SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Abdul Gaffar

Mahasiswa Pemikiran
Pendidikan Islam (PPI)
Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Sampai saat ini sepertinya konflik antarumat beragama masih saja terus terjadi akibat gesekan-gesekan   kepentingan atau perbedaan aliran, sekte, bahkan sampai pada level perbedaan agama, hingga mencapai masalah doktrin-doktrin agama yang berbeda dan memunculkan clash of religion.
Kasus pembubaran dialog (diskusi) di Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Kajian Islam dan Transformasi Sosial (LKIS) Jogja pada Rabu (9/5) dengan salah satu tokoh feminis Islam asal Kanada, Irshad Manji, merupakan bukti kebuntuan dialog umat. Sebelumnya, acara serupa yang diselenggarakan Komunitas Salihara dan penerbit Rene Book di Jakarta juga dibubarkan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) yang membawa nama agama.
Sungguh, kejadian semacam itu telah mencederai wajah demokrasi dan Islam. Artinya, apa yang dilakukan oleh ormas yang selalu mengedepankan anarkisme sungguh tidak sesuai dengan ajaran tauhid Islam yang mengharuskan mengedepankan sikap-sikap toleransi dan sikap moderat (tasamuh dan tawasuth), menghargai perbedaan dan mengajak untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang harmonis.
Pada dasarnya semua agama mengarahkan umat-umat penghuni planet bumi agar selalu ber-al-attafaqohu al-fiddin sebagaimana tuntunan dalam ajaran masing-masing agama. Sangat penting bagi umat beragama memahami adanya pluralitas sebagai khasanah dari multireligiusitas.
Akan tetapi, ”pluralitas agama” sering kali menjadi malapetaka, mencelakakan bagi umat-umat bertuhan seolah berada dalam lingkaran setan berupa ”benturan antarkepentingan”. Ini sering kali berubah menjadi benturan antarsesama umat, taruhlah umat Islam sesamanya dengan diawali saling tuduh menuduh murtad dan kafir hingga (saling curiga) yang kemudian berakhir dengan saling menghalalkan darah atas dasar teks ayat-ayat Tuhan.
Atas dasar itu semua kita dapat menemukan sumber kemunculan kekerasan dan konflik sosial keagamaan ini terletak pada setiap pribadi pemeluk agama dalam memahami keyakinan. Mereka cenderung mengedepankan kebenaran tunggal (truth claim), agamanya yang paling benar. Mereka merasa bahwa kedatangan agama lain, di daerahnya, akan mengancam keberadaan agamanya yang telah ada lebih dulu.
Setiap agama, terutama yang tergolong ke dalam agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen dan Islam memiliki sejarah dan ajaran sendiri-sendiri serta menegaskan apa yang dikatakan Max Weber sebagai klaim kebenaran (truth claim).
Dalam konteks ini, Andrew Sullivan sebagaimana dikutip oleh Jack Nelson-Pallmayer dalam buku Is Religion Killing Us? Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan Qur’an (2007), menggambarkan agama digunakan untuk melakukan tindakan represif yang ekstrem, bahkan melalui teror, dan semua terjadi tidak hanya pada agama tertentu saja.
Adanya unsur tindakan represif dalam sebuah agama dapat ditelusuri melalui sejarah masa lalu. Agama Kristen memiliki cerita sejarah yang lebih buruk dalam perang salib, inquisition dan perang agama yang berlumur darah selama abad ke-16 hingga ke-17. Ini menandakan bahwa Eropa terlihat lebih banyak menumpahkan darah untuk tujuan agama dari pada yang pernah terjadi di dunia Islam.
Sangat tepat jika Haryatmoko SJ (2007) mengilustrasikan kekerasan antarumat melalui gambaran Tuhan yang menonjol. Yaitu seolah-olah Tuhan sebagai penghukum, penganiaya, pemaksa, pembalas dendam dan sewenang-wenang. Gambaran Tuhan yang keras ini tentu menghentak rasa keamanan kita.
Hal inilah yang sesungguhnya sangat menentukan hubungan antaragama-agama dan hubungan di dalam agama itu sendiri. Fungsi Tuhan digunakan untuk alat pembenaran kejahatan, kekerasan, ancaman dan balas dendam yang  tidak lain hanya proyeksi manusia. Di satu sisi seolah-olah kekerasan Tuhan tampil sebagai bagian dan kesucian-Nya sehingga kekerasan atas nama Tuhan menjadi paling benar dan tampil sebagai alat utama penegakan keadilan.

Merajut Kerukunan
Kerukunan memiliki satu tujuan: perdamaian. Kerukunan menegasikan konflik sosial dan merupakan cita-cita setiap umat manusia. Kerukunan juga mengharuskan rekonsiliasi demi membangun kerukunan antarumat beragama agar tercapai hidup dalam suasana damai, saling menghormati dan menghargai walau berbeda agama.
Saya sadar bahwa melihat umat dalam berbagai tempat dan dalam konteks berbeda sangat banyak kekurangan dan kelemahan untuk meredam konflik. Agama menjadi keras lantaran adanya suatu tradisi interpretasi sosioreligius (mazhab) yang menjadikan doktrin  sebagai suatu pembenaran bertindak dengan mengembangkan dokrin-doktrin ideologis (Hamim Ilyas, 2007).
Abdul Aziz Ustman Altwaridji memberikan solusi melalui konsep dialog agama-agama. Ada empat dasar landasan. Pertama, sukarela. Kedua, adanya tujuan bersama demi melahirkan kerukunan yang praktis. Ketiga, kerja sama untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah disepakati sesuai dengan rencana-rencana kerja yang telah ditetapkan semua pihak. Keempat, kerukunan dipelihara dengan menjunjung tinggi saling menghormati dan memercayai untuk menghindari penyelewengan tujuan dan mengendalikan kepentingan individu atau kelompok agama tertentu.
Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas  Kairo, Hassan Hanafi, mengingatkan bahwa ”isu kekerasan” sering dijadikan instrumen untuk menjatuhkan pihak lain serta upaya mempertahankan kebenaran. Kerukunan harus direduksi dengan semangat menjalin keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di samping itu, perlu meneguhkan kembali posisi ajaran agama yang dipahami secara kurang tepat sesuai dengan spirit agama itu sendiri dengan memaknainya secara komprehensif. Pemahaman agama secara sempit dan dangkal harus diperluas dan diperdalam serta senantiasa mempertimbangkan implementasi sosialnya.
Harus ada cara berkelanjutan untuk mengupayakan kembali interaksi antarumat beragama dengan tidak saling curiga-mencurigai  melalui cara yang lebih manusiawi, di antaranya dengan dialog yang bertujuan untuk  membuka kembali keran-keran komunikasi yang selama ini. terhambat lantaran berbagai alasan. Paling tidak, sikap arogansi dan superioritas di satu pihak, serta rendah diri dan inferioritas di pihak lain harus dihilangkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya