SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Belum hilang dari ingatan kasus penghancuran bekas Pabrik Es Saripetojo serta penolakan kuat masyarakat Solo terhadap pembangunan mal. Setelah penolakan penghancuran Saripetojo dan rencana pembangunan mal, Walikota Solo Joko Widodo (Jokowi) menegaskan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo tidak akan mengizinkan investor mendirikan mal di Solo demi melindungi pedagang kecil dan pasar tradisional.

Kini, seperti yang diberitakan, Jokowi bersemangat menyambut rencana pembangunan Trans Studio. Jokowi selalu memperlihatkan optimisme dan harapan agar Chairul Tanjung benar–benar membangun Trans Studio di Solo.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Trans Studio merupakan jaringan taman bermain terbesar di Indonesia yang dikelola Trans Corp milik Chairul Tanjung. Taman bermain ini memiliki berbagai macam wahana dengan tema seperti program-program acara di Trans TV dan Trans 7. Di dalam Trans Studio ada food court dan toko yang menjual beragam produk. Harga tiket masuk Trans Studio Bandung pada Senin-Jumat Rp 150.000 dan Rp 200.000 pada Sabtu-Minggu serta hari libur. Ada juga akses VIP dengan harga lebih mahal serta fasilitas pembayaran yang didukung bank yang satu grup dengan bisnis yang dikelola Chairul Tanjung.

Mengapa Trans Studio tertarik berinvenstasi di Solo? Solo memiliki keunikan yang bisa dijual di pasar global. Dunia pun sudah tahu apa dan bagaimana eksistensi Solo yang memang diproyeksikan sebagai pusat ekonomi dan perdagangan seperti Singapura mini. Pemerintah yang pro investasi, pasar tradisional yang nyaman dan bersih, bandara internasional, terjaganya kampung-kampung budaya berikut festival tahunan, kirab budaya serta potensi wisata lainnya akan dimanfaatkan oleh Trans Studio. Harapannya, tidak sulit bagi Trans Studio untuk memasarkan dirinya sebagai indoor theme park terbesar di dunia melalui Kota Solo.

Jokowi beralasan Trans Studio dibangun untuk menyemarakkan Solo bagian utara. Pertanyaannya, jika Trans Studio dianggap sebagai representasi pembangunan untuk menyemarakkan Solo, sudah siapkan pemerintah dan masyarakat dengan dampak sosial dan budayanya?

Dipastikan banyak konsekuensi yang muncul saat Trans Studio hadir di tengah–tengah masyarakat, misalnya budaya konsumerisme yang meningkat. Sebagai pembanding, wahana rekreasi modern seperti game centre yang biasa kita temui di mal sudah menjadi candu. Uang ratusan ribu rupiah bisa ludes dalam hitungan jam demi memuaskan diri menjajal berbagai permainan ketangkasan modern itu.

Gegar budaya
Selain meningkatkan konsumerisme, gegar budaya dan kecemburuan sosial dipastikan membayangi modernisasi. Kita bisa belajar dari berita–berita di internet dan kenyataan ada kesenjangan sosial melalui pembatasan pengunjung theme park dari mahalnya harga tiket saat Trans Studio Bandung dan Makassar diluncurkan.

Dalam literatur yang membahas theme park, harga tiket yang mahal tidak bisa dipandang murni sebagai penghitungan biaya produksi ditambah keuntungan. Ada unsur penyeleksian khalayak untuk menjamin keamanan status sosial tertentu yang terkandung dalam harga tiket. Dalam Theming of America atau Culture on Display, penulisnya menyebutkan jaminan ilusi keamanan berlebihan yang ditawarkan mal dan pusat kegiatan hiburan lain seperti theme park membuat mal dan theme park menencegah keikutsertaan khalayak yang tidak sekelas dengan khalayak yang mereka sasar sebagai segmen.

Harga adalah hambatan ekonomi dan psikologi yang paling ampuh untuk menyeleksi kelas. Dampaknya kecemburuan sosial pasti tercipta. Kalau sudah begini, mulailah tercipta segmentasi penikmat hiburan, bagi yang mampu silakan masuk ke Trans Studio sedang yang mencari taman hiburan untuk rakyat bisa ke Taman Satwa Taru Jurug.

Konsekuensi lain dari modernisasi adalah munculnya problematika sosial seperti kecemburuan sosial, kemacetan lalu lintas, angka kriminalitas, polusi udara dan suara serta masalah lainnya. Dari berbagai dampak sosial yang dikhawatirkan muncul, adakah yang berbeda dengan alasan penolakan pembangunan mal di Solo? Itu belum termasuk tudingan bahwa pembangunan Trans Studio nantinya melemahkan kekuatan budaya dan seni Kota Bengawan.

Kelak banyak orang datang ke Solo bukan untuk menonton ketoprak, wayang, sendratari, tetapi hanya untuk antre masuk Trans Studio. Ide brilian justru datang dari Wakil Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo yang berharap dalam kasus Saripetojo pemerintah provinsi membangun pasar seni yang menyediakan berbagai macam barang seni misalnya batik, barang-barang antik dan hasil kerajinan tangan. Ide ini seharusnya menyentak kesadaran kita. Aneh juga Solo yang selama ini dikenal sebagai kota budaya, malah zonder pasar seni.

Menguntungkan siapa?
Pembangunan hotel, mal dan apartemen di Solo yang semakin marak telah diimbangi Pemkot dengan menghidupkan Ngarsopuro, bus tingkat Werkudara, Sepur Kluthuk Jaladara, railbus, Taman Balekambang, kampung batik, Pasar Klitikan, Galabo dan berbagai fasilitas umum baru lainnya. Adakah kita sebagai warga Solo pernah bertanya, apakah kehadiran simbol–simbol baru Solo tersebut dinikmati oleh masyarakat Solo sendiri, terutama wong cilik?
Galabo misalnya, setelah berulang kali menyambangi kawasan ini, saya menyimpulkan Galabo bukan tempat jajan sembari santai untuk wong Solo. Galabo hanya cocok untuk orang yang kebetulan pelesiran di Solo. Faktanya semakin hari tempat ini semakin sepi. Selama ini tampaknya masyarakat banyak menanggung beban sosial dari sebuah kebijakan publik yang dibuat pemerintah.

Kembali ke rencana pembangunan Trans Studio, jangan sampai pembangunan hanya menguntungkan investor belaka. Kalau mau jujur, saat ini mulai terasa banyak aspek sosial budaya yang tidak nyambung dengan modernisasi. Mulai dari arsitektur bangunan sampai gaya hidup yang rawan bergesekan. Coba kita lihat bangunan–bangunan yang menjulang, aktivitas mal, reklame kota yang marak, jalanan yang mulai macet, parkir yang semerawut, pudarnya harmonisasi antarindividu yang semuanya nyaris mengubur wajah asli Kota Solo. Ke mana konsep Solo Kota Budaya boleh bercokol?

Trans Studio, theme park milik pengusaha Jakarta itu, bisa jadi mengubah Kota Solo seolah-olah metropolis dan magnet rekreatif. Mengapa disebut mengubah? Sebab kota Solo pada dasarnya dari aspek sejarah, budaya, politik, ekonomi, infrastruktur dan keadaan sosial bukanlah kota metropolis dan berciri pusat kota yang glamor. Jokowi dalam suatu wawancara dengan media massa memproyeksikan pengunjung Trans Studio akan datang dari semua wilayah Jawa Tengah dan separuh dari Jawa Timur. Apalagi didukung dengan terwujudnya jalan tol Solo.

Tulisan ini tidak bermaksud menolak ide Jokowi untuk membangun Trans Studio, namun semata–mata mengingatkan agar niat mulia Jokowi untuk membangun Solo tidak menjadi sia–sia dan menyisakan dampak sosial yang kelak ditanggung masyarakat Solo. Permasalahan infrastruktur dan dampak sosial bukan permasalahan yang gampang. Ini persoalan serius, menantang, kompleks dan mahal. Hal yang paling mengerikan tentu saja apabila Trans Studio tetap berdiri sementara pemerintah dan swasta tidak bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah agar keseimbangan target wisata, keberadaan warga lokal dan lingkungan asli tetap terjaga. Jangan sampai Trans Studio hanya menjadi monumen gaya hidup dan modernisasi yang tidak ramah pada warga asli serta gagal menjaring pendapatan dari luar daerah.

Konsekuensi pemerintah
Apa pun problem sosialnya, pasti ada solusi, asal Pemkot Solo sigap. Setiap dampak sosial harus dikalkulasi dan disiapkan solusinya. Pertama, jika investasi menjamin terserapnya warga sekitar untuk mendapatkan pekerjaan, hal ini bisa meredam gejolak sosial yang timbul. Trans Studio Bandung mampu menyerap 1.200 tenaga kerja. Ini bisa jadi harapan bagi para pencari kerja di Solo.

Kedua, pembangunan tersebut mampu menggerakkan perekonomian masyarakat lokal. Salah satunya mengakomodasi pedagang kaki lima (PKL). Jadi bukan hanya dimonopoli unit bisnis dari investor, mulai lahan parkir, kantin sampai kios–ios penjual suvenir. Ketiga, pembangunan tidak mengganggu lingkungan hidup. Seharusnya pembangunan semodern apa pun tidak merusak ekologi, misalnya sampai mengurangi kandungan air pemukiman, mengurangi lahan hijau dan pepohonan, meningkatnya polusi udara terutama di sekitar kawasan yang dibangun sampai banjir karena berkurangnya resapan air.

Keempat, pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana pendukung berupa jalan yang layak, lahan parkir, akses transportasi umum termasuk menjamin ketertiban dan keamanan bagi masyarkat. Kekurangmatangan infrastruktur sebuah proyek bisa jadi bumerang. Jangan sampai investor dan pemerintah sibuk berbulan madu, namun pekerjaan rumah melayani masyarakat terbengkalai.

Kelima, ada fakta kehadiran Trans Studio betul–betul keinginan masyarakat. Sehingga di kemudian hari masyarakat bisa mendapat manfaat nyata. Seharusnya lebih banyak manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, Trans Studio adalah proyek kelas dunia yang akan semakin menguatkan citra Solo sebagai kota tujuan wisata. Trans Studio akan menjadi wahana pencitraan Solo ke khalayak yang lebih luas yang tentu saja akan menguntungkan bidang ekonomi dan turisme.

Kedua, gencarnya siaran dari Trans Studio yang dipancarkan ke pelosok Nusantara dan dunia merupakan langkah pemasaran kota Solo yang akan menghadirkan buzz atau word of mouth menguntungkan. Trans Studio adalah indoor theme park terbesar di dunia. Saat mereka melakukan promosi internasional, nama Solo akan disebutkan di samping kota Bandung dan Makassar. Wisatawan domestik akan tertarik datang ke Solo tidak hanya untuk menikmati Trans Studio tetapi juga Solo secara keseluruhan.

Kita bisa kembali mengingat inti dari tulisan ini, sudah siapkah masyarakat Solo dengan dampak sosial setiap investasi dan pembangunan modern? Yahoo Indonesia pernah menayangkan tulisan menarik tentang tujuh kota impian baru di Indonesia. Ternyata Kota Solo menduduki urutan teratas bersanding dengan Surabaya, Semarang, Balikpapan, Palembang dan Batam.

Alasannya kota–kota ini nyaman bagi warganya. Fasilitas pendidikan murah dan beragam, transportasi memadai ke seluruh penjuru wilayah, birokrasi pemerintahan tidak berbelit-belit, makanan beragam dan murah meriah, kebudayaan masih asli, ramah-tamah penduduk asli yangg mampu berdampingan dengan etnis lain maupun pendatang dan kemudahan pihak-pihak dalam negeri atau asing untuk berinvestasi.

Inilah yang patut dikhawatirkan seluruh masyarakat Solo. Jika semakin banyak investasi dan pembangunan di Solo sampai menenggelamkan wajah asli kota ini, lantas apa yang bisa dibanggakan dari Kota Solo? Kebijakan Jokowi menolak mal boleh diacungi jempol. Bayangkan mereka yang tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya memilih Solo sebagai tempat yang menyenangkan untuk melepaskan stres dari hiruk-pikuk kota, malah kecele ketika sampai di Solo menemui hal sama yang mereka hindari dari kota besar: mal, kemacetan, kebisingan dan perilaku antisosial. Semoga Solo tidak kehilangan identitas.

Achmad Syukri Prihanto, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan STPMD Yogyakarta, tinggal di Solo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya