SOLOPOS.COM - Dr. KH Mukh Nursikin, M.SI, Kaprodi S2 PAI Pascasarjana UIN Salatiga/Pengasuh PP Modern An-Nur Pabelan (Istimewa)

Saya teringat percakapan saya dengan seorang santri pondok pesantren, saat dia mengikuti tadarus Al-Quran dan iktikaf di masjid pondok pesantren. Dia bilang,” Pak Kiai, mohon minta doanya, besok saya mau ujian IELTS (International English Language Testing System).”

Saya ingat saat itu dia memang sedang berjuang untuk mencari beasiswa ke luar negeri. Sungguh, saya salut ketika ternyata dia memilih mengambil waktu ujiannya di siang hari saat sedang berpuasa. Saya bertanya,”Kenapa ambil jadwal ujian pas puasa?” Dia menjawab dengan polos. “Justru itu Pak Kiai, saya jadi lebih fokus, waktu ujian nggak perlu mikir enaknya makan siang, karena berpuasa,” ungkapnya sembari bercanda.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Ini menarik, karena tidak sedikit umat Islam yang berpandangan bahwa maskot Ramadan adalah ritual ibadah sebanyak-banyaknya di malam hari. Imbasnya, ancaman dehidrasi dan kantuk kerap menghinggapi saat bekerja atau beraktivitas di siang hari. Tak ayal produktivitas dan prestasi bekerja di siang hari pun menurun.

Karena rasa haus, lapar dan godaan untuk menahan nafsu merupakan hal yang pasti dirasakan bagi orang yang berpuasa, tidak sedikit bahwa alasan puasa Ramadan sebagai dalih untuk tidak melaksanakan aktivitas seperti biasanya, misalnya, mengurangi jam bekerja, semangat bekerja menurun, semangat belajar menurun, dan terkadang malah memperbanyak jam tidur di siang hari.

Sejatinya, kelaziman ini tidak boleh menjadikan umat Islam tidak produktif dalam urusan dunia dan prestasi kerja. Justru semangat Ramadan hendaknya meningkatkan takwa dan optimisme dalam meraih prestasi.

Banyak literatur mendukung hipotesis ini. Dr. Yusuf Qardhawi ketika menulis Fiqih Puasa mengatakan bahwa Islam menetapkan sesuatu melainkan karena memiliki hikmah. Allah Swt tidak menciptakan sesuatu yang batil dan tidak pula menetapkan sesuatu yang sia-sia. Dia tidak memerlukan ketaatan sebagaimana kemaksiatan tidak akan membahayakannya, maka hikmah dalam ketaatan kembali kepada kita sendiri.

Begitu pulu ketika kita menilik sejarah kemenangan Perang Badar, penggalian parit saat Perang Khandaq, dan perjalanan menuju Perang Tabuk, semua terjadi pada bulan Ramadan. Akbar Shah Najeebabadi dalam The History of Islam mencatat bahwa pada 11 Ramadan tahun 8 Hijriah juga bertepatan dengan dimulainya arak-arakan 10.000 anggota pasukan muslimin menuju Fathu Mekah, ini sesungguhnya membuktikan puasa bukanlah penghalang untuk maju dan berprestasi.

Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Hasanuddin (Makassar), Hasanuddin (Banten), Teuku Umar, Fatahillah, Zainal Mustafa memanfaatkan bulan Ramadan untuk membina jiwa beragama, takwa, kebangsaan, dan perjuangan para santri dan masyarakat tentang arti kemerdekaan, persatuan, keberanian dan kekuatan sebagai bangsa yang terjajah dan tertindas.

Bagi muslim berpuasa di bulan Ramadan tidak menjadi halangan untuk tidak melakukan aktivitas seperti biasanya. Bahkan mereka justru lebih produktif bekerja dan memperbanyak ibadah. Ramadan merupakan peluang besar untuk menggapai prestasi dalam ibadah di sisi Allah SWT. Begitu pula yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya pada peristiwa Perang Badar.

Umat Islam dapat meraih kemenangan dalam peperangan itu, padahal kondisi umat Islam pada saat itu sedang menjalani puasa Ramadan. Bahkan jumlah umat Islam dibanding kafir Quraisy sangat tidak seimbang. Pasukan islam di bawah pimpinan Rasulullah SAW hanya berjumlah 300 pasukan, sedangkan tentara Musyrikin Makkah sebanyak 1.000 pasukan.

Bercermin dari sejarah tersebut, maka sebuah kekeliruan bila terdapat persepsi bahwa Ramadan merupakan bulan yang sering kali digunakan untuk beristirahat. Justru sebaliknya, Ramadan merupakan bulan yang penuh semangat bagi kaum muslimin untuk berjihad, beribadah dan mengukir prestasi. Ada baiknya kita semua kembali merenung Sabda Rasulullah SAW. “Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan shalat malam, hanya begadang di malam hari” (HR. Ahmad 2: 373.)“.

Puasa Meningkatkan Prestasi dan Potensi diri

Bila membicarakan soal prestasi justru puasa bisa meningkatkan prestasi. Hal tersebut disebabkan waktu kita tidak terbuang untuk hal- hal lain seperti sarapan pagi, makan dan minum di siang hari. Dengan kata lain, akan lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan yang produktif sehingga peluang untuk mencapai apa yang diharapkan semakin tinggi, misalnya sehabis sahur dan setelah salat shubuh merupakan waktu yang ideal untuk menuntut ilmu, perencanaan, menulis, merapikan pekerjaan, mempersiapkan diri dan lain sebagainya.

Tidak hanya prestasi di dunia yang digapai, melainkan prestasi di akhirat juga penting untuk dicapai. sungguh, sangat disayangkan bila waktu hanya dihabiskan untuk memperpanjang tidur. Ramadan adalah bulan yang hanya ada setahun sekali, di mana pada bulan tersebut terdapat limpahan rahmat dari Allah SWT, sehingga waktu yang sangat tepat untuk untuk meningkatkan berbagai kegiatan dan beribadah.

Banyak orang berpikir bahwa puasa dapat melemahkan fisik dan menguras tenaga, namun tidak untuk semangat beribadah dan berjihad yang dimiliki umat Islam terdahulu. Puasa yang dilakukan menjadi motivasi yang kuat dalam berperang untuk mencapai kemenangan. Pada dasarnya perang bukanlah pekerjaan yang ringa, karena perlu adanya mental dan fisik yang kuat, namun bila berkaca dari peristiwa tersebut, Nabi dan para Sahabat tidak pernah mengajarkan bahwa puasa merupakan amalan untuk bermalas–malasan dan mengurangi aktivitasnya.

Prof. Dr. Zakiah Darajat dalam bukunya Ilmu Fikih menuliskan bahwa kehilangan nilai, makna, dan ruh puasa yang terlihat dalam masyarakat selama ini karena bentuk puasa mereka. Pertama sebagai tradisi saja. Kedua, hanya mementingkan nilai jasmani. Ketiga, hanya memenuhi formalitas sebagai “orang Islam”. Keempat, hanya menjalankan syariat dan rukun puasanya saja.

Ramadan Bukan Bulan untuk Bermalas-Malasan

Kehadiran bulan Ramadan yang hanya ada setahun sekali bukanlah bulan untuk bermalas-malasan.Sayangnya terkadang tidak sedikit orang yang menilai demikian. Bulan yang penuh rahmat ini,seringkali dianggap sebagai kendala untuk melakukan aktivitas. Padahal,meskipun tubuh kita tidak mengonsumsi makan dan minum bukan berarti semangat dalam menjalankan ibadah dan bekerja menjadi turun.

Dalam sejarah perang Ain Jalut yang terjadi pada bulan Ramadan 658 H. Saat tentara Tartar memasuki Bagdad, banyak kaum muslimin yang menjadikorbannya. Musibah ini di sambut oleh Saifuddin Qutz,pemerintah Mesir saat itu dengan mengumpulkan semua kekuatan muslimin untuk menghancurkan tentara tartar dan bertemu dengan mereka di Ainun Jalut.

Peperangan ini turut disertai oleh istri Saifuddin Qutuz, Jullanar yang akhirnya syahid di medan pertempuran perang ini kemudian dimenangkan oleh pasukan Islam dengan gemilang. Berdasarkan sejarah tersebut, perlu dipahami bahwa meskipun saat itu adalah bulan Ramadan, namun umat Islam tetap berjuang melawan tentara musuh, dan kemenangan berpihak pada umat Islam.

Jadi, pada dasarnya puasa sama sekali tidak menghalangi pekerjaan dan produktivitas seseorang. Kita harus tetap melawan rasa malas dan mengoptimalkan potensi diri agar dapat meraih kemenangan dan prestasi dunia-akhirat.Oleh sebab itu,umat Islam harus menyadari bahwa puasa di bulan Ramadan sebagai kesempatan untuk menggapai prestasi yang telah diberikan Allah SWT, sehingga kita dapat menjadi pemenang saat Ramadan dan tetap mempertahankan kemenangan itu di luar Ramadan. Allahu’alam.

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya