SOLOPOS.COM - Febri Setiyasih Widayati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tiga  dosa besar pendidikan yaitu intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan (bullying). Ada banyak kasus dari tiga dosa besar pendidikan itu yang terjadi, baik yang sudah terkuak maupun yang ditutupi beberapa pihak dengan beberapa alasan, salah satunya demi nama baik satuan pendidikan atau sekolahan.

Banyak kasus yang sudah dilaporkan hingga Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menindaklanjuti kasus tersebut. Guru punya tanggung jawab besar di satuan pendidikan, bukan sekadar mengajar. Lebih dari itu, guru harus memahami kondisi peserta didik agar merasa aman dan nyaman selama berada di sekolah.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intoleransi adalah ketiadaan tenggang rasa. Istilah ini berbanding terbalik dengan toleransi. Intoleransi juga dapat diartikan sebagai sikap abai atau rasa ketidakpedulian terhadap eksistensi orang lain.

Untuk memahami dosa besar pendidikan intoleransi, kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki identitas yang berbeda, begitu juga identitas peserta didik di sekolah. Memahami identitas akan membantu kita melihat identitas yang dimiliki setiap individu dengan seimbang serta bisa menghargai identitas orang lain.

Pada akhirnya, apa pun identitasnya punya satu kesamaan sebagai warga Indonesia. Ada tujuh pemahaman yang pas tentang identitas. Pertama, setiap orang mempunyai banyak identitas, misalnya, saat murid di sekolah identitasnya sebagai peserta didik, saat di rumah identitasnya bisa sebagai anak, kakak, atau adik.

Kedua, identitas ada yang sifatnya permanen (tidak bisa diubah) dan ada yang bisa berubah. Identitas yang dibawa sejak lahir bersifat permanen, namun identitas yang bukan sejak lahir bisa berubah. Ketiga, tidak ada identitas yang lebih unggul atau lebih rendah.

Keempat, kita sama dalam satu identitas, tetapi berbeda pada identitas lain, misalnya, guru saat di sekolah mempunyai identitas yang sama, yaitu sebagai pendidik, namun guru mempunyai identitas yang berbeda dengan guru yang lain, misalnya, tentang agama, ras, budaya, adat istiadat, dan mata pelajaran yang diampu.

Kelima, mana identitas yang paling penting bagi setiap orang tentu berbeda.  Misalnya, peserta didik yang mengikuti ekstrakurikuler tari menganggap bahwa tari adalah identitas yang sangat penting baginya, namun peserta didik yang memilih ekstrakurikuler pencak silat akan memiliki pandangan yang berbeda, bahwa tari baginya bukan sesuatu yang penting.

Keenam, cara pandang yang salah tentang identitas bisa membuat kita terlalu bangga atau minder. Ketujuh, pembelaaan yang berlebihan tentang identitas dapat menjadi bibit kekerasan. Di sekolahan ada banyak keberagaman. Ada banyak kelompok. Kelompok kecil maupun kelompok besar.

Dari sekian banyak kelompok, bisa jadi ada kelompok eksklusif/tidak sehat. Ada beberapa ciri kelompok eksklusif, antara lain, tidak mengizinkan orang lain masuk/ tidak mau orang lain bergabung, menghabiskan terlalu banyak waktu bersama-sama kelompoknya, dan orang lain merasa dilukai ketika dengan sengaja disisihkan.

Adanya kelompok eksklusif memunculkan pandangan mengenai inferior dan superior. Ternyata dua pandangan tersebut punya dampak yang sangat buruk. Ada kelompok yang paling arif, yaitu kelompok inklusif.

Keuntungan peserta didik bergabung dalam kelompok inklusif adalah mengasah jiwa kepemimpinan dalam setting keberagaman, mengembangkan kemampuan empati dan menolong orang lain, dan mengembangkan sikap positif terhadap perbedaan.

Di tengah keberagaman di satuan pendidikan, semua warga sekolah harus merasa aman dan nyaman dengan cara menerima dan menghargai keberagaman. Hal kecil yang sering terabaikan, yaitu mendengarkan cerita peserta didik atau teman sejawat tanpa memotong atau menyela pembicaraan, bisa membuat mereka merasa diterima dan dihargai sehingga akan terbangun rasa aman.

Refleksi

Berbagai kasus yang terjadi di satuan pendidikan, yaitu kasus intoleransi, menuntut guru atau pendidik melakukan beberapa cara untuk melatih dan mengajarkan peserta didik menghargai dan berpikir positif terhadap peserta didik yang lain.

Guru bisa menjadi malaikat kebaikan di kelas dengan membuat formulir/lembar yang berisi identitas dan di bawahnya berisi kebaikan atau kelebihan peserta didik. Setelah formulir/kertas dibagikan kepada peserta didik, mereka mengisikan identitas masing-masing.

Setelah hitungan ketiga, guru mengajak peserta didik menggeser kertas kosong tadi kepada teman di sebelahnya dan teman yang menerima kertas tadi harus menuliskan kebaikan atau kelebihan teman yang identitasnya tertulis di kertas tersebut.

Guru harus mampu memberikan edukasi tentang intoleransi di satuan pendidikan. Dimulai dari lingkup kecil di sekolahan yaitu di kelas. Guru dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya menghargai dan mengapresiasi kebaikan dan kelebihan orang lain serta berlaku baik kepada orang lain.

Setelah 30 detik sampai semenit, kertas berpindah ke meja lain, hingga beberapa kali dan akhirnya kertas kembali kepada pemiliknya. Setelah selesai, beberapa peserta didik membacakan formulir/kertas tentang kelebihan atau kebaikan tersebut di depan teman-temannya.

Hal tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif. Teman yang sering dianggap nakal/kurang baik di mata teman-temannya, ternyata juga mempunyai kebaikan/kelebihan kepada sesama.

Hal kecil yang pernah dilakukan, misalnya, meminjamkan penghapus, memberi jajanan, menghibur teman yang sedang bersedih, dan ada banyak kebaikan atau kelebihan di setiap individu. Cara ini merupakan salah satu cara untuk  mengikis perbedaan kelompok eksklusif dan insklusif, kelompok superior dan inferior, dan kelompok kuat dan lemah di satuan pendidikan.

Setelah melakukan hal ini, guru meminta umpan balik/refleksi dari peserta didik secara lisan dengan bertanya perasaan mereka setelah melakukan aktivitas ini. Pada akhir pembelajaran, guru bersama peserta didik membuat refleksi.

Bahwa setiap orang mempunyai kebaikan dan kelebihan sehingga kita harus menghargai orang lain dan mempunyai sikap peduli atau toleransi. Mari mengikis intoleransi di satuan pendidikan. Mari mewujudkan mencintai keberagaman, merdeka beragam setara, dan merdeka dari tiga dosa besar pendidikan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 April 2023. Penulis adalah guru SMPN 1 Andong, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya