SOLOPOS.COM - JOKO RIYANTO (Dok)

JOKO RIYANTO, Alumnus Fakultas Hukum UNS-Surakarta (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah, kenaikan tarif parkir Kota Solo mulai diberlakukan sejak awal tahun 2012 ini. Ongkos parkir di Kota Solo berkisar antara Rp 2.000-Rp 15.000 untuk semua jenis kendaraan. Penerapan tarif parkir baru itu, setidaknya dimaksudkan untuk mengantisipasi tingginya kepadatan parkir yang dapat memicu kemacetan lalu lintas sekaligus untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Solo.
Di tengah dinamika pembangunan Kota Solo yang pesat, masalah parkir tentu menjadi sebuah pekerjaan besar, terutama bagi Pemkot Solo. Selama ini lahan dan tata ruang Kota Solo belum mampu mengatasi masalah perparkiran. Apalagi, dengan adanya UU No 22/2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan yang menegaskan jalan provinsi dan nasional tidak boleh dimanfaatkan sebagai lahan parkir dan berdagang.
Berdasarkan UU No 22/2009, pemilik mobil yang memarkir kendaraannya di sembarang tempat bisa dijerat Pasal 287 tentang Ketentuan Pidana. Maka wacana Pemerintah Kota Solo bakal menderek kendaraan dan memasang sepatu besi atau kunci roda mobil yang nekat parkir di sembarang tempat patut diterapkan. Saatnya kita menerapkan tertib parkir sebagai cermin dari budaya wong Solo.
Kebijakan kenaikan tarif yang mencapai Rp 15.000 tentu memberatkan masyarakat. Apalagi, di lapangan sering dijumpai para juru parkir memungut ongkos tak sesuai aturan. Sepeda motor yang seharusnya Rp 500, jadi Rp 1.000. Mobil tarif parkir Rp 1.000 dipungut Rp 5.000. Namun, Pemkot Solo dalam hal ini UPTD Perparkiran Dinas Perhubungan Solo seolah “tak berdaya”. Buktinya, sudah banyak keluhan masyarakat soal penyelewengan tarif parkir, namun tak ada tindakan tegas baik kepada jukir maupun pengelola parkir.
Penerapan tarif parkir baru itu juga tidak secara otomatis mengurangi kemacetan lalu-lintas di Solo. Sebab, pertambahan jumlah kendaraan tak sebanding dengan luas jalan yang ada di Solo. Masyarakat Solo pun belum memiliki kesadaran menggunakan moda transportasi yang tersedia. Padahal, kota ini telah memiliki bus Batik Solo Trans (BST) dan railbus untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan sarana transportasi di Kota Solo.
Untuk mengurangi kemacetan bukan menerapkan kebijakan kenaikan tarif parkir. Tapi, bagaimana menciptakan perilaku yang responsif dan bertanggung jawab dari seluruh warga Kota Solo untuk berpaling dari kendaraan pribadi kepada angkutan massal yang tersedia. Penggunaan BST atau railbus misalnya, harus didorong untuk membiasakan masyarakat mendisiplinkan diri dalam menggunakan jasa transportasi. Di sinilah dibutuhkan kesadaran masyarakat mengubah perilaku berkendaraan untuk lebih suka menggunakan moda transportasi massal saat berpergian.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Hak Konsumen
Kenaikan tarif parkir yang baru tidak memiliki alasan kuat dalam proses penetapannya serta belum melindungi hak-hak konsumen. Dalam UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan, setiap nilai rupiah yang harus dibayar konsumen harus bisa dipertanggungjawabkan. Sementara di Perda No 9/2011 tidak ada penjelasan sama sekali terkait hal itu. Padahal, tarif parkir dinaikkan hingga Rp 15.000.
Kebijakan kenaikan tarif parkir ini, dalam kacamata saya, masih sebatas berebut uang, kejar setoran, dan mengumpulkan uang untuk mendongkrak PAD Kota Solo. Buktinya, kenaikan tarif parkir tidak diimbangi peningkatan pelayanan publik pengguna parkir. Lahan parkir pun terkadang menyerobot tempat publik. Hak-hak atas penggunaan jasa parkir belum terpenuhi. Misalnya, kita parkir masih mencari tempat sendiri, kerusakan/kehilangan barang masih ditanggung pengguna parkir, tarif yang ugal-ugalan, dll. Pendek kata, pengelola parkir mau duitnya, namun pelayanan publik dan pertanggungjawaban atas kenyamanan, fasilitas, serta keamanan parkir enggan bertanggung jawab.
Semua hal di atas memperlihatkan kenaikan tarif parkir harus dikritisi. Apalagi, Perda No 9/2011 dinilai cacat hukum karena tidak mencantumkan pencabutan Perda No 6/2004 tentang Parkir. Sebaiknya, Perda itu disempurnakan dengan mengatur hal-hal prinsip dalam konteks pelayanan konsumen. Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam kebijakan kenaikan tarif parkir.
Pertama, pemberlakuan tarif parkir harus diperhitungkan secara matang. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru menimbulkan masalah baru. Maka, perlu melibatkan pengelola parkir, Pemkot Solo, dan masyarakat sebagai pengguna dengan memperhitungkan besaran daya beli dari pengguna parkir.
Kedua, perlu adanya transparansi dan kontrol terhadap pendapatan pengelolaan parkir sebagai PAD Kota Solo. Di sinilah dibutuhkan audit yang independen untuk mengontrol sejauh mana keuntungan atau kerugian yang diperoleh pihak pengelola parkir. Idealnya, sebelum pemberlakuan tarif baru didahului dengan data hasil maupun audit layanan.
Ketiga, pengelolaan parkir jangan hanya dikelola perseorangan maupun badan hukum yang berupa usaha khusus perparkiran atau penunjang usaha pokok. Tapi, usaha perparkiran perlu melibatkan pihak lain, seperti kepolisian, asuransi, pemerintah daerah, dan perpajakan.
Keempat, perlindungan hukum terhadap konsumen. Pengenaan tarif parkir harus memiliki imbal balik, misalnya setiap kendaraan yang hilang di tempat parkir dijamin mendapat penggantian karena sudah ada keputuasan MA yang menetapkan pengelola parkir diwajibkan mengganti barang yang hilang.
Kelima, diperlukan tindakan tegas terhadap setiap penyelewengan dan pelanggaran ketentuan perparkiran. Juru parkir yang menarik tarif parkir tidak sesuai aturan, sebaiknya dipidanakan karena hal itu termasuk pemerasan sehingga melanggar Pasal 368 KUHP Tindak Pidana Pemerasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya