SOLOPOS.COM - M. Abdur Rohman (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pernah begitu sangat marah kepada para ajudannya. Saat menjabat sebagai presiden, B.J. Habibie pernah melakukan kunjungan kerja di salah satu kawasan di pedalaman Papua.

Setiba di sana ia disambut dengan tarian yang sangat indah dan belum tentu ada pada 20 tahun lagi. Hal yang membuat Presiden Habibie marah pada saat itu ialah tak ada seorang pun anggota rombongan, termasuk ajudan, yang membawa kamera.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Akhirnya penyambutan yang luar biasa tersebut tidak dapat terdokumentasikan dengan baik. Hilang seketika tanpa jejak sebagaimana yang diceritakan A. Makmur Makka dalam buku Habibie, Kecil Otak Semua (2011).

Dalam dunia pendidikan, saya melihat banyak sekolah yang tak mendokumentasikan kegiatan sekolah dengan baik. Sebenarnya banyak sekolah menyelenggarakan kegiatan yang  menarik.

Jika ajudan Presiden Habibie teledor karena lupa membawa alat dokumentasi, pengelola sekolah-sekolah banyak yang tak menyadari bahwa dokumentasi dan publikasi sekolah itu penting.

Saya mengamati di sekolah-sekolah yang memiliki manajerial yang baik salah satu hal yang diperhatikan yaitu mengelola media sosial sekolah. Banyak kegiatan sekolah yang didokumentasikan dengan baik, dikemas dengan menarik, kemudian diunggah di platform media sosial sehingga berita terbaru sekolah-sekolah tersebut terpublikasikan.

Dampak yang ditimbulkan begitu signifikan. Program sekolah yang unggul dan menarik menjadi daya tarik tersendiri bagi para wali atau orang tua calon murid baru. Dari manakah para orang tua atau wali calon murid bisa tahu dan yakin tentang kualitas sekolah yang akan dipilih?

Tentu dari kegiatan-kegiatan yang didokumentasikan dengan baik lalu diunggah ke media sosial sekolah. Sekolah yang adaptif terhadap perkembangan zaman ialah sekolah yang mampu mengelola media sekolah dengan baik.

Program unggulan yang berhasil, agenda sekolah yang menarik, lulusan yang berkualitas, semua itu akan dapat tersampaikan kepada masyarakat ketika dipublikasikan. Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran Arif Hidayat pada Mimbar Guru yang dimuat Solopos edisi 28 Februari 2024 lalu.

Arif khawatir akan terjadi komersialisasi pendidikan, hal yang menurut saya terlalu jauh panggang dari api. Pada keyataannya banyak sekolahan yang terseok-seok hanya untuk survive. Arif menyampaikan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2016 yang menunjukkan di Indonesia terdapat 619.947 usaha dalam dunia pendidikan.

Ia menyimpulkan bahwa industri pendidikan cukup diminati masyarakat. Sebuah kesimpulan yang saya anggap terlalu tergesa-tega untuk disampaikan. Yang menjadi pertanyaan dari 619.947 sekolah tersebut apakah dijadikan usaha ataukah sebagai bentuk pengabdian?

Ketika hal itu dianggap sebagai usaha industri berupa industri jasa apakah gaji yang diberikan sudah setara dengan industri pada umumnya? Saya kira jawabannya adalah belum. Kita bisa berkaca pada organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia yaitu Muhammadiyah.

Berdasarkan data yang tercantum di data pokok pendidikan Muhammadiyah yang dikelola Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, saat ini terdapat total 3.334 sekolah Muhammadiyah di Indonesia.

Dari seluruh sekolah tersebut tidak ada satu pun yang berstatus kepemilikan pribadi/perusahaan karena semua sekolah Muhammadiyah berada dibawah naungan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Pimpinan Pusat Muhammdiyah dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya mengategorikan sekolah Muhammadiyah sebagai amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang dalam pengelolaannya difungsikan sebagai lembaga nonprofit.

Hal ini tentu berbeda dengan badan usaha milik Muhammadiyah (BUMM) seperti perhotelan Muhammadiyah yang dikelola secara profesioal dengan investor boleh dari luar Muhammadiyah dengan tujuan menghimpun profit.

Hal lain yang juga disampaikan oleh Arif bahwa sekolah yang membungkus segala kegiatan dengan aktivitas industri seperti promosi dan branding akan baik-baik saja dari luar, namun lapuk di dalam.

Yang menjadi pertanyaan bagiamana bisa lembaga yang sudah lapuk di dalam punya semangat besar untuk memprosikan sekolah? Artinya itu dua hal yang kontradiktif. Arif tentu harus menyadari bahwa tak ada yang tidak berubah di dunia ini, yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri.

Kita bisa melihat selama bertahun-tahun sekolah negeri yang mendapat banyak proteksi dari pemerintah tampak santai dan tak perlu promosi, namun kini banyak yang bangkit dan menyadari kesalahan setelah melihat banyak sekolah negeri yang digabung dengan sekolah lain karena kekurangan murid.

Kesimpulannya, sekolah harus adaptif terhadap perkembangan zaman. Ketika zaman ”dikuasai” oleh berbagai media, sekolah harus juga memiliki media untuk menyampaikan aktivitas agar dimengerti oleh masyarakat umum. Kebaikan yang tersampaikan akan lebih baik daripada kebaikan yang tak tersampaikan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Maret 2024. Penulis adalah duru SDIT Muhammadiyah Al-Kautsar, Gumpang, Kartasura, Sukoharjo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya