SOLOPOS.COM - Karunia Indah Dinantiningrum (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Seperti tidak terdengar oleh publik, beberapa waktu lalu, tepatnya pada 13 Mei 2024, Komisi III DPR menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat satu untuk revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi.

Rapat bersama pemerintah itu diselenggarakan di tengah masa reses atau masa ketika para anggota DPR bekerja di luar gedung DPR menjumpai konstituen di daerah pemilihan masing-masing.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Masa reses ini digunakan para wakil rakyat untuk mendengar aspirasi masyarakat di daerah pemilihan masing-masing. Rapat yang digelar DPR tersebut dimaksudkan supaya revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi segera dibahas dalam rapat paripurna dan segera disahkan menjadi undang-undang.

Selama masa reses banyak fraksi DPR yang meminta penundaan pengesahan revisi undang-undang ini guna menghindari reaksi negatif dari berbagai pihak. Selain karena alasan tersebut, pengesahan revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi juga sempat terhalang penolakan dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia yang pada saat itu dijabat Moh. Mahfud Md.

Bila melihat kronologinya, Undang-undang Mahkamah Konstitusi telah mengalami perubahan tiga kali. Perubahan yang pertama disahkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011.

Perubahan yang kedua disahkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 yang kemudian dibatalkan karena membatasi kewenangan MK.

Perubahan yang ketiga disahkan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2020. Hanya empat tahun berselang, DPR bergerak lagi untuk merevisi undang-undang ini. Perlu kita curigai bersama apa yang dianggap sangat genting oleh pemerintah dan DPR sehingga perlu merevisi kembali Undang-undang Mahkamah Konstitusi.

Beberapa waktu yang lalu Mahkamah Konstitusi terjerat sengketa yang berhubungan dengan pemilihan presiden 2024. Dalam draf rancangan revisi undang-undang tersebut terdapat beberapa pasal yang perlu dikawal bersama, tidak hanya oleh lembaga pembentuk undang-undang, namun juga oleh masyarakat.

Ada beberapa pasal yang perlu disoroti dalam revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Pertama, Pasal 27A ayat (2). Pasal tersebut mengatur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) berjumlah lima orang, empat orang merupakan calon yang diusung oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.

MKMK berfungsi untuk mengawasi dan menegakkan kode etik serta pedoman perilaku para hakim konstitusi yang menjabat. Bila dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020, tepatnya pada Pasal 27A ayat (2), Komisi Yudisial (KY) berkesempatan mengusulkan satu orang untuk dapat maju sebagai calon hakim MKMK.

Bila undang-undang ini disahkan, peran Komisi Yudisial mengalami keterbatasan. Sebagai lembaga yang bertugas mengawasi hakim, bila rancangan undang-uncang ini disahkan akan mempertegas batasan bahwa Komisi Yudisial hanya dapat mengawasi hakim di tingkat “bawah” dan “menengah” saja.

Hal tersebut juga berpotensi Mahkamah Konstitusi menjadi lebih tertutup dan sulit untuk diawasi oleh masyarakat umum. Kedua, sebagai konsekuensi dari Pasal 23A ayat (1) yang menyatakan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi memiliki batas masa jabatan 10 tahun, Pasal 87 ayat (1) Rancangan Undang-undang Mahkamah Konstitusi menyatakan hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari lima tahun, namun kurang dari 10 tahun, hanya dapat melanjutkan jabatan setelah mendapat persetujuan dari lembaga pengusul yang berwenang.

Pasal ini membuka peluang bagi lembaga pengusul hakim konstitusi untuk “menyetir” kinerja hakim konstitusi. Apabila dirasa oleh lembaga pengusul hakim konstitusi yang diusung tidak menguntungkan kepentingan pihak-pihak terkait, hakim konstitusi tersebut bisa saja tidak lagi mendapat restu untuk melanjutkan jabatan.

Kejanggalan pasal ini juga disampaikan oleh Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna. Ia mempertanyakan lembaga yang berwenang menentukan seorang hakim konstitusi dapat terus menjabat. Terkait pasal ini, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti berpendapat celah untuk mengintervensi independensi hakim Mahkamah Konstitusi semakin lebar.

Pasal tersebut dipandang sebagai cara pemerintah dan DPR mengancam hakim konstitusi supaya membuat putusan yang sejalan dengan kepentingan lembaga pengusul. Selain terkait beberapa bunyi pasal yang mengandung kejanggalan, proses perumusan rancangan undang-undang ini dianggap janggal oleh sejumlah akademikus hukum tata negara.

Dalam proses banyak anggota DPR yang mengaku tidak tahu tentang pembahasan “secara diam-diam” rancangan undang-undang ini. Tampaknya rancangan undang-undang ini dibahas secara tertutup dan mengesampingkan pembahasan secara transparan.

Hal ini tentu menyeleweng dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menekankan tentang pentingnya meaningful participation dalam pembentukan undang-undang.

Giri Ahmad Taufik selaku pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menjelaskan meaningful participation harus berada pada pemberdayaan wakil rakyat untuk mewujudkan tiga syarat meaningful participation yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi.

Tiga syarat itu adalah hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban dari tanggapan yang disampaikan. Kita sebagai masyarakat perlu membuka mata selebar-lebarnya.

Mahkamah Konstitusi yang mengemban amanah untuk menjadi pelindung konstitusi atau the guardian of the constituiton harus berjalan pada independensi dalam melaksanakan tugas. Kita perlu membuka suara terkait kejanggalan-kejanggalan dalam perumusan undang-undang yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Jangan sampai kita lengah dan membiarkan pemerintah dan DPR menjadi pihak yang menghalalkan segala cara guna melegitimasi kepentingan mereka.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Juni 2024. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya