SOLOPOS.COM - Pengendara aneka jenis kendaraan berhenti saat kereta melintas di kawasan simpang Joglo, Banjarsari, Solo, Rabu (6/12/2023). (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Urban Social Forum yang digelar di Kota Solo pada Sabtu-Minggu (9-10/11/2023) menjadi ruang inklusif membicarakan dan menyampaikan gagasan tentang Kota Solo.

Diskusi di acara tersebut melibatkan lebih dari 60 pembicara. Urban Social Forum mengajak publik untuk membangun ide dan gagasan mewujudkan kota yang sejahtera.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Dalam acara tersebut muncul dua kritik selaligus analisis mendasar tentang perencanaan pembangunan Kota Solo. Dua kritik sekaligus analisis itu adalah penerapan konsep adaptive reuse terkait pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya dan manajemen lalu lintas yang terkait dengan perparkiran.

Konsep adaptive reuse atau melindungi nilai sejarah dan arsitektur bangunan, sekaligus memberi keleluasaan yang cukup untuk fungsi baru, menjadi keniscayaan di tengah realitas pemeliharaan bangunan dan kawasan cagar budaya yang mahal, bahkan sangat mahal.

Keterlibatan investor menjadi salah satu pilihan masuk akal, misalnya pemanfaatan bangunan cagar budaya menjadi lokasi komersial seperti hotel maupun coffee shop yang kini menjadi tren di masyarakat.

Kritik untuk penerapan konsep ini adalah jangan sampai konsep adaptive reuse yang dilaksanakan bekerja sama dengan investor itu berujung pada praktik komodifikasi kota atau perubahan nilai dan fungsi kota.

Praktik demikian bertumpu pada pembangunan citra kota. Saat ini ruang-ruang publik telah mengalami transformasi, didorong pergeseran tren dan motif pada interaksi sosial. Kini ruang-ruang publik telah diperhitungkan sebagai suatu komoditas ekonomi.

Dalam gejala demikian, posisi warga kota, sebagia manusia, jamak kemudian tersingkirkan. Warga kota dianggap tidak mempunyai kepentingan, keinginan, niat, atau kehendak atas wajah kotanya.

Mereka semata-mata dilihat sebagai konsumen, sebagai pasar. Hal demikian akan berujung pada kasus-kasus ketimpangan sosial-ekonomi, meski selalu tenggelam di antara upaya kampanye city branding keberhasilan kota. Sementara konsep perancangan kota adalah membuat ruang publik yang inklusif.

Kritik kedua yang mengemukan adalah keruwetan urusan perparkiran yang berpangkal dari ketiadaan manajemen lalu lintas sejak awal pembangunan. Contoh termutakhir adalah parkir di kawasan Masjid Seikh Zayed.

Ini adalah realitas termutakhir dari perkembangan Kota Solo yang harus segera dipikirkan solusinya. Area parkir di lokasi tersebut yang minim memunculkan keruwetan lalu lintas.

Dinas terkait telah melakukan berbagai cara, salah satunya parkir pengunjung Masjid Seikh Zayed di Terminal Tirtonadi dan penyediaan angkutan bagi wisatawan menuju lokasi.

Cara ini kurang diminati para pengunjung karena letaknya dianggap terlalu jauh dan banyak pengunjung yang tidak tahu fasilitas tersebut. Mengaktualkan perencanaan pembangunan kota berbasis memanusiakan warga kota adalah keniscayaan.

Ini agar pengelolaan kota, perencanaan pembangunan kota, dan realisasi pembangunan kota tidak justru mengalienasi warganya dari kota tempat tinggal mereka.

Kini justru gejala inilah yang makin mengemuka di banyak kota, termasuk di Kota Solo. Seluruh pemangku kepentingan hendaknya memahami kondisi ini demi mewujudkan Kota Solo yang nyaman bagi warga dan pendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya