SOLOPOS.COM - Lilis Anisah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Parfummu  dari Paris / Sepatumu dari Itali / Kau bilang demi gengsi / Semua serba luar negeri… Sepenggal lirik lagu tempo dulu itu menggambarkan dengan alasan gengsi produk luar negeri menjadi prestise tersendiri bagi pemakainya.

Lirik berikutnya dari lagu tersebut menjadi satu satire bahwa terdapat dikotomi di masyarakat kita: pemuja produk luar negeri dan pencinta produk dalam negeri. Salahkah kita menjadi salah satu pengguna produk impor?

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Tentu tidak. Pada kenyataannya produk impor membanjiri pasar domestik. Produk impor juga menjadi gambaran bergeliatnya roda perekonomian yang berasal dari transaksi antarnegara.

Walakin, akan lebih bijak kiranya jika kita, pemilik kekayaan alam luar biasa di Indonesia, memilih mencintai produksi kita sendiri, hasil kearifan negeri ini.

Negeri kita sedang dalam masa pemulihan pascapandemi Covid-19. Ketidakpastian ekonomi, situasi dan konflik geopolitik, berdampak secara global maupun nasional.

Ketidakpastian tersebut tersebut terlihat dari kondisi ekonomi negeri yang belum stabil, ditunjukkan salah satunya melalui indikator pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi.

Dalam kondisi pemulihan ini, negeri kita membutuhkan motor penggerak ekonomi untuk bangkit dari keterpurukan pandemi. Motor tersebut dicetuskan dalam Gerakan  Nasional  Bangga  Buatan  Indonesia  (Gernas BBI) yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 14 Mei 2020.

Seiring perjalanan  waktu,  pada 2023-2024, Gernas  BBI  memperluas  cakupan  dengan  tambahan  Bangga  Berwisata  di Indonesia (BBWI). Gernas  BBI  dan  BBWI  bertujuan  memajukan ekonomi  kreatif  dan  pariwisata  dengan  mengedepankan  usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai  pelaku  utama.

Gernas  BBI  dan  BBWI  mendorong  masyarakat,  termasuk  pemerintah  daerah, menggunakan  produk  domestik  sebagai  salah  satu  upaya  menggerakkan perekonomian daerah.

Berbicara tentang data usaha mikro dan kecil (UMK), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat berdasarkan hasil Sensus Ekonomi 2016 (SE-2016), dunia usaha Indonesia didominasi oleh usaha mikro dan kecil (UMK).

Lebih dari 26 juta usaha atau 98,68% dari total usaha nonpertanian di Indonesia adalah UMK. Usaha ini juga mampu menyerap tenaga kerja Indonesia lebih dari 59 juta orang atau sekitar 75,33% dari total tenaga kerja nonpertanian.

Di tingkat Jawa Tengah, hasil SE-2016 juga mencatat dominasi UMK, jumlahnya lebih dari empat juta usaha atau sebesar 99,19% dari total usaha nonpertanian di Jawa Tengah.

Tenaga kerja Jawa Tengah yang diserap UMK juga tak main-main. UMK mampu menyerap lebih dari delapan juta orang atau sekitar 83,24% dari total tenaga kerja nonpertanian di Jawa Tengah.

Di sisi lain, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) tahun 2018 menyatakan terdapat 64,2 juta UMKM yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 97%.

Sebesar 98,68% dari UMKM tersebut merupakan pelaku usaha mikro dengan daya serap tenaga kerja sekitar 89%. Sumbangan usaha mikro terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya sekitar 37,8%. Sedangkan sumbangan UMKM terhadap PDB Indonesia sebesar 61,1%.

Deretan fakta dan data yang saling menguatkan ini menjadi satu bukti bahwa UMK maupun UMKM memiliki potensi besar menjadi motor penggerak sekaligus basis ekonomi nasional yang kuat karena jumlah UMKM, terutama usaha mikro, yang sangat banyak dan daya serap tenaga kerja sangat besar.

Basis usaha ini juga terbukti kuat dalam menghadapi krisis ekonomi. Terdapat berbagai alasan keunggulan UMK dalam bertahan dari badai krisis. Pertama, umumnya UMK menghasilkan barang konsumsi dan jasa yang dekat dengan kebutuhan masyarakat.

Kedua, UMK tidak mengandalkan bahan baku impor dan lebih memanfaatkan sumber daya lokal, baik dari sisi sumber daya manusia, modal, bahan baku, maupun peralatan. Ketiga, umumnya bisnis UMK menggunakan modal relatif rendah.

Dengan keunggulan tersebut, UMK tidak begitu merasakan pengaruh krisis global yang biasanya ditandai dengan penurunan nilai tukar rupiah yang dalam (BPS, 2018). Apa peran kita? Memilih untuk membeli dan menggunakan produk dalam negeri adalah tindakan nyata paling sederhana dalam mencintai Indonesia.

Bangga terhadap hasil karya atau produksi  sendiri adalah sedikit dari kontribusi kita dalam memulihkan ekonomi negeri ini. Bisa dibayangkan, bagaimana jika lebih dari 275 juta jiwa masyarakat Indonesia bergerak bersama dengan lebih memilih produk dalam negeri, terlebih produk UMKM, apa yang akan terjadi?

UMKM akan menjadi raja di negaranya sendiri. Kecintaan terhadap hasil karya produk sendiri akan meningkatkan martabat Indonesia di mata dunia. Jangan hanya menjadi penonton. Jadilah tuan rumah di negeri sendiri.

Tunjukkan kecintaan kita pada negeri ini dengan bangga memilih memenuhi  semua  kebutuhan  sehari-hari  dengan produk hasil UMKM. Kebanggaan ini akan memutar roda ekonomi bangsa agar dapat terus berjalan dan menguat. Siapa lagi yang akan mencintai negeri sendiri kalau bukan kita?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 September 2023. Penulis adalah Statistisi Muda Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya