SOLOPOS.COM - Achmad Mahbuby (Solopos/Istimewa)

Penulis pernah mengajak peserta didik untuk berjalan-jalan di kebun samping sekolah. Di sana peserta didik diminta mencari suatu benda yang mereka anggap unik, ada yang membawa ranting, daun, batu, hingga ulat. Bahkan sampai ada yang menemukan kulit ular yang memantik pertanyaan peserta didik “Kenapa ular berganti kulit?”, “Kok bisa ular berganti kulit?”, “Apakah mereka bosan dengan kulit lamanya”?

Akhirnya peserta didik masuk kelas dan mulailah pembelajaran dengan tema kehidupan ular. Tak sampai di situ, ketika pembelajaran pertanyaantetap dilontaarkan “Apakah ulat dan ular tidak sama?”, “Apakah ulat juga berganti kulit seperti ular?”, “Kenapa ulat bisa berubah menjadi kupu-kupu tapi ular tidak bisa menjadi kupu-kupu?”.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Dari pengalaman pembelajaran tersebut, penulis menyadari bahwa anak-anak pada dasarnya adalah filsuf alamiah dengan berbagai pertanyaan yang terkadang mengandung unsur politis, metafisika, ataupun etika. Tanpa disadari, mereka telah menerapkan konsep filsafat dialektika yang digagas oleh Socrates Platon tentang bagaimana mencari suatu hakekat dengan mempertanyakannya hingga mendapat suatu kesimpulan.

Begitulah cara kerja filsafat dalam pendidikan dasar dengan memperhatikan tahap perkembangan pra-operasional konkret menuju tahap operasional konkret. Filsafat pada hakekatnya adalah ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang menyelidiki keterangan atau sebab yang sedalam-dalamnya, dengan mengedepankan pengalaman sebelum masuk pada penjelasan mengapa dan bagaimana yang disebut dengan metode pembelajaran induksi. Namun, seiring perkembangan mereka, anak-anak mulai kehilangan bakat alamiahnya sebagai seorang filsuf yang selalu penasaran dan mempertanyakan berbagai hal yang ingin mereka ketahui.  Sebenarnya apa yang menghambat anak-anak untuk berpikir sesuai dengan bakat alamiahnya?

 

Problematika Anak Berfilsafat

Baik disengaja ataupun tidak, pelaksanaan pendidikan di Indonesia kerap kali menjadi pemicu munculnya kekerasan simbolik pada peserta didik yang berimplikasi pada matinya nalar kritis alamiahnya. Kekerasan simbolik, menurut Bourdie, merupakan kasus kekerasan yang lembut dan tak kasatmata, sehingga sering dianggap sesuatu yang wajar dan condong menjadi habitus. Ciri-ciri pengajaran yang memicu terjadinya kekerasan simbolik yaitu, pertama, habitus persaingan antarpeserta didik yang ditimbulkan karena pelaksanaan ujian dengan harapan nilainya akan melampaui peserta didik lain. Konsekuensinya ketidakmampuan peserta didik memaknai pengetahuan bukan sebagai anugerah yang harus disebarluaskan, namun sebagai hak milik yang harus dijaga agar menjadi unggul.

Kedua, pengajaran konservatif yang berfokus pada guru sedang peserta didik diibaratkan celengan yang terus diisi tanpa perlu bertanya. Paulo Freire menyebutnya dengan model pendidikan berbasis bank tradisional. Model pengajaran demikian menyebabkan lingkungan sekolah menjadi tidak ramah anak dikarenakan pendidikan yang sejatinya menjadi fasilitas pengembangan diri, namun malah memberikan dokrin yang justru membunuh sifat alamiah peserta didik.

Pengajaran demikian yang justru membatasi imajinasi peserta didik untuk melakukan eksplorasi yang sebenarnya dapat menciptakan pemaknaan ilmu pengetahuan dengan gaya mereka sendiri sesuai dengan tumbuh kembangnya. Perlunya revitalisasi pengajaran guru dalam rangka memerdekakan anak seperti konsep Kawruh Pamomong oleh Ki Ageng Suryomentaram dengan lima landasan mendidik anak. Pertama, dalam mendidik anak perlunya menerapkan raos asih (kasih sayang). Hal tersebut akan mampu mengoptimalkan perkembangan peserta didik tanpa membunuh potensi mereka. Kedua, dahulukan kebutuhan anak daripada tuntutan standar pembelajaran yang telah disusun oleh guru ataupun orang tua. Pembelajaran yang dilakukan kiranya perlu disesuaikan dengan kebutuhan anak, sehingga sistemnya akan lebih fleksibel dan realistis. Ketiga, perlu menumbuhkembangkan tanggung jawab bersama antara anak, orang tua dan guru, sehingga tanggungjawab untuk belajar atau mendidik tidak hanya ada pada anak ataupun guru, namun orang tua juga bertanggung jawab terhadapnya. Keempat, perlu jiwa mardika (jiwa merdeka) dalam proses pembelajaran, sehingga tidak perlu membatasi anak untuk mengeksplorasi pembelajarannya, hal tersebut juga dapat melatih anak untuk mandiri. Kelima, jika proses pembelajaran menerapkan aspek jiwa mardika telah dilaksanakan, anak akan dididik untuk wasis (pandai) dalam mensiasati hidup, kendel (berani) menghadapi persoalan,  sregep (rajin) karena kesadaran sendiri bukan karena keterpaksaan orang lain dan sugih (kaya), bahwa anak memahami dan sadar akan dirinya sendiri, kebutuhan pokok, dan semua yang mampu dimilikinya.

Meskipun Kurikulum Merdeka berhasil mengusung konsep merdeka belajar bagi peserta didik, namun dalam implementasinya Merdeka Belajar sangat utopis untuk diterapkan. Hal tersebut dikarenakan mentalitas pengajar dan realitas peserta didik dan orang tua yang tidak siap untuk menciptakan kemerdekaan bagi peserta didik. Doktrin pengajaran lampau yang mendewakan nilai dan hasil tanpa melirik proses masih sangat melekat, meskipun dalam kurikulum merdeka hal tersebut tidak menjadi indikator utama. Kelima landasan tersebut kiranya dapat menghantarkan pembelajaran filsafat untuk diterapkan pada pembelajaran formal.

 

Solusi

Buku Anak Merdeka karya Sunarno & Ulya (2022) mengejawantahkan catatan-catatan pengasuhan dan pendidikan yang memerdekakan jiwa anak mereka dengan menuliskan detail percakapan rutin sehari-hari, memantik anak mereka untuk bertanya tentang apa yang ingin diketahui, dan menjawab dengan analogi-analogi sederhana yang sangat epik. Contoh ketika dalam perjalanan, anak mereka bertanya kenapa polisi kebanyakan laki-laki. Di sinilah part di mana Sunarno menjelaskan tentang konsep ketidakadilan gender namun dengan analogi pembahasan yang mudah dipahami pada usia anak mereka. Sunarno menyebutnya sebagai kuliah jalanan dengan materi merdeka di jalanan. Begitu kiranya peran orang tua turut memengaruhi perkembangan alamiah anak sebagai seorang filsuf yang selalu ingin tahu berbagai hal, dari yang paling realistis sampai suatu hal yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Sebagai orang tua yang telah berkomitmen memiliki anak, kiranya perlu mengasah kemampuan parenting anak, karena mereka tidak tumbuh pada zaman anak mereka tengah tumbuh. Hal tersebut berlaku juga bagai seorang guru.

Pada dasarnya memang anak-anak sangat senang berfilsafat, tumbuh bersama pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang ada di sekitar mereka. Rasa ingin tahu tersebut yang perlu untuk dipupuk. Toto Rahardjo, pendiri Sanggar Anak Alam (Salam) menjelaskan dalam buku berjudul Sekolah Apa Ini tentang fungsi institusi pendidikan negara yang tidak sesuai dengan awal pembentukannya sebagai wadah kreativitas warganya, namun cenderung mendorong warganya untuk memamah apa yang sudah dihasilkan oleh mesin-mesin kekuasaan raksasa bernama sistem pasar, partai politik, dan media massa. Hal tersebut yang perlu diketahui oleh setiap pengasuh anak, bahwa pendampingan dalam tumbuh kembang anak baik dilakukan meskipun anak telah mendapatkan bimbingan di sekolah, namun bukan berarti tumbuh kembang anak diserahkan penuh kepada sekolah.

Perlu kiranya mengajak anak untuk berfilsafat, mengarahkan rasa penasaran mereka dengan mengangkat analogi-analogi sederhana untuk konsep pembelajaran yang kompleks tanpa membatasi pertanyaan-pertanyaan mereka. Ajaklah anak untuk berdialektika, dengan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan yang lain sampai anak mampu menciptakan pernyataan dari pertanyaan. Hal tersebut akan mampu mengasah daya kritis anak melihat suatu hal. Dengan begitu terciptalah pembelajaran hidup yang ramah terhadap anak.

Artikel ini telah dimuat di Koran Solopos edisi 27 Maret 2024. Penulis adalah Guru wali kelas 1 di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Digdaya Bolon Colomadu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya