SOLOPOS.COM - Sejumlah prajurit Korps Marinir TNI Angkatan Laut meneriakkan yel-yel saat upacara pengangkatan warga kehormatan Korps Marinir di Pantai Banongan, Situbondo, Jawa Timur, Selasa (1/8/2023). Korps Marinir TNI AL resmi mengangkat Menko Polhukam Mahfud Md. menjadi warga kehormatan Korps Marinir. (Antara/Didik Suhartono)

Presiden Joko Widodo menyatakan akan mengevaluasi penempatan perwira TNI di jabatan sipil. Ia menyebut evaluasi akan dilakukan untuk mencegah konflik kepentingan, terutama dalam urusan penegakan hukum.

Pernyataan itu dikemukakan Presiden terkait kontroversi penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Badan SAR Nasional Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dalam kasus suap lelang pengadaan barang di lembaga itu.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Mereka ditetapkan menjadi  tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses hukum yang diwarnai kontroversi itu kemudian mendapat dukungan Pusat Polisi Militer TNI yang melanjutkan proses hukum atas Henri dan Afri.

Tuntutan mengevaluasi penemparan perwira TNI di jabatan sipil sebenarnya bagian penting dan kelanjutan dari agenda gerakan reformasi 1998. Salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998 adalah penghentian dwifungsi ABRI—kini TNI—dan menjadikan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional.

Penempatan perwira TNI di jabatan sipil—jabatan apa pun—memang selalu rawan konflik kepentingan, walau undang-undang memberi peluang. Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi norma yang mengatur penempatan prajurit TNI aktif di jabatan-jabatan yang berada di 10 kementerian/lembaga.

Sepuluh kementerian dan lembaga itu yang mengurusi bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, pencarian dan pertolongan atau search and rescue (SAR) nasional, urusan narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.

Pengaturan normatif ini selalu memunculkan kontroversi atau perdebatan ketika pejabat di lembaga sipil yang berasal dari TNI—berstatus perwira aktif—tersangkut persoalan hukum. TNI memiliki hukum tersendiri. Sedangkan saat berada di jabatan sipil seharusnya tunduk pada ketentuan hukum sipil.

Penempatan perwira TNI di jabatan sipil, menurut alasan yang dikemukakan pemerintah—atau otoritas di pemerintahan, karena yang dibutuhkan adalah kemampuan yang dimiliki dan diperoleh berdasar pengalaman di TNI, misalnya jabatan Kepala Badan SAR Nasional.

Kalau alasan demikian yang menjadi landasan, tentu lebih arif ketika langkah yang dilakukan pemerintah adalah menjadikan perwira TNI itu pensiun dari status anggota TNI dan sepenuhnya menjadi orang sipil.

Menjadikan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan menegakkan supremasi sipil di negara demokrasi seharusnya menjadi arus besar penataan kelembagaan pemerintahan dan badan-badan pendukungnya.

Tak masalah menempatkan perwira TNI di jabatan sipil demi keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan, namun harus diawali dengan ”menyipilkan” perwira itu, memensiunkan dari status anggota TNI, dan sepenuhnya menjadi orang sipil dalam jabatan tersebut.

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang hendak mengevaluasi penempatan perwira TNI di jabatan sipil harus selekasnya direalisasikan dan mencakup semua jabatan. Ini demi konsistensi membangun TNI yang profesional dan modern—sebagai alat pertahanan negara—dan menegakkan supremasi sipil di negara demokrasi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya