SOLOPOS.COM - Naufal Azaki (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Berlakunya  sistem otonomi daerah dan desentralisasi saat ini membuat hampir seluruh urusan pemerintahan ada di tangan pemerintah daerah, kecuali urusan absolut seperti politik luar negeri hingga agama yang sepenuhnya otoritas pemerintah pusat.

Desentralisasi memang mendekatkan pemerintah/layanan publik kepada masyarakat. Seyogianya pembicaraan mengenai pembangunan dan politik tidak hanya terfokus pada pemilihan presiden dan kelanjutan atau berubahhnya program pembangunan nasional, melainkan juga laku kerja pemerintah daerah dalam pembangunan daerah.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Daerah Soloraya atau sering disebut Subosukawonosraten (Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Klaten) adalah kawasan yang menyumbang rata-rata 37% produk domestik regional bruto atau PDRB Jawa Tengah dalam kurun waktu 2014-2022.

Kue ekonomi ini terbilang besar mengingat kawasan ini hanya terdiri tujuh daerah dibanding total 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Pada 2022 pertumbuhan ekonomi semua daerah di Soloraya mencapai lebih dari 5%; capaian yang menggembirakan dengan pertumbuhan tertinggi diperoleh Kabupaten Boyolali (6,33%) dan Kota Solo (6,25%).

Melihat pembangunan dari pertumbuhan ekonomi saja tentu tidak cukup. Harus melihat sejauh apa kualitas dan dampak yang dihasilkan. Proksi yang jamak digunakan dalam melihat ini adalah indeks pembangunan manusia (IPM).

IPM mencerminkan akses kesehatan yang dilihat dari usia harapan hidup, akses pendidikan yang dilihat dari rata-rata lama sekolah (RLS) dan harapan lama sekolah (HLS), serta ekonomi yang dilihat dari apakah pendapatan mencerminkan standar hidup layak.

Pada 2022 secara rata-rata daerah Soloraya mencapai IPM 76,46 dan berada di atas rata-rata Jawa Tengah  yang sebesar 72,79 dan rata-rata nasional 72,91. Meskipun demikian, masih ada beberapa hal yang perlu dicermati.

Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Sragen memiliki IPM terendah, masing-masing sebesar 71,04 dan 74,65, sementara Kota Solo mencapai 83,08 yang menunjukkan gap sangat lebar. Pada aspek pendidikan kondisinya tidak jauh berbeda.

Tercatat hingga tahun 2022, RLS terendah berada di Kabupaten Wonogiri (7,42 tahun) dan Kabupaten Sragen (7,79 tahun). Keduanya menjadi daerah di Soloraya yang memiliki penduduk usia 25 tahun ke atas yang hanya menempuh pendidikan selama 7,42 tahun atau 7,79 tahun, hampir menamatkan kelas VIII SMP.

Daerah lain sudah di atas delapan tahun dengan capaian tertinggi diperoleh Kota Solo (10,92 tahun), Kabupaten Sukoharjo (9,62 tahun), dan Kabupaten Klaten (9,09 tahun). Kondisi yang cukup mengkhawatirkan mengingat saat ini pemerintah telah mendorong wajib belajar 12 tahun, namun untuk wajib belajar sembilan tahun saja belum tercapai.

Pada 2021 masih ada tiga daerah yang sekolah dasar dengan akreditasi A di bawah 25%, yaitu Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Boyolali, sementara yang lain telah di atas 40%. Pada tingkat SMP, daerah dengan tingkat akreditasi A di atas 70% baru dicapai Kota Solo dan Kabupaten Karanganyar.

Mengapa ini penting? Pendidikan berpengaruh besar dalam menurunkan ketimpangan dan perbedaan tingkat pendidikan berimplikasi pada produktivitas yang akhirnya memengaruhi pendapatan (Castelló dan Doménech, 2002; Nakamura dan Murayama, 2011).

Beralih pada soal kesehatan yang tercermin dalam angka harapan hidup (AHH), Soloraya memiliki capaian yang tinggi pada 2022, sebesar 76,89, dibanding rata-rata nasional (71,85) dan Jawa Tengah (74,57).

Jika dibandingkan antardaerah, Kabupaten Sragen menempati peringkat paling rendah dalam AHH, hanya mencapai 75,87, sementara daerah lain telah berada di atas nilai 76. Pada aspek prevalensi stunting yang menjadi agenda prioritas nasional, berdasarkan data survei status gizi Indonesia (SSGI) 2022, Kabupaten Sragen mencatatkan angka stunting terbesar yang mencapai 24,30% dan bahkan termasuk ke dalam 10 daerah dengan stunting tertinggi di Jawa Tengah.

Stunting terendah berada di Kota Solo (16,20%), Kabupaten Wonogiri (18,00%), dan Kabupaten Klaten (18,20%). Kejadian rendahnya capaian Kabupaten Sragen di dua indikator kesehatan ini perlu dicermati oleh pemerintah daerah setempat; begitu pula daerah lain yang perlu terus meningkatkan kinerja sektor kesehatan.

Pada pendapatan per kapita, Kabupaten Wonogiri mencatatkan posisi terendah yang hanya sebesar Rp9.780; jauh dibandingkan dengan Kota Solo (Rp15.463), Kabupaten Boyolali (Rp13.250), dan Kabupaten Sragen (Rp13.052).

Aspek ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi kemiskinan. Bank Dunia dalam laporan kajian terbaru Indonesia Poverty Assessment 2023 menemukan ada pergeseran konsentrasi kemiskinan dari perdesaan ke kota. Lantas, bagaimana dengan Soloraya?

Di Soloraya, hanya Kabupaten Sragen dan Kabupaten Klaten yang tingkat kemiskinannya masih di atas dua digit. Kabupaten Sragen pada 2022 kemiskinannya mencapai 12,94% sementara Kabupaten Klaten mencapai 12,33%.

Pada 2015, semua daerah Soloraya kecuali Kabupaten Sukoharjo memiliki kemiskinan di atas dua digit, namun pada 2022 tinggal Kabupaten Sragen dan Kabupaten Klaten yang masih belum mencapai satu digit. Kondisi ini menggambarkan belum efektifnya program pengentasan kemiskinan.

Salah satu upaya yang mungkin perlu didorong ialah peningkatan upah minimum regional (UMR). Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, dalam 10 daerah dengan UMR terendah se-Indonesia pada 2023, dua di antaranya berada di Soloraya.

Kabupaten Wonogiri berada di urutan terendah kedua dengan UMR sebesar Rp1.968.448 dan Kabupaten Sragen berada di urutan terendah ketiga dengan UMR sebesar Rp1.969.569. Kenaikan UMR juga tidak dapat dilakukan tanpa mendorong produktivitas sektor ekonomi daerah sehingga keduanya harus berjalan secara linear.

Sejauh mana kualitas APBD dan belanja pemerintah daerah di Soloraya? Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.07/2022 tentang Peta kapasitas fiskal daerah (KFD) menggambarkan mayoritas daerah Soloraya mengalami kapasitas/kemampuan fiskal yang cukup memprihatinkan.

Terdapat empat daerah dengan KFD sangat rendah, yaitu Kabupaten Wonogiri (0,665), Kabupaten Sragen (0,982), Kabupaten Karanganyar (0,999), dan Kabupaten Klaten (1,081). Dua daerah dengan KFD rendah yakni Kabupaten Sukoharjo (1,302) dan Kabupaten Boyolali (1,329) sementara Kota Solo berada di KFD sedang, yakni sebesar 1,800.

Di tengah rezim otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal sebagai konsekuensinya maka kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan daerah sekaligus kualitas belanja sangatlah penting.



Kondisi Soloraya yang mayoritas buruk dalam KFD tentu perlu atensi bersama; apakah selama ini belanja pemerintah daerah telah diarahkan untuk yang prioritas? Atau alih-alih hanya untuk kegiatan seremonial yang tidak berkontribusi pada kesejahteraan?

Mendorong Kemajuan

Berangkat dari berbagai soal dan pembacaan data di atas sekaligus kaitannya dengan pemiluhan kepala daerah serentak pada 2024, saya menawarkan dua gagasan. Pertama, partai politik dan para calon anggota legislatif maupun calon pemimpin eksekutif harus menawarkan program perubahan/perbaikan yang berbasis kajian akademis, bukti, dan data.

Ini dapat dimulai dengan mengadakan sekolah/pelatihan kebijakan publik bagi para calon anggota legislatif dan calon pemimpin eksekutif dengan menggandeng akademisi, praktisi, ataupun expert untuk mengulas persoalan strategis pembangunan/pemerintahan.

Dalam perumusan program hingga pelaksanaan setelah terpilih, mereka harus mendorong efisiensi belanja daerah dan fokus pada prioritas pembangunan.  Gagasan seperti kolaborasi antardaerah dalam memenuhi kebutuhan, seperti pangan hingga industri, juga perlu didorong.

Kedua, masyarakat harus memiliki standar tinggi dan jeli dalam menentukan pilihan. Tanyakan kepada para calon anggota legislatif dan calon pemimpin eksekutuf di daerah masing-masing: apa ide perubahan yang dibawa?

Bagaimana strategi mereka mewujudkannya? Bagaimana penguasaan mereka akan isu-isu kontekstual? Apakah mereka menguasai (atau setidaknya tahu cara membaca) data-data di atas? Apakah mereka hanya sesumbar janji muluk dan utopis?

Akan sangat sulit kita bicara SDGs, transformasi digital, atau bahkan metaverse jika hal-hal mendasar saja masih banyak lubangnya. Pergantian kepemimpinan kali ini harus membawa perubahan. Syukur-syukur ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Juni 2023. Penulis adalah tenaga ahli di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya