SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sepak bola dan cinta seperti malam dan kelam. Tak terpisahkan. Orang-orang mencintai sepak bola dengan cara mereka sendiri. Ada sebagian orang yang mencintai sepak bola melebihi cinta mereka terhadap apa pun.

Sepak bola sebenarnya lahir dari cinta. Cinta prajurit terhadap junjungan atau bangsa yang memunculkan keinginan menjaga kebugaran tubuh dengan bermain bola. Tujuannya agar dapat menjalankan tugas mempertahankan kekuasaan dinasti dengan baik.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Sepak bola dikenal pada 255-206 sebelum Masehi, sekitar abad ke-2 hingga ke-3 di China. Saat itu ada permainan oleh para tentara menggunakan benda bundar dari kulit. Motivasi utama mereka melatih fisik agar tetap bugar dalam bertugas melindungi dinasti penguasa.

Permainan itu disebut tsu chu, pada zaman Chun Qiu Zhan Guo. Tsu artinya menerjang bola dengan kaki. Chu bermakna bola dari kulit yang ada isinya. Aturannya sederhana, memasukkan bola ke jaring. Bola dari kulit, jaring dari bambu.

Yunani mengenal permainan sepak bola sejak 800 sebelum M. Dikenal dengan nama episkyro serta harpastum. Bertujuan melatih kekuatan fisik prajurit kerajaan. Cinta ini juga yang membuat sepak bola masa modern menjadi olahraga paling banyak penggemarnya di dunia.

World Atlas pada 2021 melaporkan lebih kurang empat miliar orang di dunia menggemari sepak bola. Indonesia memberi kontribusi penggemar sepak bola terbesar. Berdasar survei perusahaan riset multinasional Ipsos pada 26 Agustus—9 September 2022 di 34 negara, penggemar sepak bola di Indonesia paling banyak di dunia, proporsinya 69%. Itu menggambarkan 69% penduduk Indonesia menyukai sepak bola.

Pencinta sepak bola cenderung juga mencintai pelakunya, entah pemain secara individu, klub, maupun tim nasional. Bagi mereka, sepak bola adalah candu. Banyak yang kebablasan mencintai sepak bola. Sejumlah sumber menyebut saking cinta atau fanatiknya terhadap mendiang megabintang Argentina, Diego Maradona, tiga penggemar, yakni Hector Campomar, Alejandro Veron, dan Hernan Amez, menciptakan Agama Maradona pada 1998.

Sekte itu mendirikan tempat ibadah bernama Gereja Maradoniana (Iglesia Maradoniana) di Kota Rosario, Argentina. Agama Maradona memiliki hari raya keagamaan, seperti hari perayaan kelahiran Maradona setiap 30 Oktober. Penganut sekte ini juga merayakan hari raya pada 22 Juni, tanggal ketika Maradona mencetak dua gol di Piala Dunia 1986.

Agama Maradona kini sudah memiliki penganut hingga 200.000 orang di 130 negara. Gereja Maradoniana melaksanakan ritual, seperti pembaptisan, memiliki doa yang berhubungan dengan Maradona, dan mempunyai 10 perintah yang harus dilaksanakan penganut Agama Maradona.

Mencintai sepak bola juga melahirkan fanatisme terhadap klub atau tim nasional. Pencinta cenderung tak berpikir logis dalam mencintai klub/tim nasional. Cinta bersifat menyakiti orang yang tak mencintai klub/tim nasional yang dicintainya. Pemain di tim yang mereka cintai tak luput dari sasaran tembak para pencinta buta ini.

Ada suporter yang mengolok-olok, menghina, bahkan merendahkan pemain dengan tindakan rasisme, baik pemain yang berseberangan maupun pemain di pihak yang sama. Pemain berkulit hitam di Eropa kerap menjadi korban.

Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah rasisme yang dialami pemain tim nasional Brasil yang kini memperkuat Real Madrid, Vinicius Junior. Kasus itu sampai membuat pengelola La Liga geram dan gencar mengampanyekan gerakan antirasisme.

Mesut Ozil merasakan kepedihan lantaran mendapat perlakuan rasis dari pendukung tim nasional Jerman yang dia bela. Pendukung yang semestinya mencintai Ozil justru menghina dan merendahkan dengan menyebut dirinya seorang imigran. Mantan pemain Real Madrid dan Arsenal itu berkewarganegaraan Jerman berdarah Turki.

Puncaknya terjadi ketika Jerman tersingkir dari fase grup Piala Dunia 2018 di Rusia. Ozil dikambinghitamkan oleh para fans dan para petinggi sepak bola Jerman. Dia tak dianggap orang Jerman karena penampilan buruk Der Panzer.

Ozil kesal karena setiap kali tim nasional Jerman bermain buruk, dirinya selalu dipanggil pesepak bola imigran. Dia akhirnya memilih pensiun dari tim nasional Jerman. Pencinta tipe ini cenderung hanya menerima kemenangan. Mereka tak terima tatkala klub kalah.

Mereka tak segan mengolok-olok, mencaci, atau tindakan negatif lain kepada pemain, pelatih, hingga manajemen tim yang mereka cintai. Saat tim meraih kemenangan, mereka menyanjung setinggi langit, terlebih tim yang dikalahkan adalah lawan bebuyutan.

Ketika tim menelan kekalahan, mereka meluapkan kemarahan dengan cacian atau komentar negatif lainnya. Selain secara verbal, pencinta dengan tipe ini juga tak segan melakukan kekerasan. Banyak nyawa suporter melayang akibat dikeroyok.

Melihat orang mengenakan jersey klub lain yang dibenci, seakan-akan itu membuat darah para pencinta buta ini mendidih. Ironinya, kekerasan antarsuporter sepak bola ini terus berulang. Mereka seperti tak belajar dari peristiwa yang sebelumnya terjadi. Cinta mereka terhadap klub menepikan akal sehat dan nalar.

Fanatisme terhadap tim sepak bola sah-sah saja, tetapi mestinya tak sampai mematikan akal sehat. Sebenarnya sepak bola menyimpan nilai luhur: persatuan. Nilai ini yang harus tertancap di sanubari para pencinta sepak bola.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 Desember 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya