SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Saya berada di sebuah kelas yang membahas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Saya menjadi fasilitator. Puluhan guru SMPN di Kota Solo sebagai peserta. Pada salah satu sesi saya meminta pendapat sejumlah guru dari kelompok minoritas agama tentang Kota Solo sekarang.

Seorang guru perempuan mengatakan Kota Solo telah berubah, makin nyaman. Saya tertegun. Empat tahun berlalu. Guru itu mengaku masih mengingat peristiwa yang membuat dirinya sangat sedih dan sakit hati.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Peristiwa tersebut tidak bisa hilang dari memori, demikian katanya. Peristiwa yang membuat dirinya sakit hati tersebut adalah unjuk rasa kelompok tertentu yang memprotes desain paving di Jl. Jenderal Sudirman, Kota Solo, yang lokasinya berdekatan dengan gereja dan Balai Kota Solo.

Kelompok itu menganggap desain paving di Jl. Jenderal Sudirman mirip simbol agama tertentu. Kelompok tersebut juga memprotes keras desain itu dan menuntut pembongkaran paving.

Perempuan itu tidak menyangka protes dari kelompok tersebut dikabulkan Pemerintah Kota Solo. Paving yang telah terpasang rapi dibongkar. Bagaimana komitmen Pemerintah Kota Solo melindungi kelompok minoritas kalau protes yang hanya berbasis asumsi, yang sangat lemah landasannya, yang sangat sumir, justru didengar dan dikabulkan? Begitu kira-kira gugatan perempuan guru itu.

Baca Juga: Anggaran Ngopi

Kondisi Jl. Jenderal Sudirman saat ini begitu berbeda. Situasinya sekarang benar-benar berlawanan dengan kondisi beberapa tahun lalu sehingga ia mengucapkan syukur.

Saat ini, Jl. Jenderal Sudirman bukan hanya menjadi representasi agama mayoritas, namun juga agama minoritas, dan bahkan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

“Saya merasa dilihat, diperhatikan, dihargai, dan diakui,” begitu dia mengungkapkan kelegaan perasaannya.

Kelegaan guru tersebut menular kepada saya yang termasuk dalam kelompok agama mayoritas. Saya menyadari jarang sekali mendengarkan suara yang berbeda dan momentum itu benar-benar berharga untuk saya.

Dari suara perempuan itu, saya kini tidak hanya melihat Jl. Jenderal Sudirman sebagai lokasi balon-balon Sinterklas ditancapkan, nuansa Bali saat Hari Raya Nyepi, deretan shio ketika Tahun Baru Imlek tiba, atau ketupat ketika Hari Lebaran, namun lebih dari itu semua, yaitu representasi semua warga secara setara.

Simbol-simbol itu memberikan makna mendalam mengenai kehadiran, eksistensi, pengakuan, dan bagian dari kelompok besar. Konsep salad bowl, semacam gado-gado, yang menggambarkan keberagaman dengan tetap memperlihatkan unsur-unsurnya kini lebih bisa saya rasakan.

Entitas baru yang terdiri atas berbagai macam warna sayuran tetaplah berupa masakan lezat-sehat yang layak disantap. Konsep ini menyempurnakan ideologi sebelumnya, melting pot, yang saya bayangkan sebagaimana bubur ayam–situasinya menjadi lebih mirip dengan memori saat pembongkaran paving terjadi.

Keterpaduan sekadar memuaskan hasrat mayoritas dan meminggirkan minoritas. Melting pot terjadi ketika kelompok minoritas melebur dalam kelompok mayoritas sehingga identitas mereka hilang sama sekali.

Meski sama-sama menghasilkan persatuan dan keterpaduan, ada unsur pemaksaan yang ternyata menyakitkan di situasi seperti itu. Pengakuan perihal sakit hati memang terngiang-ngiang di kepala saya. Itu jarang saya dengar, kenali, pahami, dan makin kompleks lagi, saya antisipasi.

Sebuah konflik negatif–saya membedakannya dengan konflik positif dengan ujung saling memahami dan bahkan kolaborasi—akan selalu meninggalkan luka fisik apabila melibatkan kekerasan dan luka batin (untuk konflik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan).

Luka fisik lebih mudah dilihat sehingga sering kali menjadi pembahasan meluas di media massa maupun media sosial. Yang sering kali luput dari perhatian adalah luka batin dalam bentuk sakit hati hingga pada derajat tertinggi berupa dendam yang menuntut pembalasan.

Saya pikir luka batin ini menjadi lebih berbahaya karena durasinya sangat lama dan sungguh tak terduga. Siapa yang bisa melihat isi hati seseorang? Tentu saja tidak ada, kecuali Tuhan. Dendam adalah akar yang sangat kuat untuk meneruskan spiral kekerasan tanpa ujung.

Dendam tidak pernah bisa diprediksi kapan dituntaskan, di mana eksekusinya, atau siapa yang akan menjadi korban. Spiral kekerasan ini tidak akan berhenti apabila eksklusivitas dan radikalisme tidak mendapat perhatian khusus pemerintah dan masyarakat yang toleran.

Seperti yang disebut broken windows theory bahwa pembiaran atas ”kejahatan-kejahatan” kecil akan melahirkan kejahatan besar pada waktunya nanti. Saya berharap negara kita menyadari bahwa bahaya ekstremisme beragama bukan pada terorisme yang melibatkan kekerasan, namun sejak eksklusivitas terjadi karena langsung berkaitan dengan umat yang berbeda keyakinan maupun pemahaman dalam sebuah negara.

Saya tidak pernah sepakat bahwa toleransi beragama selalu mengarah pada sekularisme. Keduanya berbeda. Saya akan tetap menjadi muslim meski saya memiliki teman atau saudara yang beragama lain karena bagi saya menerima/memahami sangat berbeda dengan menyetujui.

Ada kecenderungan sejak dulu, ditambah dengan makin masifnya media sosial, orang-orang hanya mau mendengarkan hal-hal yang mereka setujui dan segera menyingkirkan hal-hal yang tidak mereka setujui.

Akibatnya, mereka tak pernah belajar memahami orang lain. Sikap dangkal inilah yang menurut saya sering kali menciptakan persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, saat saya tidak menyetujui perbuatan pencuri, sikap saya itu tidak akan saya jadikan penghalang untuk belajar memahami perbuatan si pencuri.

Upaya mendengarkan pihak yang bersalah akan membuat saya belajar bahwa tidak ada kebenaran murni dan kesalahan murni dalam bentuk oposisi biner di dunia. Ini lebih pada entitas spektrum yang lebih luas dan lebih berwarna.



Meski saya melihat kesalahan pencuri itu sebesar 80%, hal-hal yang terasa benar juga akan muncul sebesar 20%. Meski ketidaksetujuan saya atas perbuatannya mencapai 80%, namun ada 20% alasan yang patut dan layak saya dengarkan.

Saya pikir inilah esensi hidup: memahami dan memaknai segala hal di sekitar kita, bukan hanya berpegangan erat pada simbol-simbol secara membabi buta tanpa pikiran kritis. Seperti Albert Einstein mengatakan ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Januari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya