SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Saat ini, tren kendaraan listrik tengah berkembang pesat dan mulai diadopsi oleh seluruh kalangan.

Seperti pemanfaatan kendaraan listrik oleh para driver ojek online maupun kurir ekspedisi yang sering kita lihat di jalanan.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Kendaraan listrik yang terkenal sebagai inovasi kendaraan rendah emisi ini menjadi salah satu upaya untuk mencapai Net Zero Emission pada 2050.

Berbagai subsidi dan regulasi juga diterbitkan untuk menyukseskan target pemerintah pada 2035 yang sejalan dengan upaya Net Zero Emission, di mana sebanyak 1 juta kendaraan listrik roda empat dan 3,22 juta kendaraan listrik roda dua turun ke jalan.

Salah satunya, regulasi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (PM ESDM) Nomor 1 tahun 2023 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan motor listrik berbasis Baterai.

Melalui PM ESDM nomor 1 tahun 2023, pemerintah ingin meningkatkan efektivitas pemantauan dan evaluasi penyediaan infrastruktur pengisian listrik dalam rangka percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai.

Selain itu, pemerintah juga ingin memberikan peluang melalui kolaborasi dan kerja sama bisnis kepada masyarakat dalam membangun ekosistem kendaraan listrik yang lebih baik.

Ada dua jenis infrastruktur pengisian listrik umum yang menjadi peluang bisnis. Pertama, SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) yang menjadi sarana pengisian energi listrik untuk kendaran listrik berbasis baterai.

Kedua, SPBKLU (Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum) yang menjadi sarana penukaran baterai yang akan diisi ulang.

Mulai dari jenis teknologi, pengintegrasian aplikasi dalam penyediaan infrastruktur, hingga penerapan tarif tenaga listrik untuk memberikan keuntungan juga diatur di dalam peraturan tersebut.

Ilustrasi SPBKLU

Namun, seberapa pentingkah penyediaan infrastruktur pengisian listrik untuk kendaraan motor listrik berbasis baterai? Persoalan ini seperti telur dan ayam yang saling bergantung.

Ada banyak warga masyarakat yang enggan untuk segera mengadopsi kendaraan listrik karena munculnya kekhawatiran akan keterbatasan jangkauan baterai dan infrastruktur yang belum memadai.

Di sisi lain, penyedia infrastruktur juga memiliki kekhawatiran untuk bisnis infrastruktur ini  karena belum banyaknya kendaraan listrik yang beredar.

Pemerintah memberikan peluang bisnis terhadap berbagai instansi dalam penyediaan infrastruktur pengisian listrik. Seperti kerja sama dengan PT PLN sebagai penyedia listrik yang menjadi pemasok utama penyediaan infrastruktur pengisian.

Lantas, apakah membuka bisnis penyediaan infrastruktur pengisian listrik umum adalah sebuah bisnis yang layak dan profitable di Indonesia?

Ilustrasi SPKLU

Dalam menjawab persoalan ini, penulis sebagai Mahasiswa Sarjana Program Studi Teknik Industri UNS dan asisten peneliti pada Riset Grup Rekayasa Industri dan Tekno Ekonomi (RG RITE) PS Teknik Industri, Fakultas Teknik UNS telah mengembangkan model biaya Annual Cost of the System (ACS).

Model ini dikembangkan untuk menilai dan memilih potensi investasi yang layak secara ekonomi dan layak secara operasional untuk penyediaan SPKLU dan SPBKLU di Indonesia.

Model biaya ACS merupakan model biaya yang digunakan untuk menghitung seluruh biaya yang menyusun sebuah sistem.

Komponen biaya pada model ini meliputi total biaya operasi dan pemeliharaan tahunan, total biaya kapital tahunan, total biaya energi listrik tahunan, total biaya penggantian komponen tahunan, dan total biaya energi produksi tahunan.

Ada berbagai skema bisnis ditawarkan oleh PT PLN, antara lain pada riset ini dikaji 3 model yang dibedakan berdasarkan bentuk kerja sama, investasi peralatan, lahan, serta operation & maintenance.

Pada skema bisnis model 1, PLN hanya menyediakan listrik, sisanya disediakan pihak swasta atau pelaku bisnis (PPOO atau provide, privately owned and operated).

Pada skema bisnis model 2, PLN menyediakan listrik dan lahan, namun sisanya harus disediakan pihak swasta (POPO atau provide, own, privately operated).

Sedangkan pada skema bisnis model 3, PLN hanya menyediakan listrik, sisanya disediakan oleh pihak swasta tanpa ada sewa lahan (Modifikasi PPOO, lahan tidak dibebani biaya).

PLN juga menawarkan berbagai jenis partnership paket mesin charging SPKLU dengan tiga jenis teknologi, baik di outdoor maupun indoor.



Pertama, paket medium charging dengan daya 25 kW dibanderol sebesar Rp340 juta-Rp350 jutaan. Kedua, paket fast charging dengan daya 50 kW dibanderol sebesar Rp555 juta-Rp566 jutaan.

Ketiga, ultra-fast charging dengan daya 100 kW dibanderol lebih dari Rp1 miliar. Harga tersebut telah mencakup biaya charger, shelter, instalasi listrik, serta biaya administrasi dan pajak (PPN 11%).

Dalam pendiriannya, titik lokasi infrastruktur pengisian harus memenuhi syarat lokasi pendirian yang diatur oleh PM ESDM nomor 1 tahun 2023.

Seperti berada di sekitar permukiman, perkantoran, mal dan pusat perbelanjaan, sekitar jalan arteri, rest area jalan tol, SPBU, serta lahan parkir atau lahan terbuka.

Berdasarkan perhitungan dan perbandingan skenario antarinvestasi pada ketiga model, salah satu opsi investasi yang layak untuk dijalankan di Indonesia adalah penyediaan SPKLU dengan mesin teknologi medium charging untuk outdoor dan didirikan pada cluster lahan parkir atau lahan terbuka dan sekitar mal.

SPKLU yang dipilih pada skenario ini memiliki skema model bisnis 3, mencakup pasokan listrik oleh PLN, investasi peralatan pengisi daya kendaraan listrik oleh sektor swasta, tidak adanya sewa lahan, serta tanggung jawab pengoperasian dan pemeliharaan yang dilakukan oleh sektor swasta.

Hal ini menunjukkan bahwa jika dibebani biaya lahan, masih kurang menarik.

Jika implementasinya bekerja sama dengan pemilik lahan sebagai bagian dari promosi elektrifikasi maka berpotensi memberikan keuntungan dengan estimasi break-event point yang masih cukup lama, yakni 4,5 tahun.

Nilai ACS dapat menjadi metode untuk mengukur kelayakan dan memilih opsi investasi dari peluang bisnis penyediaan infrastruktur.

Diperlukan kolaborasi dengan berbagai instansi merupakan solusi untuk mendukung efektivitas dalam penyediaan infrastruktur sehingga dapat menurunkan nilai ASC.

Nilai ACS pada model PPOO dan Model POPO masih perlu diturunkan agar menjadikan pelaku bisnis lebih bergairah berpartisipasi pada penyediaan infrastruktur SPKLU dan SPBKLU.

Nilai ACS harus dapat diturunkan agar minat investasi infrastruktur EV bergairah. Semoga ada peningkatkan  gaerah bisnis dari  Peraturan Menteri  ESDM nomor 1 tahun 2023.

Artikel ini ditulis oleh Ilza Athiyatamimy Hanun, mahasiswa Program Studi Sarjana Teknik Industri UNS dan Research Assistant pada RG Rekayasa Industri dan Tekno-ekonomi Fakultas Teknik UNS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya