SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Suatu hari di salah satu sudut bangunan bertingkat di sekolahan tempat dia belajar, Ishaan menatap kosong pemandangan di sekitarnya. Dia panjat pagar pembatas, seolah-olah ingin melepaskan segala beban di benaknya.

Hari-hari Ishaan di sekolah dasar berasrama itu dipenuhi dengan olok-olokan teman-teman sekelasnya. Dia kesulitan mengenal huruf, apalagi belajar angka. Guru-gurunya memvonis dirinya bodoh dan malas.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Guru-guru memberikan hukuman verbal dan fisik akibat ketidakmampuan Ishaan mengikuti standar “pintar” dan “sopan” di kelasnya. Suatu hari, seorang guru seni, guru baru, bernama Ram Shankar Nikumbh mengidentifikasi sang bocah itu mengalami disleksia.

Dengan pendekatan sangat berbeda, Nikumbh mengubah total cara mendidik Ishaan dan member dia kesempatan menemukan potensinya. Nikumbh mengubah cara mendidik Ishaan dengan mengenali masalahnya, potensinya, dan solusinya; tanpa hukuman, apalagi kekerasan.

Plot dalam film Tare Zameen Paar (Like Stars on Earth) itu semestinya menjadi inspirasi dalam pendidikan di Indonesia. Film garapan Aamir Khan ini pernah populer karena berisi antitesis yang menggugat status quo pendidik dan orang tua dalam pendidikan.

Film Bollywood ini dirilis pada 2007, jauh sebelum Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi merumuskan dan memberlakukan Kurikulum Merdeka. Sangat disayangkan ketika hari-hari ini masih banyak guru yang mengeluhkan kondisi murid yang mereka hadapi.

“Mengajar sekarang jauh lebih sulit daripada dulu karena murid-murid sekarang lebih berani membantah dan bandel,” begitu kalimat yang kerap muncul dari kerabat saya, seorang guru berusia 50-an tahun.

Murid yang serbapintar, meraih skor tinggi dalam berbagai mata pelajaran, sopan, santun, dan selalu menuruti kata guru masih menjadi gambaran ideal yang diidamkan para guru. Murid yang tidak demikian dianggap bebal, malas, bodoh, atau nakal.

Cap-cap buruk itu dianggap biasa lalu menjadi alasan atau pembenaran saat guru melakukan tindak kekerasan. Logika inilah yang menjadi latar belakang kasus kekerasan di SMPN 1 Sawit, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah, belum lama ini.

Setidaknya demikianlah berdasarkan kronologi yang terekam dalam video yang menjadi viral tersebut. Sesaat sebelum kejadian, es teh yang dibawa sang murid tumpah di kelas. Cara sang murid membersihkan tumpahan itu tak sesuai harapan. Sang guru tak bisa menerimanya dan terjadilah tindak kekerasan.

Apa pun alasannya, tindak kekerasan di dunia pendidikan tak bisa dibenarkan. Aksi menampar anak yang terekam itu bukan hanya tergolong perbuatan pidana, melainkan juga mempertegas kerentanan anak mengalami tindak kekerasan oleh orang-orang yang semestinya memberikan pelindungan.

Ini sejalan dengan hasil analisis terhadap sampel berita kekerasan di media massa yang dirilis dalam publikasi berjudul Menelusur Jejak Kasus Kekerasan terhadap Anak di laman kemensos.go.id belum lama ini. Ada beberapa pola yang mirip dalam kasus-kasus kekerasan itu.

Pertama, kekerasan dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti orang tua, paman, ibu, dan orang-orang terdekat lainnya dalam keluarga. Kedua, kekerasan dilakukan di rumah dan di sekolah, tempat yang seharusnya anak merasa sangat nyaman.

Ketiga, kekerasan dilakukan kepada anak-anak. Keempat, peristiwa kekerasan terhadap anak terjadi di keluarga dengan permasalahan sosial atau keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah. Kelima, kekerasan dilakukan terhadap anak dengan keterbatasan kognitif dan mental serta anak-anak berusia di bawah lima tahun atau balita.

Pembiaran

Dalam kasus di SMPN 1 Sawit, kekerasan dilakukan oleh guru atau orang yang seharusnya menjadi subjek terdepan dalam pelindungan anak. Itu adalah amanat Pasal 54 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Demikian bunyi ayat (1) pasal tersebut. Dalam ayat (2), pelindungan itu dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat. Sayangnya, upaya menyelesaikan kasus tersebut juga menunjukkan rendahnya kemauan dan kemampuan para stakeholders pendidikan melindungi anak-anak.

Rendahnya kemauan dan kemampuan itu ditunjukkan sikap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Boyolali yang menganggap masalah itu telah selesai dengan mediasi. Alih-alih menjauhkan guru pelaku tindak kekerasan dari lingkungan sekolah demi mencegah berulangnya kekerasan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan justru menetapkan sang guru tetap mengajar di sekolah itu.

Tak peduli potensi trauma yang muncul dari korban atau anak-anak lain yang menyaksikan tindak kekerasan itu. Otoritas di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan cukup menyebut “tak ada trauma”. Klaim itu disampaikan tanpa pembuktian, termasuk asesmen psikologis terhadap korban. Kemudian muncul deklarasi sekolah ramah anak hanya beberapa hari setelah terjadinya kekerasan.

Setali tiga uang, aparat kepolisian tidak menggunakan kacamata pelindungan korban dalam penyelesaian kasus tersebut. Ini ditandai dengan dorongan agar kasus diselesaikan melalui mediasi antara pelaku dan korban dengan alasan restorative justice.

Logika dalam mediasi ini bermasalah setidaknya dalam dua hal. Pertama, dalam praktik hukum, restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada proses dialog dan mediasi melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.

Konsep restorative justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp2,5 juta. Sedangkan dalam kasus kekerasan terhadap anak, berdasarkan Pasal 80 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang, ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak bisa mencapai tiga setengah tahun penjara.

Kedua, mediasi dalam kasus kekerasan terhadap kelompok rentan, termasuk anak dan perempuan, berpotensi menghasilkan bias. Ini karena relasi kuasa antara pelaku dan korban yang tidak setara.

Pertanyaan pokoknya, keadilan macam apa yang bisa terwujud saat menghadirkan dua pihak yang tidak setara berhadap-hadapan? Tak ada sanksi pidana, tak ada pula sanksi administratif yang dijatuhkan, sehingga pelaku bebas melenggang. Kekerasan serupa berpotensi berulang jika pembiaran terus berlanjut dan dianggap biasa.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 November 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya