen/peneliti) di Indonesia cenderung hasil terjemahan bebas atau saduran karya/buku asing sehingga gagal menjadi sumber pembelajaran di level domestik.

Setiap negara memiliki setting masalah sendiri-sendiri yang harus bisa menginspirasi para ahli berbagai disiplin ilmu menerbitkan buku-buku akademik-ilmiah sebagai sumber pembelajaran dan kajian di level domestik. Jika tradisi demikian tidak berkembang, wajar banyak penerbit buku dan toko buku seperti jadi “kuburan baru” bagi usaha penerbitan offline.

Semestinya tradisi literasi di Indonesia bisa diubah. Peran dan fungsi para ahli, para pendidik/pengajar, di semua tingkatan inilah yang akan menetukan masa depan penerbitan dan toko buku. Laku pembelajaran amat menentukan masa depan penerbit dan toko buku.

Tugas Bersama

Di luar kenyataan salah membaca “selera pasar” di kalangan usaha/pengusaha penerbitan buku di Indonesia, keberlanjutan usaha penerbitan memerlukan dukungan, bantuan, dan kerja sama semua pihak, khususnya dukungan para siswa/mahasiswa, guru, dosen, pendidik, peneliti, serta masyarakat dan pemerintah secara simultan.

Peran siswa/mahasiswa/pembelajar adalah menjadi pelanggan setia buku-buku bermutu tinggi sebagai sumber utama pembelajaran. Pada era Orde Baru ada agenda setiap siswa/mahasiswa/pembelar wajib memiliki buku-buku sumber pembelajaran utama yang wajib dibaca.



Mereka berusaha membaca dan paham isi buku-buku pelajaran-akademik itu. Mereka butuh memiliki atau membaca buku-buku ilmiah tersebut. Peran guru/dosen/pendidik dan peneliti adalah menciptakan suasana dan kebutuhan sumber pembelajaran dari buku-buku fisik penuh (full physic text books) dengan mewajibkan setiap siswa/mahasiswa/pembelajar membaca dan memahami isi buku-buku tersebut.

Setiap saat pembelajar/siswa/mahasiswa bertambah “kadar” keilmuan, pengetahuan, dan wawasan mereka. Bukan seperti hari-hari ini ketika waktu dan masa pembelajaran/jam-jam sekolah/perkuliahan tak dipergunakan untuk membaca buku-buku bermutu.

Setelah lulus dari suatu satuan pendidikan tak mampu memahami dan menguasai  kompetensi tertentu yang dibutuhkan pasar kerja. Pengangguran tiap tahun makin banyak. Salah satu penyebabnya karena selama masa pembelajaran tak pernah membaca buku-buku.

Para pembimbing/guru/dosen/pendidik sibuk dengan bisnisnya sendiri, alpa menjalankan peran “mencerdaskan” anak bangsa. Buku-buku dari penerbitan tak dibaca serius, sibuk dengan kegiatan nonliterasi. Akhirnya lulus dari satuan pendidikan gagal mencapai prestasi dengan kompetensi yang diperlukan pasar kerja.

Ini akibat gagal membaca buku! Peran masyarakat/dunia usaha adalah tetap konsisten membangun usaha penerbitan dengan membangun kolaborasi dengan lembaga-lembaga pendidikan/riset sehingga buku-buku yang diterbitkan tak sekadar untuk menambah pengetahuan, tetapi adalah buku yang menopang dan menentukan kompetensi masa depan generasi anak bangs.

Di Jepang ada tradisi ”tanpa membaca buku A, B, atau C masa depan anak bangsa suram”. Budaya membaca buku bisa dikembangkan dan dihidupkan lagi dan secara simultan mendorong pengusaha membangun penerbitan buku lagi.

Peran regulator/pemerintah adalah melayani, mengatur, dan memfasilitasi para pemangku kepentingan penerbitan dan toko buku agar mau dan mampu membaca selera pembaca sekaligus bersama-sama kalangan pendidikan/penelitian memproduksi buku-buku bacaan utama yang akan mengakselerasi literasi masyarakat/pembaca.

Pemerintah berkewajiban serius membangun dunia pendidikan dan penelitian dengan menyediakan dan memfasilitasi kalangan penerbitan menghasilkan buku-buku bermutu tinggi yang menggugah kesadaran terdalam minat baca masyarakat /pembaca.

Ini strategis diperhatikan negara/pemerintah lantaran kualitas dan kuantitas penerbitan buku-buku bermutu di suatu negara-bangsa akan menentukan kadar literasi suatu bangsa yang turut menentukan peradaban dan perkembangan ilmu dan teknologi.

Banyak negara gagal membangun ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban baru. Pakar pedagogi Amerika dalam Sciences Lead Nation Forward (2021), Julliane Dunn, menyatakan keberadaan penerbitan buku-buku bermutu menentukan kualitas peradaban dan ilmu pengetahuan suatu bangsa.

Wajar di negara-negara maju penerbit dan toko buku pelajaran dibebaskan dari pajak,  bahkan mendaptkan bantuan negara. Bangsa yang sukses dewasa ini adalah bangsa yang memimpin perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan bangsa pembaca buku.

Itulah mengapa semua pihak berkewajiban mencegah penerbitan dan toko buku roboh karena robohnya penerbitan dan toko buku seperti robohnya ilmu pengetahuan dan dan peradaban. Tugas bersama menegakkan kembali penerbitan dan toko buku.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 Mei 2023. Penulis adalah aparatur sipil negara dan penulis buku yang bergantung pada buku-buku bermutu)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya