SOLOPOS.COM - Mulyanto (solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kemiskinan  adalah masalah yang kompleks. Tidak hanya terkait dengan masalah pada diri seseorang, tetapi juga berhubungan dengan ada/tidaknya kepemilikan atas kebutuhan dasar.

Kebutuhan dasar itu mencakup kepemilikan atas kekayaan/aset, pemenuhan kebutuhan/ketahanan pangan, kebutuhan perumahan, pendidikan, kesehatan, dan yang paling penting dan kurang mendapat perhatian yaitu kebutuhan terhadap akses ke lapangan pekerjaan.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Sebagian orang menjadi miskin karena kurangnya akses terhadap ketenagakerjaan sehingga masuk ke dalam kategori sebagai pengangguran. Kemiskinan juga memiliki dua ciri yang menonjol (the silent feature of the poor).

Pertama, masuk kategori kelompok penduduk miskin dan sulit untuk keluar dari garis kemiskinan yang biasa disebut sebagai kemiskinan kronis (chronic poor). Kedua, masuk kategori kemiskinan yang terus berputar (churning poor) yaitu kondisi penduduk miskin yang kadang masuk dan kadang keluar dari garis kemiskinan.

Kadang-kadang masuk kategori tidak miskin dan kadang-kadang masuk kategori miskin. Masuk kategori miskin terutama akibat kejadian ekonomi/nonekonomi yang tidak terduga, seperti pandemi Covid-19 atau jadi miskin karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berangkat dari konsep garis kemiskinan, dikenal berbagai macam jenis ukuran kemiskinan. Pertama, konsep kemiskinan yang diturunkan dari besaran garis kemiskinan (GK) berdasar pola pengeluaran; yaitu nilai rupiah atas pengeluaran minimum yang dibelanjakan seseorang dalam pemenuhan kebutuhan pokok hidup selama satu bulan, kebutuhan makanan (GKM) maupun nonmakanan (GKNM).

Pada Maret 2023, berdasar sumber BPS (Juli 2023), GK tercatat Rp550.458 per kapita per bulan; dengan komposisi GKM sebesar Rp408.522 (sumbangannya sekitar 74,21%) dan GKNM sebesar Rp141.936 (kontribusi sekitar 25,79%).

Rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki anggota 4,71 orang anggota rumah tangga (ART) maka GK per rumah tangga secara rata-rata adalah Rp2.592.657 per rumah tangga miskin per bulan. Artinya jika suatu keluarga ingin dikatakan tidak miskin, harus mempunyai pengeluaran yang lebih besar daripada Rp2,59 juta per bulan.

Besaran ini juga tergantung dengan lokasinya, yaitu tinggal di desa atau di kota dan juga dipengaruhi perbedaan harga-harga barang yang masuk dalam kelompok makanan (GKM) dan kelompok nonmakanan (GKNM) di suatu daerah.

Dengan menggunakan pendekatan ini, penduduk miskin pada Maret 2023 di Indonesia 25,90 juta jiwa (9,36%); dengan perincian 11,74 juta jiwa tinggal di perkotaan (7,29%) dan 14,16 juta jiwa tinggal di perdesaan (12,22%).

Hal ini menandakan orang miskin secara jumlah dan persentase di perdesaan masih sangat tinggi. Berbagai upaya mengentaskan kemiskinan masih merupakan pekerjaan besar bagi semua pihak, khususnya bagi pihak-pihak yang diberi mandat sebagai pengambil kebijakan, di tingkat pemerintahan pusat hingga tingkat pemerintahan desa/kelurahan.

Kedua, konsep kemiskinan ekstrem (KE). KE pada dasarnya mengacu pada kondisi ketidakmampuan seseorang/masyarakat memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Seseorang dikategorikan dalam kondisi KE jika biaya kebutuhan hidup sehari-hari di bawah garis kemiskinan ekstrem (GKE). GKE setara dengan US$1,9 PPP (purchasing power parity) atau paritas daya beli (PDB). PPP/PDB adalah suatu konsep ekonomi makro yang sering digunakan untuk membandingkan produktivitas dan standar hidup antarnegara.

Konsep ini berhubungan erat dengan keseimbangan mata uang dan harga suatu barang yang identik dari dua negara berbeda. Seseorang dikategorikan dalam kondisi KE jika pengeluarannya di bawah Rp10.739 per orang per hari atau sekitar Rp322.170 per orang per bulan (BPS, 2021).

Jika dalam satu keluarga terdiri atas empat orang (ayah, ibu, dan dua anak), keluarga tersebut dapat dikategorikan dalam kondisi KE apabila kemampuan memenuhi pengeluaran setara atau di bawah Rp1.288.680 per keluarga per bulan.

Dalam kurun waktu 2021-2023 jumlah penduduk yang berada dalam kateori KE berdasar data BPS (2023) terus menurun, yaitu dari 5,80 juta jiwa (2,14%) pada 2021; menurun menjadi 5,59 juta jiwa (2,04%) pada 2022; serta menurun lagi menjadi 3,34 juta jiwa (1,12%) pada 2023.

Upaya

Masalah KE inilah yang menjadi perhatian besar pemerintah untuk diturunkan jumlahnya hingga menjadi nol persen pada 2024. Berdasar Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, seluruh jajaran kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah agar memadukan dan menyinergikan segenap program/kegiatan untuk diarahkan menghapus KE di seluruh wilayah Indonesia 2024.

Dalam situs Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dapat dipelajari hal-hal tentang penghapusan KE. Dalam situs ini dinyatakan bahwa percepatan penghapusan KE secara tepat sasaran dilakukan melalui tiga strategi kebijakan.

Pertama, pengurangan beban pengeluaran masyarakat melalui pemberian bantuan sosial, jaminan sosial, dan subsidi melalui serangkaian program/kegiatan. Kedua, peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Ketiga, penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur pelayanan dasar.

Program/kegiatan tersebut menyebar di 22 kementerian, enam lembaga, dan di semua pemerintah daerah (gubernur/bupati/wali kota). Anggaran program/kegiatan percepatan penghapusan KE bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN); anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD); anggaran pendapatan dan belanja desa; dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan.

Jika dilihat dari sebarannya, sekitar 64,8% atau sekitar 3,63 juta jiwa dari 5,59 juta jiwa penduduk miskin ekstrem pada Maret 2022 tinggal di perdesaan. Di lain pihak, bila dihitung dari sebaran berdasar provinsi, sekitar 56% penduduk miskin ekstrem terkonsentrasi di lima provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tingkat KE ini turun menjadi sekitar 3,34 juta jiwa (1,12%) pada Maret 2023 serta menjadi nol persen pada 2024. Tiga strategi kebijakan yang akan diterapkan untuk menghapus KE pada 2024. Pertama, pengurangan beban pengeluaran masyarakat.

Kebijakan ini dijalankan dengan memastikan kelompok miskin ekstrem memperoleh berbagai program-program perlindungan  sosial dan meningkatkan koordinasi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mendorong komplementaritas program perlindungan sosial di tingkat pusat dan daerah.

Kemudian mengembangkan dan melaksanakan inovasi kebijakan dan program perlindungan sosial terutama  untuk kelompok rentan (lansia, penyandang disabilitas, pekerja informal dan perempuan); melibatkan komunitas, lembaga nonpemerintah, dan swasta; serta meningkatkan akses masyarakat miskin ekstrem ke dokumen kependudukan (akta kelahiran dan nomor induk kependudukan)



Kedua, strategi peningkatan pendapatan masyarakat. Kebijakan ini dijalankan melalui peningkatan pendapatan/akses terhadap pekerjaan dan penyediaan infrastruktur dasar; peningkatan kapasitas sumber daya manusia; peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); serta peningkatan akses pembiayaan UMKM.

Ketiga, strategi penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan. Kebijakan ini ditempuh dengan cara peningkatan akses terhadap layanan dasar; meningkatkan keterhubungan/konektivitas antarwilayah; mendorong keterpaduan/konvergensi dalam penggunaan anggaran (APBN, APBD, dan APB desa); mendorong konsolidasi program/kegiatan; serta meningkatkan peran daerah dan pemangku kepentingan secara bersama-sama dalam menghapus KE.

Kita berharap strategi dan kebijakan penghapusan KE benar-benar dirasakan oleh mereka yang masuk kategori miskin ekstrem. Orang miskin harus benar-benar diberdayakan agar mereka keluar dari garis kemiskinan,  apa pun jenis pengukuran yang dipakai.

Orang miskin harus terus diupayakan menjadi bagian penduduk yang dapat mengakses pekerjaan, mendapat penghasilan, dan bisa berbelanja yang melebihi garis kimiskinan. Pengentasan/penghapusan kemiskinan pada dasarnya upaya agar kaum miskin menjadi lebih berarti sekaligus lebih mempunyai harga diri.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 November 2023. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret dan Ketua Bidang Kajian dan Publikasi ISEI Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya