SOLOPOS.COM - Syukron Mahmudi (Solopos/Istimewa)

 Solopos.com, SOLO – Keliaran  konten media sosial tidak dapat dibatasi lagi, kecuali konten yang berunsur sentimen suku, agama, ras, golongan, atau pornografi. Konten liar yang saya maksud di sini ialah konten-konten satire atau sindiran dari kelompok satu kepada kelompok yang lain.

Konten satire tentu saja lolos dari kebijakan dan ketentuan ­yang sudah ditentukan pemerintah atau privacy and policy ­platform media sosial seperti halnya Instagram dan TikTok karena satire bukan ujaran kebencian.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Akhir-akhir ini saya beberapa kali berjumpa dengan konten satire yang mengatasnamakan mahasiswa kupu-kupu atau kuliah pulang-kuliah pulang dan ditujukan kepada mahasiswa kura-kura atau kuliah rapat-kuliah rapat.

Dalam konten tersebut mahasiswa kupu-kupu menyinggung ihwal masa depan mahasiswa kura-kura yang dalam asumsi mereka mahasiswa kura-kura tidak peduli tentang IPK atau indeks prestasi kumulatif, hanya mementingkan rapat-rapat di aktivisme mahasiswa.

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa mahasiswa kupu-kupu melandaskan masa depan pada nilai dan ijazah. Anggapan-anggapan seperti itu sah-sah saja karena tidak ada yang dirugikan dalam pelontaran opininya.

Yang bermasalah di sini ialah warganet yang notabene menyandang label mahasiswa kupu-kupu ketika mengonsumsi konten seperti itu akan terangkat dari tidur untuk menyetujui konten lalu dihiasi dengan cibiran-cibiran terhadap mahasiswa kura-kura melalui kolom komentar.

Tidak dapat dimungkiri bahwa kolom komentar di konten tersebut menjadi ladang perdebatan antara mahasiswa kupu-kupu dan mahasiswa kura-kura. Jika hanya sebatas adu argumentasi tidak ada masalah, namun yang sangat disayangkan terdapat ujaran-ujaran kebencian dari mahasiswa kupu-kupu atau dari mahasiswa kura-kura.

Justru ujaran kebencian tersebut dapat menimbulkan perkelahian yang bisa jadi berlanjut ke kolom DM atau direct message. Saya langsung teringat dengan penyakit sosial orang Indonesia, yaitu stereotyping atau pelabelan.

Maraknya perkelahian-perkelahian di Indonesia sebenarnya berawal dari perkataan yang melabeli seseorang dengan asumsi pribadi. Misalnya dari mahasiswa kupu-kupu dengan asumsi melabeli bahwa semua mahasiswa kura-kura menyebabkan stagnansi kelulusan di kampus.

Menumpuknya mahasiswa-mahasiswa lama dikarenakan mahasiswa kura-kura yang lebih mementingkan organisasi daripada kuliah. Sedangkan sosok mahasiswa kura-kura yang IPK-nya masih terjaga tidak terima dengan label yang diberikan oleh mahasiswa kupu-kupu karena hal itu tidak dapat dipukul rata.

Pembuktiannya adalah pribadi yang bisa lulus dengan kategori cumlaude. Mahasiswa kupu-kupu juga tidak teruma akan label negatif yang dilontarkan oleh mahasiswa kura-kura, misalnya mahasiswa kupu-kupu pemalas, apatis pada lingkungan sekitar. Maka dari itu, mahasiswa sebagai agent of change tidak relevan lagi disebabkan mahasiswa kupu-kupu.

Sosiohistoris

Masih ingat dengan peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974? Peristiwa yang menyulut kemarahan rezim Orde Baru karena demonstrasi mahasiswa menolak kebijakan ekonomi liberal Presiden Soeharto yang berkoalisi dengan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei untuk menanam modal asing.

Akibatnya banyak mahasiswa yang merupakan massa aksi Malari ditangkap aparat keamanan. Gerakan mahasiswa tersebut tentu menimbulkan rasa trauma di benak Soeharto. Maka dari itu, ia mengeluarkan keputusan tentang penerapan NKK  atau Normalisasi Kehidupan Kampus dan BKK atau Badan Koordinasi Keorganisasian.

Mahasiswa menilai bahwa keputusan Soeharto tentang NKK/BKK adalah sebentuk keputusan tercacat sepanjang sejarah karena membatasi habitus mahasiswa untuk berdiskusi, membaca, menulis, dan mengadakan forum-forum intelektual di luar mata kuliah yang ditentukan kampus.

Sejak penerapan NKK/BKK tersebut mahasiswa jalanan beranjak menduduki bangku-bangku di kelas perkuliahan, namun tidak sedikit yang masih melaksanakan rutinitas diskusi di luar kampus seecara diam-diam sampai mencapai puncak kemarahan aktivisme mahasiswa pada Mei 1998 yang meruntuhkan otoritas dan kekuasaan Soeharto.

Setelah gerakan mahasiswa pada 1998 tersebut, setelah gerakan reformasi 1998, mahasiswa merasa aman berada di bawah kekuasaan yang baru. Mereka memutuskan menyelesaikan perkulihan dan kembali ke bangku di kelas-kelas perkuliahan masing-masing.

Berangkat dari situlah sedikit demi sedikit mulai eksis perkubuan mahasiswa seperti mahasiswa kupu-kupu dan mahasiswa kura-kura. Seiring berjalannya waktu mahasiswa berada di kelas kuliah, dosen-dosen mulai ikut membenci eksistensi mahasiswa organisatoris atau aktivis (kura-kura) karena tidak memprioritaskan mata kuliah.

Dalam buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudoiri (2017) terdapat tokoh dua bersaudara dengan passion yang berbeda. Tokoh yang bernama Asmara Jati, adik kandung Biru Laut, adalah tipikal akademikus. Ia sangat berambisi terhadap perkuliahannya karena ingin menjadi dokter.

Sedangkan di sisi lain Biru Laut yang merupakan kakak kandung Asmara Jati adalah tipikal mahasisiswa berjiwa aktivis. Ia berambisi terhadap gerakan mahasiswa pada saat itu untuk menumbangkan rezim Orde Baru.

Perbedaan tipe dalam satu keluarga Arya Wibisono, bapak Asmara Jati dan Biru Laut, bukan menjadikan konflik meskipun ada beberapa perdebatan antara dua bersaudara itu terkait perkulihan. Itu sebatas adu argumentasi dan bisa dibilang dinamika antarsaudara kandung.

Buktinya, menjelang akhir cerita, Asmara Jati membantu membereskan urusan kuliah kakak kandungnya, Biru Laut, karena Biru Laut masih dalam pelarian karena menjadi buron aparat keamanan dan tidak bisa berkeliaran bebas di ruang publik untuk melaksanakan sidang akhir perkuliahan.

Jika mahasiswa hari ini meneladani lisah di buku Laut Bercerita, betapa indahnya siklus kehidupan di kampus. Jangan-jangan mahasiswa hari ini merupakan manifestasi pemikiran rezim Orde Baru dengan mengisi konten-konten provokatif antardua belah kubu. Sungguh sangat mengerikan sekali.

Tidak, tidak. Kita tanggalkan dulu perandaian seperti itu. Kita sepakati dulu bahwa secara sosiohistoris gerakan mahasiswa, perkubuan-perkubuan itu, lahir dari rahim yang sama, yakni rahim rezim Orde Baru.

Selama Orde Baru berkuasa tidak ada kebijakan-kebijakan yang nyleneh dan justru mahasiswa aktivis tidak mengadakan rapat alias semua mahasiswa hanya kuliah pulang-kuliah pulang.



Perdebatan-perdebatan antardua belah kubu mahasiswa sudah tidak pantas lagi untuk diteruskan dan diwariskan kepada generasi mahasiswa selanjutmya. Perdebatan itu hanya menjadi lelucon belaka. Pada rezim sekarang hanya satu kata yang diperlukan seluruh mahasiswa, yakni kata ”lulus”.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Februari 2023. Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Latee dan mahasiswa Fakultas Adab dan Bahasa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya