SOLOPOS.COM - Andy Suryadi, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Warga Jatinom, Klaten

Andy Suryadi, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Warga Jatinom, Klaten

Tradisi Yaqowiyu yang ditunggu-tunggu warga Klaten dan sekitarnya berlangsung pada Jumat (13/1) ini. Perayaan tradisi yang puncak acaranya memperebutkan kue apem ini tidak hanya menjadi ritual warga di Jatinom, Klaten, namun telah menjadi atraksi budaya yang menarik minat ribuan pengunjung dari berbagai daerah, bahkan dari mancanegara.
Asal-usul tradisi ini diyakini bermula ketika Ki Ageng Gribig (seorang ulama atau kiai dari Jatinom yang dikenal dekat dengan Sultan Mataram) pulang dari berhaji pada 1637 M. Ia kemudian bermaksud membagikan oleh-oleh kue bulat yang kemudian dikenal sebagai kue apem (dari kata afwan).
Karena jumlahnya terbatas maka beliau menyuruh istrinya untuk membuat lagi kue sejenis. Karena tetap kurang mencukupi, agar adil, sang kiai ini  kemudian memutuskan untuk menyebarkan kue apem tersebut untuk diperebutkan di sebuah lapangan (Oro-oro Tarwiyah).
Kata yaqowiyu diambil dari doa yang diucapkan Ki Ageng Gribig saat menyebarkan kue apem. Sejak saat itulah ia mengamanatkan kepada masyarakat Jatinom agar setiap Sapar membuat kue apem untuk disedekahkan.
Kuatnya keinginan masyarakat untuk melestarikan tradisi ini memang kentara. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai luhur di dalamnya.   Nilai dakwah (Islam) menjadi hal mendasar dari tradisi ini. Nama apem yang berasal dari kata afwan yang berarti ampunan jelas menunjukkan nuansa dakwah untuk mengingatkan umat agar selalu mohon ampunan kepada Yang Maha Kuasa.
Sedekah juga menjadi nilai dasar tradisi ini. Seruan Ki Ageng Gribig agar warga Jatinom menyedekahkan kue apem untuk dibagikan setiap Sapar, direspons secara sukarela oleh warga Jatinom hingga saat ini. Nilai persaudaraan ditandai dengan banyaknya keluarga dan teman dari penduduk sekitar untuk berkunjung ke rumah mereka.
Akhirnya kesejahteraan bagi penduduk yang ikut berdagang (mremo) dan menyediakan berbagai jasa selama perayaan ini ikut terangkat. Sehingga perayaan ini pun mewariskan nilai ekonomi.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Hilangnya nilai
Berbagai perubahan di masyarakat juga berdampak pada tradisi ini. Berbagai hal yang tidak sejalan dengan tujuan awal Ki Ageng Gribig bermunculan.  Misalnya bagaimana masyarakat saat ini lebih mementingkan sisi profan (hiburan) dari acara ini. Umumnya pengunjung cenderung tidak memedulikan persoalan dakwah atau ziarahnya.
Bahkan, banyak kaum muda yang ingin ”memamerkan eksistensi mereka” dengan mabuk-mabukan. Selain petugas yang perlu diintensifkan peran mereka dalam mengelimasi ulah nakal ini, panitia perlu lebih menyosialisasikan agenda perayaaan. Peningkatan kualitas pengajian dengan sesekali menghadirkan dai ternama rasanya perlu dilakukan untuk mendobrak kesadaran pengunjung.
Yang paling fatal adalah fakta dalam perayaan yang religius ini justru banyak pengunjung yang meninggalkan kewajiban Salat Jumat. Indikasinya jelas terlihat di lokasi penyebaran apem. Banyak pengunjung yang pilih mengaveling tempat daripada menjalankan ibadah Salat Jumat.  Sayangnya, situasi ini kurang direspons oleh panitia.
Buktinya, meskipun fenomena ini muncul puluhan tahun terakhir, namun tidak ada perubahan yang berarti. Mepetnya puncak acara dengan waktu Salat Jumat adalah sebab utamanya. Pengunjung mau tidak mau harus berada di sekitar lokasi penyebaran apem jika tidak ingin ketinggalan prosesi, padahal daya tampung Masjid Agung tidak memadai untuk menampung mereka.
Mestinya panitia membuat langkah baru, misalnya dengan mengundurkan waktu perayaan (30 menit) dari jadwal selama ini. Dengan demikian pengunjung masih punya cukup waktu untuk hadir setelah menjalankan Salat Jumat di beberapa lokasi lain di sekitar Jatinom.
Sedikit perubahan dari sesuatu yang sudah ditradisikan demi manfaat yang lebih besar rasanya lebih baik daripada mempertahankan sesuatu yang kontradiktif dengan tujuan awal. Dalam sejarah, perubahan dalam tradisi ini bukanlah hal yang tabu dilakukan, misalnya saja lokasi perayaan pernah pindah dari Oro-oro Tarwiyah ke pelataran Masjid Agung dan kini lapangan Sendang Plampeyan.
Satu fenomena lagi yang menyimpang dari esensi dasarnya adalah fenomena pengultusan kue apem itu sendiri. Banyak pengunjung yang kemudian memercayai apem tersebut sebagai sumber keberkahan dan rezeki. Akibatnya secara tidak langsung perayaan ini justru menggiring umat untuk berbuat syirik. Sayangnya, panitia seolah-olah membiarkan fenomena ini terus  terjadi. Ini terbukti dari tidak pernah adanya pencerahan dan peringatan kepada pengunjung untuk tidak mengultuskan apem yang diperebutkan, sebelum ritual penyebaran dimulai.
Tradisi adiluhung memang seharusnya dilestarikan. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan yang akhirnya dapat menggusur nilai-nilai esensial dari tradisi tersebut, sudah seharusnya direspons oleh pihak-pihak yang berkompeten. Sehingga tradisi tersebut  akan terus lestari seiring dengan tujuan awal dari sang pelopornya yaitu Ki Ageng Gribig alias Syeh Wasibagno, seorang juru dakwah yang begitu terkenal pada masanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya