SOLOPOS.COM - Arif Yudistira (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Saya  teringat yang diucapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam forum peringatan Hari Pers Muhammadiyah di Yogyakarta pada 24 Agustus 2023.

”Masyarakat kita mengalami loncatan yang jauh pada era digital seperti sekarang. Kita meloncat dari tradisi lisan ke audio visual, masyarakat kita melompati tradisi literer,” kata dia.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Masyarakat kita sampai saat ini masih mengalami problem literer dalam kehidupan sehari-hari. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kita masih mengalami buta huruf sebanyak 2,07% atau sekitar 3.387.035 jiwa (usia 15 tahun hingga 29 tahun tahun).

Masyarakat di pelosok desa masih mengalami ketertinggalan dan keterkucilan peradaban dari sebuah budaya kota yang melaju cepat. Kita memasuki zaman teknologi dan digitalisasi dengan penuh kegagapan.

Perubahan-perubahan ini tidak hanya  membuat kita terseok-seok, namun juga makin jauh dari ruang permenungan. Jangankan budaya meneliti, budaya membaca pesan di Whatsapp saja kita masih tergopoh-gopoh.

Saya jadi ingat di sebuah grup ada seorang doktor membagikan informasi tentang puisi yang konon puisi itu adalah karya Taufiq Ismail. Kebetulan di grup tersebut ada teman keluarga Taufiq Ismail.

Setelah teman tersebut meminta penjelasan kepada keluarga Taufiq Ismail, ternyata puisi tersebut bukan milik Taufiq Ismail. Doktor yang membagikan informasi itu gagap dan bingung saat dimintai penjelasan.

Saya tidak tahu berapa orang yang diberi informasi palsu seperti itu. Inilah potret betapa kita begitu gagap dan masih buta dalam literasi digital. Lompatan dari tradisi lisan ke audio visual ini sungguh berbahaya dan membahayakan.

Dalam dunia yang bergerak cepat, anak muda lebih intensif dan suka menikmati konten berbau video semacam short atau reels di Instagram. Durasi video tidak lebih dari lima menit.

Informasi yang diberikan setengah-setengah, tidak utuh, dan yang pasti mengandung clickbait. Konten yang menarik, memikat, dan yang viral yang dianggap sebagai ”yang benar”.

Kesimpulan ihwal literasi kita yang rendah itu juga dikuatkan dengan pengakuan kawan saya yang merupakan editor berpengalaman. Ia diminta mengedit naskah untuk jurnal. Naskah untuk jurnal itu mengutip sumber dari Internet.

Dalam naskah itu ditulis ”sumber: internet”. Fenomena ini cukup menggelikan tapi menohok jantung intelektualitas kita. Betapa parah tingkat literasi kita yang memang semakin buruk.

Skripsi, tesis, dan disertasi adalah laku akademis. Di dalam proses penelitian itulah kita mengenali etika akademis. Etik akademis yang menjadi dasar tradisi akademis, salah satunya, adalah cara mengutip atau kutipan.

Dalam mengutip atau kutipan inilah terdapat etika akademis. Etika akademis ini adalah cara menghormati para penulis, peneliti yang lebih dulu menemukan, menuliskan sebelumnya. Itulah mengapa mengutip tanpa menyebut sumber bisa didakwa sebagai ”plagiat”.

Dalam tradisi penelitian kita juga diajarkan etos akademis yang lain, yaitu menghormati guru/pembimbing. Pembimbing atau guru dalam penelitian seberapapun jasanya adalah penting.

Kita diajak untuk merawat kultur guru dan murid. Penelitian kita tidak ada artinya tanpa bimbingan guru. Kita diajak mengingat tidak ada keberhasilan seseorang yang tunggal.

Hal ini mengamanatkan pesan penting bahwa manusia betapapun pandainya tidak bisa berhasil tanpa dukungan dan bimbingan “guru”. Karena itulah, seorang intelektual harus mewawas diri, tidak jemawa, tidak adigang adigung adiguna.

Kita memiliki peribahasa yang pas, “semakin berisi semakin merunduk”, artinya semakin berilmu, semakin intelektual, semakin rendah hati, semakin tidak sombong.

Usaha dan upaya dalam mengerjakan penelitian selalu ada proses. Dalam penelitian, sebagaimana para pemikir dan kaum cendekia pada masa lampau, selalu berupaya menemukan “kebenaran”.

Proses itulah yang dirasakan tidak mudah, panjang, dan berliku, tetapi hasilnya menggembirakan. Proses bimbingan, mencari referensi, menguji teori, dan menemukan hasil penelitian adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses belajar di perguruan tinggi.

Itulah sebabnya orang yang membeli skripsi, tesis, maupun disertasi tidak pernah merasakan pahit getir menemukan ”kebenaran” dalam ilmu pengetahuan.

Gagasan Nadiem Anwar Makarim menjadikan skripsi, tesis, dan disertasi hanya menjadi pilihan—bukan kewajiban—adalah gagasan liberal. Selain liberal, Nadiem juga melenceng dari kultur akademis perguruan tinggi.

Nadiem seolah-olah alpa bahwa kultur akademis di perguruan tinggi adalah bagian dari tradisi akademis. Penelitian, pencarian kebenaran, pengujian teori, adalah upaya melatih nalar dan menajamkan pikiran.

Penelitian bukan sekadar upaya atau syarat mendapatkan gelar, tetapi sebagai laku akademis. Universitas memiliki sejarah panjang dalam merawat etos dan kultur akademis.



Kebijakan Nadiem ini seolah-olah menggeneralisasi universitas dengan sekolah vokasi. Ini adalah tindakan keblinger. Dalih banyak penyelewengan atau praktik jual beli jurnal, jual beli skripsi, hingga disertasi bukan alasan untuk menghapus tradisi akademis di perguruan tinggi.

”Proyek” jelas tidak sepadan dan tidak bisa disamakan dengan skripsi, tesis, atau disertasi. Dari segi nama dan filosofinya saja berbeda. Nadiem memang berlatar belakang seorang pebisnis/pengusaha.

Terlampau kebablasan bila ia mencoba menghapus kultur akademis perguruan tinggi dan menyamakan institusi akademis dengan logika pasar yang seolah-olah semuanya harus selaras dengan kepentingan industrial.

Pendidikan memiliki tradisi akademis, kultur akademis, yang memiliki sejarah panjang. Pendidikan bukan pasar yang dituntut untuk memenuhi permintaan dan penawaran. Ada tapal batas yang tidak boleh dilanggar, ada aturan yang tidak bisa diterabas.

Jangan sampai kebijakan ini justru merusak muruah perguruan tinggi yang lekat dengan etos akademis dan tradisi akademis.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 September 2023. Penulis adalah peminat dunia pendidikan dan perkembangan anak, saat ini bekerja di PPM MBS Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya